ivan ma
OLEH Ivan Adill (Dosen Jurusan Sastra Indonesia FIB Unand)
Puas di Petite France, kami melanjutkan perjalanan melewati pinggir waduk berbentuk danau kecil menuju Nami Island. karena saatnya makan siang, pemandu membawa kami ke sebuah restoran untuk makan siang. Saya memilih ruang lesehan dengan meja rendah. Tak lama kemudian pelayan menyajikan makanan. Jenis makanan itu telah kami pilih saat di bus, datanya dikirim ke sistem pemesanan restoran. Tak lama kami tiba, makanan telah disiapkan. Kami memilih bibimbab, nasi campur khas Korea.
“Kami tak makan daging. Jadi, jadi lauk utamanya diganti saja dengan seafood,” ujar saya pada guide.
“Ya, boleh. Tapi mungkin anda harus menambah biaya sedikit lebih mahal,” jawabnya.
Bagaimana pun, sebagai muslim kami berhati-hati terkait kehalalan bahan makanan. Bahan sea-food tentu paling aman.
“Apa pun yang ada di laut dijamin halal. Termasuk ‘kapal selam,” ujar teman saya asal Palembang. Dia memang hampir tiap hari makan kapal selam, salah satu jenis mpek-mpek, makanan khas dari Sumatra Selatan itu.
Pelayan menghidupkan kompor di meja bundar di depan kami. Ia memasukkan minyak, bumbu, kerang, udang, kepiting, cumi, dan gurita yang dipotong kecil-kecil. Aroma harum bumbu dan minyak wijen tercium dari kepulan asap masakan. Tak lama dimasukkan sayuran. Setelah sayuran mulai layu, nasi pun dituangkan.
“Silakan dinikmati,” ujar pelayan akhirnya.
Kami menaruh nasi campur seafood itu dalam piring masing dan mulai mengunyah. Saya menambhkan kimchi sawi agar lebih pedas. Sesuai harapan, nasi campur sekuali besar itu berhasil kami habiskan. Termasuk teri kecil, kimchi dan kentang sayur. Sebagai orang Minang, selera kami terlalu banyak cincong dengan rasa dan bumbu masakan. Maka kelezatan makan siang hari itu sungguh layak disyukuri.
Di dermaga penyeberangan, kami menunggu pemandu membeli tiket masuk, termasuk tiket fery penyeberangan. Hanya butuh waktu dua puluh menit untuk sampai di seberang. Nami Island terlihat jelas dari dermaga.
Kapal fery kecil dipenuhi penumpang. Di atap kapal terdapat beberapa tiang untuk memasang bendera. Bendera merah-putih berkibar di antara bendera negara lain. Kami memilih naik ke lantai dua, berdiri di dinding kapal. Laut di selat kecil terlihat tenang dan bersih. Tak jauh dari kapal, terllihat bentangan kawat permainan flying fox menghubungkan dua bagian daratan. Burung camar terbang rendah dekat kapal.
“Apa yang dicari manusia sebanyak ini di sini?” tanya saya dalam hati. Di Nami Island saya hanya menyaksikan pepohonan, jalan setapak, taman, dan toilet yang bangunannya dibuat seperti terbalik. Kebun binatang kecil dengan sedikit koleksi. Ada burung merak yang jinak dan bisa diajak bermain. Tapi juga ada burung onta yang dilepas di lapangan berpagar tinggi karena berbahaya.
Jadi, apa yang istimewa di Nami Island? Mari kita mulai dari nama pulau ini. Menurut situsnya, Nami adalah seorang jenderal dan keturunan raja dari dinasti Joseon. Nami punya karir bagus, sehingga menimbulkan iri hati di kalangan militer. Ia difitnah dan akhirnya dihukum mati. Sadisnya lagi, tubuhnya dimulilasi: badan, kaki, tangan dan kepala dikuburkan terpisah. Beberapa tahun setelah kematiannya, raja menyadari bahwa tokoh militer itu difitnah. Nama jenderal Nami dipulihkan dan mayatnya dicari. Meski mayatnya gagal ditemukan secara utuh, banyak yang percaya bahwa Jenderal Nami berkubur di pulau Nami sekarang.
Dulu, Nami Island hanyalah daerah tandus. Ia mulai merasakan air setelah waduk Cheongpyeong dibangun. Dataran tandus yang letaknya lebih tinggi itu mengapung diantara air waduk. Seorang seniman bernama Suh Jae-bong mendatangi pulau itu, menatanya, dan menanam pepohonan. Selama bertahun tahun, Jae-bong bekerja seorang diri. Perlahan, pulau itu berubah menjadi wilayah subur. Melihat kenyataan itu, penduduk sekitar mulai membantu.
Masyarakat sekitar membentuk komunitas untuk melanjutkan penataan pulau. Pohon pohon tinggi yang berjajar rapi sepanjang daratan, jalan setapak sepanjang sungai dan rumah-rumah petani tradisional yang ada di tempat itu adalah cikal bakal kehidupan yang mengundang orang mendatangi tempat itu. Nami Island menjadi area healing, alam pedesaan untuk membebaskan diri dari keriuhan kota.
Hingga menjelang tahun 2002, tak banyak yang mengenal pulau ini. Namanya melambung ketika drama Korea Winter Sonata yang diproduksi KBS, menjadikan tempat ini sebagai lokasi pengambilan gambar. Drama yang meraih berbagai penghargaan itu dengan cepat menyebar ke berbagai negara. Konon, Winter Sonata titik awal munculnya hallyu, gelombang Korea, yang kini melanda dunia. Bersamaan dengan itu, panorama pepohonan, sungai dan suasana alami tempat ini menimbulkan rasa penasaran para penontonnya. Wisatawan pun berdatangan dan Nami Island terus berbenah.
“Di mana ruang salat di sini?” tanya saya pada seorang petugas berbaju seragam.
“Oh, ada di arah sana,” katanya sambil menujuk ke sebuah bangunan berlantai dua di arah belakang. Ruang salat yang bersih, lengkap dengan bentangan sajadah dan tempat berwudu. Usai salat, kami duduk di sebuah ruang istirahat yang terletak tak jauh dari sana.
Sebelah kanan tempat istirahat, ada taman bermain anak. Ada ayunan, seluncuran dan permainan balok di tempat itu. Sebuah perpustakaan anak menjadi bagian dari taman ini. Di rak buku berjajar rapi buku yang berisi kisah dari berbagai belahan dunia. Saya melongok ke rak yang bertuliskan Indonesia. Sambil menutup muka dengan rasa malu, saya saksikan sepuluh buku tipis yang dipajang di rak bertuliskan Indonesia. Koleksi paling minim di rak perpustakaan itu.
Kami beranjak ke sebuah museum kecil. Di pintu masuk, seorang petugas menyodorkan sebuah map berwarna merah.
“Maaf, apakah Anda bisa memberikan dukungan untuk kami?” tanyanya.
“Ya? Apa yang harus kami dukung, dan bagaimana caranya?”
“Silakan baca dulu.” Map merah itu berisi petisi menolak rencana pembangunan jembatan permanen yang menghubungkan daratan Korea dengan Nami Island. Alasannya, memudahkan transportasi dan pengembangan wisata.
“Tapi kami tidak suka planning itu,” kata petugas berseragam itu.
“Kenapa?” tanya saya.
“Nami adalah republik sendiri. Pembangunan jembatan membuat Nami Island kehilangan keunikan. Juga menghilangkan sensasi kunjungan ke Nami Island,” jelasnya.
Sayapun menulis nama, alamat, alasan, dan membubuhkan tanda tangan untuk menolak rencana pembangunan itu. Pulau wisata ini lahir karena pengabdian, bukan untuk mencari keuntungan. (ivan adilla)