Rekonstruksi Fase VII Pasar Raya Padang: Harapan atau Ancaman?

INVESTIGASI

Sabtu, 27/05/2023 18:49 WIB
Pembongkaran Pasar Raya Fase VII

Pembongkaran Pasar Raya Fase VII

LAPORAN Sarah Azmi

Padang, sumbarsatu.com—Bangunan pertokoan Fase VII hanyalah salah satu bangunan dari sejumlah kompleks pertokoan di Pasar Raya Padang. Kota ini merupakan ibu kota Provinsi Sumatera Barat. Pertokoan Fase VII adalah satu dari tujuh bagian pertokoan yang berada di Jalan Pasar Raya Kota Padang. Sebelumnya, pada lokasi ini terdapat pasar yang hanya berupa blok-blok yang terbuat dari kayu.

Pertokoan Fase VII

Pembangunan pertokoaan Fase I-VII dilaksanakan semasa Zainuddin Sutan Pangeran menjabat sebagai Wali Kota Padang pada tahun 1963. Pembangunan dilakukan 2 tahap. Pada tahun 1963 dilaksanakan pembangunan pertokoan Fase I, Fase II dan Fase III. Selanjutnya tahun 1971 dilaksanakan pembangunan pertokoan Fase  IV sampai dengan Fase VII.

Yang menarik dari sistem dan tata pelaksanaan pembangunan pertokoan adalah terkait dengan pembiayaan. Pembiayaan pembangunan ditanggung oleh para pedagang. Pemerintah Kota Padang hanya memfasilitasi pedagang untuk mendapatkan kredit bank.

Sementara iyu, posisi pertokoan Fase VII menjadi strategis karena letaknya berada pada persimpangan jalan utama, yaitu Jalan Muhammad Yamin, Jalan Bundo Kandung, Jalan Hiligoo, dan Jalan Pasar Raya. Pada keempat ruas jalan terdapat kantor pemerintahan dan pertokoan yang ramai dikunjungi.

Pada Jalan Muhammad Yamin, misalnya terdapat pertokoan Jalan Muhammad Yamin-Perkantoran Balai Kota Padang-Polresta Kota Padang. Pada Jalan Hiligoo terdapat  pertokoan Atom Center-pertokoan Jalan Holigoo. Begitu juga dengan Jalan Bundo Kandung dan Jalan Pasar Raya Padang. Pada kiri kanan Jalan Pasar Raya terdapat deretan pertokoan Kopas dan bangunan pertokoan Fase VI. Di samping pertokoan, Jalan Muhammad Yamin, Jalan Holigoo, dan Jalan Bundo Kandung adalah jalur keluar masuk angkutan kota ke Pasar Raya Padang.

Di samping pertokoan Fase I-Fase VII terdapat beberapa pasar. Pertama, Pasar Raya Timur terdiri dari Pasar Raya Timur I (Pasar Inpre I), Pasar Raya Timur II (Pasar Inpres II) , Pasar Raya Timur III (Pasar Inpres III), dan Pasar Raya Timur  (IV) atau lazim disebut Pasar Inpres IV. Pasca-gempa 2009 keempat pertokoan ini telah direkonstruksi dan dinamakan Pasar Blok I, Blok II, Blok III, dan Blok IV.

Kedua, Pasar Raya Barat, terdiri dari pertokoan Blok A, Blok Perabot, dan Blok Raja Wali. Dan ketiga, kawasan Pasar Raya Barat.

Dari segi kepemilikan, sebagian besar Pasar Raya Padang berdiri di tanah HPL Pemko Padang berbatas sebelah utara dengan pertokoan Pasar Baru dan Bioskop Raya, sebelah selatan dengan Kantor Balai Kota dan pertokoan di Jalam M. Yamin, sebelah barat dengan Kampung Baru dan Kampung Jawa Dalam, dan sebelah timur dengan Kampung Benteng dan pertokoan Adabiah.

Rekonstruksi Pertokoan Fase VII

Senyum lelah Armis menyambut kedatanganku. Sebelumnya, ia menyatakan bersedia untuk meliput proses rekonstruksi pertokoan Fase VII Pasar Raya Padang. Tak lama kemudian, ia mempersilakan aku menduduki lapak yang terletak di samping lapaknya, sambil menyalami tanganku dengan erat. Lapak tersebut terletak di pelataran pertokoan bangunan Fase VI yang sebelumnya berdampingan dengan bangunan pertokoan Fase VII yang kini sudah  dirobohkan.

Sambil memandang sekeliling, aku mencoba memancing dengan bertanya.

“Bagus ya lokasi pemindahannya, Bu?”

“Lumayan Sarah, mudah-mudahan Ibu dapat tetap di sini sampai ditempatkan pada bangunan baru pascapembangunan pertokoan Fase VII. Itupun kalau benar bahwa akan ditempatkan Dinas Perdagangan,” terang Armis dengan helaan napas sambil memandangi lokasi bangunan Fase VII yang kini sudah dipagar seng sekeliling.

Lapak Armis di Pasar Raya Padang

“Kok Ibu bicara begitu?” Aku menatap matanya yang kini terlihat kosong.

“Terlalu berat masalah yang Ibu alami selama berjualan di sini, Ra. Kalau Sarah ingin tahu lebih banyak, Sarah bisa menanyakan kepada kuasa hukum saya PBHI Sumbar,” terang Armis.

“Ibu sudah pernah mengadukan kepada Dinas Perdagangan Kota Padang?”

“Sudah. Bahkan kepada kepolisian. Namun hasilnya selalu saja mengecewakan. Sarah berpuasa?” Armis mencoba mengalihkan pembicaraan.

“Puasa Bu,“ jawabku pendek. “Ibu harus sabar. Setidaknya sampai saat ini Ibu masih direlokasi Dinas Perdagangan sebagai pedagang terdampak rekonstruksi Fase VII.”

“Mudah-mudahan, Ibu mohon didoakan,” ucapnya sambil membenahi dagangannya setelah memandangi sekeliling yang sepi pengunjung.

Pedagang lain terlihat mulai membenahi dagangan utuk menutup lapak mereka.

“Ibu  juga mau menutup lapak? Silakan Bu. Kalau Ibu tidak berkeberatan, lain kali Sarah akan kembali menemui Ibu.”

“Belum. Hanya mau merapikan supaya kalau nanti tutup akan mudah menyusunnya. Teruslah di sini,” katanya.

“Terima kasih Bu, Sarah juga ingin belanja untuk perbukaan. Terima kasih telah menerima Sarah dan maaf mengganggu Ibu. Lain kali Sarah akan menemui Ibu lagi untuk mendapatkan informasi terkait rekonstruksi pertokoan Fase VII,” jelasku. 

“Silakan, Sarah. Ibu akan sangat senang memberi informasi yang Sara butuhkan.”

Setelah berpamitan akupun meninggalkan Armis. Sapaan kiri-kanan pedagang menawarkan dagangannya mengiringi langkahku meninggalkan pelataran pertokoan Fase VI yang sepi pengunjung. Keluhan Armis tidak hanya membangkitkan penasaranku tentang apa yang ia alami tetapi kekhawatiran kalau-kalau rekonstruksi pertokoan Fase VII justru akan mengancam pedagang kali lima (PKL) untuk mendapatkan hak mereka mencari penghidupan.

Kembali Mengunjungi Ibu Armis

Di tengah puasa dan cuaca terik, suara Armis masih terdengar nyaring menawarkan setiap pengunjung pasar yang melewati lapaknya. Ada yang hanya berlalu atau singgah untuk sekadar melihat-lihat dagangannya. Sekarang, tubuhku sejangkal lebih dekat di hadapan Armis. Aku menarik telapak tangan kananya, dan memberi salam. Kamipun duduk di depan lapak jualan dengan dua bangku berukuran sedang. Armis, perempuan 54 tahun ini tidak pernah bercita-cita sebagai pedagang kaki lima. Namun naas, empat belas tahun lalu Sumatra Barat dilanda gempa berkekuatan 7,8 SR. Memaksa ia harus menerima pemberhentian kerja sebagai karyawan sebuah toko di Pasar Raya Padang. Dengan bekal modal dari tempat bekerja sebelumnya, Armis memilih untuk melanjutkan berjualan pada lokasi eks penampungan pedagang korban gempa yang dibangun pada lahan perparkiran di Jalan Pasar Raya.

Bersamaan selesainya rekonstruksi yang ditindaklanjuti dengan penempatan kembali pedagang korban gempa pada bangunan baru, eks lokasi penampungan dikembalikan menjadi lahan parkir. Malangnya, untuk dapat menempati tempat tersebut,  Armis harus membayar sejumlah uang kepada pengelola parkir yang biasa dipanggil Ucok. Saat itu, baginya yang terpenting adalah kembali mencari sesuap nasi dan untuk biaya sekolah anak.

Penempatan lokasi berjualan tidak berjalan mulus. Pada tahun 2018, tanpa seizinnya, lokasi berdagangnya ditempati pula oleh Ena dan mengusir dirinya dengan alasan lokasi tersebut telah dibeli Ena kepada istri Ucok.

“Ibuk sedih sekali waktu tempat jualan kami dijual lagi oleh si pemilik. Padahal kan tempat itu masih jadi hak pakai kami. Ibu sudah mencoba berbicara baik-baik, tetapi mereka malah memusuhi ibu. Karena keadaanya sudah tidak bagus, ibu berencana pindah saja dan meminta uang sewaan itu dikembalikan tapi yang lebih sakit lagi mereka tidak mau kembalikan uang yang sudah terlanjur kami bayar lunas,” urainya.

Akibat pertengkaran atas jual beli tempat dagangan yang sedang ditempati Ibu Armis, para pembelipun enggan datang karena merasa tak nyaman sebab setiap hari pasti ada saja pertengkaran yang dialaminya. Lalu Armis pergi meninggalkan tempat tersebut.

Terik panas ikut menyimak kisah kelam tentang sewa tempat berjualannya. Ia bercerita sembari ditemani oleh pasar yang lengang pengunjung, sebab sejak pandemi Covid-19 melanda, ekonomi pun sedang dalam masa pemulihan. Dari hasil berjualan barang harian, seperti celana dalam, singlet, handuk dan pakaian anak, ia hanya mendapatkan omset sebesar Rp250 ribu per hari, belum lagi harus mengeluarkan uang jasa pengangkut barang dan gaji karyawannya. Yang lebih sedihnya, ia tak jual beli seharian karena sepi. Namun Armis tak pernah putus asa untuk menggelar dagangannya. Ia harus memutar otak untuk pembeli beras, lauk pauk, dan menyicil utang guna modal jualan.

Sebelum Berjualan di Pelataran Fase VII

Menceritakan kisahnya sebelum berjualan di lorong pertokoan Fase VII, bahwa menanggapi  kasus yang  ia  alami,  Dinas Perdagangan Kota Padang melalui SK-4 telah mengambil kebijakan dengan membagi dua lokasi antara Armis dan Ena, namun tidak diterima Ena. Sikap Ena diduga mendapat dukungan dari oknum yang mengaku sebagai pengurus salah satu organisasi PKL Kota Padang.

Di samping upaya penyelesaian melalui Dinas Perdagangan Kota Padang, sesuai saran SK-4,  Armis mengadukan tindakan Ida  Sinurat (istri Ucok) kepada Polresta Padang dengan surat laporan No STTL 2486/K/XII/2017 SPKT-UNIT I 14 Desember 2017 dengan terlapor Ida Sinurat namun sampai saat ini belum ditindaklanjuti pihal Polresta Padang sebagaimana mestinya.

Keberuntungan atas kesabaran Armis membuahkan hasil. Untuk menghindari   pertengkaran  dengan  Ena, ia dapat kembali menyambung hidup dengan menumpang pada lapak kakaknya. Tentu saja penempatan tersebut tidak gratis. Ia harus membayar kepada pedagang yang sebelumnya menempati lokasi tersebut. Walaupun sudah bisa berjualan kembali, Armis terus memperjuangkan haknya untuk kembali mendapatkan lokasi berjualan sesuai penempatan Dinas Perdagangan Kota Padang yang belum membuahkan hasil.

Pada tahun 2022 pedagang Armi diberitahu Dinas Perdagangan Kota Padang  tentang rencana rekonstruksi Fase VII melalui dana APBN. Di samping untuk pedagang toko, rekonstruksi juga diperuntukkan bagi pedagang kali lima. Terkait rencana tersebut, Dinas  Perdagangan Kota  Padang menyarankan asgar Armis bersabar menempati lokasi berjualan kakaknya sampai rekonstruksi bangunan Fase VII selesai. Apalagi   Armis juga sudah terdaftar sebagai pedagang terdampak  rekonstruksi bangunan Fase VII. Tawaran tersebut diterimanya sebab hanya dengan itu ia bisa tetap melanjutkan keberlangsungan periuk dapur.

Pada  tanggal 3  Maret 2023, Armis  menerima surat edaran Dinas Perdagangan Kota Padang. Surat tersebut intinya menyampaikan bahwa dalam rangka rekonstruksi bangunan Fase VII, pedagang kaki lima diminta untuk pindah ke lantai II bangunan Blok III. Perintah tersebut ditolak Armis bersama-sama  dengan PKL lainnya karena lokasi pemindahan dinilai tidak layak. Dengan didampingi PBHI Sumatra Barat, IKAPPI Sumatra Barat, Ketua KUKMI Sumatra Barat dan Pengurus Ikatan PKL eks Perparkiran Matahari, Armis mendatangi UPTD Pasar Raya Padang dan bertemu Kabid Prasarana Dinas Perdagangan serta berkirim surat kepada Wali Kota Padang meminta pembatalan pemindahan dan hanya melakukan  penggeseran. Permintaan tersebut dipenuhi setelah perwakilan pedagang dipertemukan Dinas  Perdagangn Kota Padang dengan pihak pemenang tender pembongkaran. Rencana Dinas Perdagangan Kota Padang yang sebelumnya melakukan pemindahan disepakati hanya melaksanakan penggeseran.

Sesuai kesepakatan pada 5 Maret 2023 Trantib Dinas Perdagang Kota Padang mulai melaksanakan pemagaran sekaligus membantu pembongkaran dan pemindahan fasilitas berdagang PKL. Alangkah terkejutnya Armis ketika pembagian relokasi bukan dilakukan Dinas Perdagangan melainkan oleh oknum yang diduga pengurus organisasi PKL. Keberadaan Kabid Prasarana Dinas Perdagangan Kota Padang di lokasi hanyalah mengawal tindakan oknum organisasi PKL membagikan lokasi   yang  akan   ditempati PKL. Lebih tragis lagi, oleh oknum organisasi PKL tersebut, relokasi hanya dilakukan untuk oknum-oknum yang menyewakan lokasi dan bukan untuk pedagang existing sebagaimana yang dinyatakan Dinas Perdagangan Kota Padang.

Terhadap kondisi tersebut,  Armis dan PKL existing lainnya dengan didamping PBHI Sumatra Barat melakukan protes kepada Kabid Prasarana dan Kepala UPTD Pasar Raya Padang dengan memperlihatkan foto kopi izin berjualan pihak yang menyewakan lokasi  sudah berakhir pada tahun 2008. Menaggapi protes tersebut, keesokan harinya kepala UPTD turun langsung membagikan lokasi penempatan pedagang existing.

Penempatan tersebut ternyata belum bisa membuat  Armis dan beberapa PKL berjualan  dengan tenang. Armis menceritakan bahwa ia berkali-kali ditemui oknum-oknum yang mengaku pengurus organisasi PKL agar mendaftar menjadi anggota dan membayar iyuran organisasi sejumlah R3.000/hari. Permintaan tesebut ia tolak. Terakhir,  Armis dan pedagang yang  tidak mendaftarkan diri terus ditagih uang sejumlah Rp3.000/hari sekalipun tidak menjadi anggota organisasi PKL dengan alasan bahwa organisasi  tersebut telah mengurusi penempatan pedagang.

Cuaca yang tadi terik sudah ditutupi awan gelap. Terlihat akan turun hujan. Lorong    pelataran pertokoan Fase VI sudah menjadi gang mati. Tak satupun pengunjung melewatinya, kecuali  buruh  angkat  dan pedagang yang  berkemas  menyimpan  dagangan  mereka.

“Begitulah, Nak, perjuangan mencari nafkah. Ibu sudah melewati banyak persoalan tapi bersyukur bisa melaluinya hingga bertahan lebih kurang 11 tahun di pasar ini.”

Ia menepuk pelan punggungku sembari menarik napas. “Berjualan itu harus sabar dan berlapang dada, biar berkah.”

Kata penutup  Armis terus menjadi kawan pulangku menuju rumah untuk siap-siap berbuka puasa.

***

Cuaca tampak tak bersahabat namun lapak para pedagang kaki lima tak surut membentangkan dagangannya. Aku kembali berkunjung ke salah satu PKL di Pasar Raya di Jalan Permindo, jalan yang pernah menjadi tempat perlawanan demi mencari sesuap nasi para pedagang, yang hampir setiap waktu dipadati mobil Satpol PP Kota Padang. Namun untungnya solusi ditemukan setelah Pemko Padang menetapkan regulasi waktu, di mana para pedagang Permindo boleh berjualan tepat pukul 14.00.

Hari ini bertemu salah satu PKL Perempuan, ia berjualan jam tangan, ketika berkunjung ada dua orang yang menawar dagangan miliknya, namun seperti yang terlihat, tak berlangsung lama si ibu ternyata baru saja pacah talua. Panggil saja ia dengan sebutan “Ibu Pejuang”. Sedari umur 15 tahun ia sudah berdagang membantu orang tuanya, yang dulu bertempat di gang KUKMI, setelah enam belas tahun berlalu ia memutuskan pindah ke Jalan Permindo dikarenakan gang KUKMI tak lagi menjanjikan untuk bisa mencukupi pembeli beras.

Hari ini, (1/4/2023) sudah enam belas tahun pula ia berjualan di Jalan Permindo. Tempat yang sudah ditetapkan oleh Dinas Perdagangan Kota Padang. Ia masih bertahan meski sehari cuma membawa pulang dua lembar uang kertas senilai Rp200 ribu. Itupun ia harus membayar tukang angkat barang sebesar Rp25 ribu dan gaji karyawannya perhari Rp50 ribu jadi ia hanya membawa pulang uang sebanyak Rp125 ribu untuk menyambung hidup.

Tak hanya persoalan sepi pembeli, “Ibu Pejuang” kerap didatangai oleh seorang oknum organisasi PKL, mereka memaksa untuk membayar iuran Rp3.000 per hari. Tetapi karena “Ibu Pejuang” tidak bergabung ke dalam organisasi, ia enggan membayar.

“Saya bukan anggota dari organisasi KB PKL, yang menempatkan lokasi jualan saya itu orang Dinas Perdagangan. Jadi jangan paksa saya untuk wajib membayar iuran Rp3.000 per hari. Tidak ada hak KB PKL untuk memaksa saya membayar. Belum berdiri organisasi ini, saya sudah diizinkan berjualan oleh Dinas Perdagangan.”

Ia menolak bergabung karena tak adanya transparasi soal iyuran yang dikumpulkan oleh organisasi PKL tersebut, penolakan inipun berujung kepada ancaman. Oknum Organisasi PKL ini kemudian memberi tanda silang (26/03/2023) berwarna merah bertanda tidak diperbolehkan berjualan karena si Ibuk tidakyar ADRT sesuai keinginan organisasi PKL.

Namun ancaman dan gangguan atas iuran yang kerap memaksa ia ikut membayar, tak membuat ia takut karena organisasi tidak bersifat memaksa, dan “Ibuk Pejuang” belum melaporkan kejadian ini kepada Dinas Perdagangan.

“Selagi ibuk masih bisa berjualan, ya biarkan saja mereka. Jika mereka datang dan mengacam, ya kita lawan lagi,” tuturnya.

Ketua Organisasi KB PKL Pasar Raya Padang

Usai menemui dua orang pedagang kaki lima (01/04/2023) untuk mengkonfirmasi terkait keresahan mereka dengan adanya pemaksaan iuran serta relokasi, sesuai dengan keluhan PKL ketika liputan berlangsung, Aku berkunjung ke Kantor Hukum Organisasi Keluarga Besar Pedagang Kaki Lima (KBPKL) Kota Padang untuk menemui Ketua KB PKL. Organisasi yang ada di salah satu Kota Padang tepatnya berada pada jantung pusat.KBPKL Kota Padang berdiri tidak lain dengan tujuan agar dapat saling membantu para pedagang kaki lima di Pasar Raya Padang dalam hal ekonomi. 

Setelah memberikan pesan Ketua KBPKL Idman, kamipun bertemu di lantai dua tepat dimana KB PKL itu berada. Terkait relokasi, Idman sepakat dengan kebijakan yang dilakukan oleh Dinas Perdagangan Kota Padang.

“Saya tahu bahwa ada banyak orang yang tidak suka dengan keberadaan KB PKL, termasuk orang DPRD sendiri yang banyak memusuhi saya.”

Kantor KBPKL

Namun ketika ditanyakan bagaimana perlindungan KBPKL terhadapan PKL yang menjadi korban relokasi, ia menjawab bahwa itu adalah tugas Dinas Perdagangan. Ketika ditanyakan tentang adanya pemaksaan terhadap PKL untuk wajib bergabung ke dalam organisasi KB PKL dan pemaksaan iuran Rp3000 per hari tersebut, ia enggan menjawab. 

“Bapak ini sudah senior, ini Bapak sudah tua di lapangan, jangan dipermainkanlah Bapak ya.”

Idman pun pun bergegas pergi dengan enggan menjawab terkait pemaksaan iuran terhadap PKL yang tidak bergabung ke dalam organisasi KB PKL.

PBHI Sumatra Barat

Selesai  berbuka aku mendatangi lokasi tempat tinggal (29/04/2023) salah seorang anggota PBHI  Sumatra Barat selaku  kuasa   hukum  dan pendamping  Armis dan    kawan-kawan sebagai PKL. Ia  biasa dipanggil  “Ibu An”. Setelah menceritakan maksud kedatanganku, dan persoalan yang dialami Armis serta  pedagang  lainnya, An membenarkan apa yang dikeluhkan Armis.

Kuasa Hukum PBHI Sumbar dan pendamping Armis

Menurut An, pedagang dengan   didampingi  PBHI Sumatra Barat sudah menyampaikan apa yang dikeluhkan Armis dan kawan-kawan kepada Dinas Perdagangan.

“Secara lisan aduan kami sudah ditanggapi Dinas Perdagangan Kota Padang dan bahkan  kepada  Sekdako Padang dan berjanji akan menindaklanjutinya sesuai peraturan yang berlaku, namun faktanya PBHI tidak melihat adanya upaya nyata yang dilakukan. Dinas Perdagangan Kota Padang bahkan dengan tegas menyampaikan kepada pedagang bahwa tidak ada paksaan untuk bergabung ke dalam sebuah organisasi,  apalagi membayarkan uang kecuali retribusi kepada  petugas. 

Dinas Perdagangan

Melalui telepon (30/03/2023), aku menghubungi Kadis Perdagangan  Kota  Padang  Drs. Syahendra Barkah untuk mengkonfirmasi keluhan Armis dan kawan-kawan.  Menanggapi konfirmasi tersebut, Kepala  Dinas  Perdagangan mengaku tidak mengetahui adanya pemungutan yang dikeluhkan Armis dan kawan-kawan. Begitupun ketika dikirimkan dua bukti berupa foto lapak pedagang yang mendapatkan dua tempat untuk satu orang, Kadis tidak menanggapi akan hal ini.

 “Bahkan kami saja mengeluarkan kebijakan untuk tidak dulu memungut retribusi, Kami juga belum pernah dapat laporan tentang hal ini,” tegasnya.

Namun mengenai relokasi, Kepala Dinas Perdagangan Kota Padang mengakui bahwa persoalan  lokasi pemindahan pedagang, memang kurang memadai.

“Itu kami akui, karena memang ini hanya merupakan tempat sementara menjelang bangunan baru selesai dibangun. Namun kami tetap mengupayakan semaksimal mungkin untuk menjadikan tempat itu layak,” akunya.

Kepala Dinas Perdagangan juga menjelaskan bahwa ia terus berkoordinasi dengan pengurus pedagang agar apa yang jadi keinginan pedagang akan semaksimal mungkin dilaksanakan sesuai kemampuan keuangan yang ada.

“Saya berharap pedagang harus bersabar dahulu nanti mereka juga akan mendapatkan sarana yang jauh lebih representatif ketika bangunan baru.” Telepon pun berakhir. ***



BACA JUGA