Salah satu sudut dan kawasan sungai Batang Anai yang digali dan ditambang material pasir, kerikil, bebabtuan secara seranpangan dan ilegal
Laporan Dharma Harisa (Jurnalis)
JALAN tol Padang-Sicincin, Sumatera Barat—panjang 36,6 kilometer—sudah diujicobakan pada 15 Desember 2024. Proses pembangunannya mendapat sorotan terutama para aktivis lingkungan dan masyarakat tempatan. Material galian C (bebatuan, kerikil, dan pasir) diduga diambil dari Batang Anai secara ilegal untuk pembangunan jalan tol Padang Sicincin. Tapi pihak HKI membantahnya. Ekosistem kehidupan masyarakat porak-poranda karena tambang galian C yang tak terkendali ini.
Dalam penelusuran yang dilakukan tim peliputan kolaborasi Depati Project, SIEJ dan Walhi Sumbar, terlihat marak aktivitas tambang ilegal di sepanjang Sungai Batang Anai, yang kini sudah menimbulkan dampak buruk terhadap kehidupan warga dan lingkungan daerah aliran sungai.
Sungai Batang Anai melintasi Kabupaten Tanah Datar, Padang Pariaman, Kota Padang Panjang dan sebagian Kota Padang, memiliki panjang sekitar 27 kilometer. Batang Anai bermuara ke Samudra Hindia di wilayah Kota Padang. Sungai ini memiliki peran penting dalam ekosistem kehidupan masyarakat. Ia berfungsi sumber air bagi masyarakat sekitar, untuk irigasi, dan potensi kepariwisataan.
Ruang Hidup yang Mengikis
Andi, 56 tahun, salah seorang warga Korong Pasa Kandang, Nagari Balai Hilia, Lubuk Alungm Padang Pariaman, sore jelang senja raya, mencongkong di tepi kebunnya. Ia mengawasi sapi dan mematut-matut parak cabainya yang tak begitu luas, yang tak jauh dari bibir Batang Anai.
Ia mengisahkan, belakangan ini, banyak tepian sungai tergerus dan runtuh, lalu menjadi aliran sungai. Dulunya ini jarang terjadi.
"Dulu, lokasi reruntuhan itu bukan sungai. Itu lahan (parak) kami. Tanah itu sebelum menjadi sungai tempat berladang. Sekarang sudah jadi aliran Sungai Batang Anai. Dulu, rumah kami berdiri jauh dari aliran sungai yang sekarang itu. Karena terkikis hebat, rumah kami lenyap ditelan aliran Sungai Batang Anai,” kata Andi kepada tim dengan suara serak Senin (13/12/2024).
Ia tahu persis, penyebab lenyapnya rumah asal keluarganya itu adalah maraknya penggalian pasir, batu, dan kerikil yang disebut galian C secara ilegal dan serampangan. Penggalian pasir, batu, dan kerikil secara ilegal ini telah mengubah lanskap, dan merusak dan mengalihkan sempadan sungai. “Sungai Batang Anai sering mengamuk dengan mengikis pinggiran sempadan kiri-kanan. Kita tidak bisa berbuat apa-apa.”
Ermi, 63 tahun, saudara perempuan Andi, tampak matanya menatap jauh ke arah sungai yang kini membelah kebunnya.
"Dulu aliran sungai berada di sini, sekarang terpotong oleh jalan tol. Tanah kami terban dan akses menjadi sulit," katanya sambil menunjuk ke arah megahnya jalan tol yang mengerubungi sungai, Tanah yang semula subur kini tersisa setengahnya, tergerus oleh ekskavator yang tak kenal ampun.
Ermi, salah seorang warga Lubuk Alung yang rumahnya roboh bersama 14 rumah lainnya karena longsor akibat tambang galian C ilegal
Di Jorong Lasuang Batu, Nagari Sungai Buluh Timur, Kecamatan Batang Anai, tragedi menggulung lingkungan dan ekosistem lebih dalam lagi. Sebanyak 15 rumah hancur akibat longsor yang diakibatkan oleh tambang dan galian C ilegal.
Herni, 42 tahun, menceritakan, kini setengah bagian rumahnya roboh. Hanyut. Kini keluarganya terpaksa tidur di depan rumah setiap malam. Setiap malam angin lembab membungkus tubuh mereka. “Dingin sampai ke tulang.”
"Dulu, panen padi kami mencapai satu ton. Sekarang hanya setengahnya karena tanah longsor. Lahan mengecil. Sebagian lenyap dimakan arus Sungai Batang Anai," Ernawati, 52 tahun, berkisah kepada kami.
Ia mengaku, kehilangan empat rumah dan sawahnya karena aliran Batang Anai mengamuk sungai yang dulunya adalah lapangan bola bagi anak-anak kini berubah menjadi aliran air yang membelah pemukiman dan mengeruk daratan.
Sementara itu, Herik Rinal Datuak Sirajo, 40 tahun, tokoh masyakarat dan juga seorang panngulu, di Lubuk Alung, menceritakan penderitaan yang tak terhingga akibat penambangan galian C yang tidak terkendali di kampungnya. Dampak buruk cukup banyak dialami masyarakat.
"Mulai dari ISPA, sumur kering, hingga anak-anak yang harus membuka sepatu karena jalan berlumpur. Petani paling dirugikan adalah mereka yang memiliki ratusan hektare sawah tak terairi karena irigasi rusak. Dampaknya cukup luas. Dari Nagari Salibutan sampai ke Pasar Usang mengalami sumur kering," terangnya.
Herik Rinal Datuak Sirajo, tokoh masyarata dan Pangulu di Lubuk Aluang yang juga anggota AMMUAK (Aliansi Masyarakat Menolak Perusak Lingkungan)
Ia menyuarakan kegelisahan yang mendalam, menggambarkan betapa tambang galian C ilegal ini telah merusak ke dalam semua aspek kehidupan masyarakat.
Kuslaini, 52 tahun, ibu rumah tangga di Korong Gantiang Koto Buruak, menceritakan kekeringan sumur akibat tambang ilegal yang membuat kehidupan sehari-hari semakin sulit. "Sebelum tambang, air sumur selalu terisi. Sekarang, hampir semua sumur kering. Kami terpaksa mengeluarkan biaya besar untuk membuat sumur bor."
"Kami terpaksa mengeluarkan jutaan rupiah hanya untuk mendapatkan air bersih. Jika tambang terus berjalan, kami akan semakin kesulitan," tambah Darmawan, 57 tahun, tetangga Kuslaini.
Darmawan, salah seorang warga Lubuk Alung yang memperlihatkan sumurnya kering.
Debu dari galian juga mengancam kesehatan warga. "Dulu udara bersih. Sekarang kami sering batuk, sesak napas, dan anak-anak mudah sakit," tambah Darmawan.
Di Korong Gantiang, Koto Buruak juga mengalami hal buruk akibat tambang ilegal ini. Sebuah jembatan yang menghubungkan pemukiman warga dengan pusat perekonomian di Lubuk Alung terancam runtuh.
Ica, 35 tahun, salah seorang warga Korong Gantiang, sangau khawatir jembatan itu akan ambruk jika air sungai terus menghantam tebing.
"Kami takut jembatan ini putus. Kalau itu terjadi, kampung kami akan terisolasi. Anak-anak harus memutar untuk sampai ke pasar Lubuk Alung. Anak kami jauh untuk sekolah, dan perjalanan jadi lebih lama. Kami kami akan terisolir," terang Ica dengan nada cemas.
Sementara itu, Jembatan Kayu Gadang menjadi bukti nyata akibat abrasi sungai Batang Anai. Jembatan senilai Rp2 miliar itu hanya bertahan dua tahun sebelum ambruk akibat tergerus aliran sungai. Tragisnya, dua warga pernah jatuh dari jembatan itu dan meninggal dunia. Hingga kini, jembatan itu tak pernah diperbaiki lagi.
"Jalan-jalan yang dulu jadi akses utama juga sudah banyak yang putus. Kami benar-benar terkepung," tambahnya.
Kisah Tambang Ilegal
Meningkatnya aktivitas tambang ilegal di Batang Anai bukan hanya tentang material yang diambil, tetapi juga dampak lingkungan dan rusaknya ekosistem. Sungai yang mengalir dari beberapa gunung di Sumbar ini menjadi saksi bagaimana kebutuhan pembangunan telah menggerus keseimbangan ekologisnya.
Pada awal 2000-an, pembangunan besar seperti Bandara Internasional Minangkabau (BIM) mulai meningkatkan permintaan material pasir, bebbatuan, dan kerikil. Dampaknya, alat berat seperti ekskavator mulai masuk ke kawasan Batang Anai untuk mengambil material dalam jumlah besar.
“Ekskavator dan alat pengeruk berat lainnya digunakan mengerul dan juga sekalgus merusak aliran sungai dan ekosistem di sekitarnya,” kata Herik Rinal Datuak Sirajo, anggota AMMUAK (Aliansi Masyarakat Menolak Perusak Lingkungan).
Awalnya, tambang dilakukan di lahan milik masyarakat sekitar Sungai Batang Anai dengan sistem bagi hasil. Namun, setelah warga mulai merasakan dampak buruk seperti rusaknya irigasi dan berkurangnya air sumur, mereka berhenti menyewakan lahan. Hal ini memaksa para pelaku tambang untuk menggeser aktivitas mereka ke tepian bahkan ke badan sungai, yang memperparah kerusakan lingkungan.
Puncaknya terjadi pada 2010-2015, saat tambang ilegal dengan ekskavator semakin meluas. Herik mencatat bahwa kerusakan akibat tambang ini begitu masif, dengan masyarakat harus menghadapi dampak langsung berupa sumur kering dan merebaknya penyakit seperti infeksi saluran pernapasan akut (ISPA).
Di tengah keresahan ini, warga yang tergabung dalam AMMUAK Piaman Laweh memulai perlawanan. Pada 2017, mereka bahkan menggelar aksi di Kantor Polda Sumatera Barat, meskipun hanya 10 orang yang hadir karena intimidasi yang diterima sehari sebelum demonstrasi.
“Meski kecil, aksi itu cukup berhasil menghentikan tambang ilegal selama sekitar dua tahun,” ujar Herik.
Namun, upaya ini tak bertahan lama. Sejak pembangunan Tol Padang-Sicincin dimulai, aktivitas tambang ilegal kembali meningkat. Menurut Herik, material dari tambang ilegal tersebut diduga menjadi salah satu sumber pasokan utama proyek strategis tersebut.
“Material ditampung perusahaan atau stone crusher berizin, lalu disalurkan ke proyek tol,” ungkapnya.
Tokoh masyarakat setempat, Happy Neldy, menyebut minimnya pengawasan sebagai penyebab maraknya tambang ilegal. Bahkan, perusahaan berizin pun kerap menambang di luar area yang tercantum dalam izin usaha pertambangan (IUP).
“Tidak menutup kemungkinan materialnya digunakan untuk pembangunan tol,” katanya.
Namun, Sekretaris Perusahaan PT Hutama Karya Infrastruktur (HKI), Philadelphia H.H.P., membantah keterlibatan mereka dalam penggunaan material ilegal.
"Kami bekerja sama dengan vendor yang memiliki izin resmi. Setiap vendor memiliki Izin Usaha Pertambangan (IUP) Quarry, perizinan lingkungan, serta kewajiban membayar pajak galian C berdasarkan volume material yang digunakan," katanya, dikutip dari Depati Project.
Dugaan Praktik Beking
Walhi Sumbar melaporkan dugaan praktik beking yang melibatkan oknum kepolisian di Sumatera Barat kepada Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas). Walhi mendesak agar Kompolnas segera memberikan rekomendasi kepada Presiden untuk menindaklanjuti kasus ini dengan instruksi kepada Kapolri.
"Seluruh pejabat kepolisian di Sumbar, mulai dari Kapolda hingga Kapolres yang wilayahnya terdapat aktivitas tambang ilegal, harus dinonaktifkan sementara dan diperiksa," ujar Walhi dalam laporannya, dengan harapan proses pemeriksaan ini bisa dilakukan dengan transparan dan efektif.
Herik Rinal Datuak Sirajo, salah seorang tokoh masyarakat di Sumbar, juga menyoroti ketidakmampuan pemerintah daerah dalam memberantas praktik beking yang sudah mengakar dalam jaringan tambang ilegal tersebut.
Situasi semakin rumit setelah insiden penembakan yang melibatkan aparat kepolisian di Polres Solok Selatan pada Jumat (22/11/2024). Penembakan terjadi saat AKP Ryanto Ulil Amri dari Sat Reskrim Polres Solok Selatan menangkap seorang pelaku tambang ilegal. Diduga, AKP Dadang Iskandar, Kabag Ops Polres Solok Selatan, tidak setuju dengan penangkapan tersebut, yang akhirnya berujung pada penembakan.
Setelah insiden tersebut, meskipun aktivitas tambang ilegal di Batang Anai sempat terhenti untuk sementara waktu, masyarakat tetap khawatir, mengingat kemungkinan kembalinya aktivitas tersebut begitu situasi mereda.
Pada Senin (25/11/2024), Komisi III DPR yang mengunjungi Polda Sumbar di Padang, turut mendesak Kepala Polda Sumbar, Inspektur Jenderal Suharyono, untuk menutup seluruh tambang ilegal. Sejalan dengan instruksi langsung dari Presiden.
Wakil Ketua Komisi III DPR, Ahmad Sahroni meminta agar seluruh yang terlibat dalam praktik tambang ilegal, siapa pun yang menjadi beking, harus ditindak tegas..
Dalam pertemuan tersebut, Kepala Polda Sumbar, Inspektur Jenderal Suharyono, menyatakan bahwa perintah tersebut akan diikuti, dan dia telah menginstruksikan kepada para Kapolres di Sumbar untuk mengambil tindakan tegas terhadap semua tambang ilegal yang masih beroperasi di wilayah mereka.
Edral Pratama, Kepala Bidang Pertambangan Dinas ESDM Sumatera Barat, menyampaikan pentingnya tata kelola tambang yang baik, termasuk perizinan, teknis pertambangan yang sesuai aturan, dan reklamasi pascatambang.
"Kami mendorong pelaku usaha untuk segera mengurus perizinan tambang. Jika ada yang melanggar, akan dikenakan sanksi," katanya.
Namun, Edral tak menampik adanya laporan tambang ilegal yang beroperasi langsung di sungai serta perusahaan berizin yang menambang di luar wilayah IUP.
"Jika ada ekskavator yang mengambil material langsung dari sungai, itu jelas ilegal. Siapa pun pelakunya bisa dikenakan sanksi oleh aparat hukum," tegasnya.
Harapan Warga
Ernawati, 52 tahun, masih merasakan luka mendalam akibat arus sungai yang menggerus rumahnya. "Belum ada kejelasan dari pemerintah apakah rumah kami akan diganti atau tidak," ujarnya. Fatmawati, 53 tahun, warga lain di Batang Anai, juga kehilangan rumah akibat arus sungai.
"Kami berharap ada tindakan nyata dari pemerintah untuk melindungi kami. Jika tidak ada dam atau perlindungan, kami semua akan lenyap bersama rumah dan tanah kami," pinta Fatmawati.
Warga berharap pembangunan infrastruktur yang membawa janji kesejahteraan jangan sampai jadi ladang penderitaan yang mendalam bagi masyarakat. "Kami berharap pemerintah dapat menindak tegas tambang ilegal ini dan memperbaiki kerusakan yang telah terjadi," tutup Herik Rinal. SSC/Haris