Bahtera Bugis

--

Selasa, 18/04/2023 08:21 WIB
-

-

OLEH Fatris MF

Apa yang bisa dibanggakan dari kapal layar di zaman ketika lautan telah dikuasai mesin dan peta dilepaskan dari tafsir? Di masa ketika angin telah patah, masihkah layar memiliki arti?

Di pulau-pulau terlantar di kungkungan Laut Sawu, akhir 2020 ini, perahu yang menggunakan layar hanyalah milik nelayan-nelayan miskin yang tidak sanggup membeli mesin. Di perairan-perairan kecil yang terserak antara Sumbawa dan Flores, atau di Labuan Bajo, Anda bisa melihat kapal-kapal kayu yang mewah pengantar tur-tur luks keliling Sail Komodo dengan mesin menderu, menjelma jadi hotel-hotel terapung yang menawarkan tamasya ke pulau-pulau eksotis. Di Sulawesi Selatan, kapal dengan tujuh layar yang menantang angin itu disebut pinisi. Siapa pembuat bahtera legendaris ini?

Naturalis terpandang Inggris Alfred Russel Wallace penah menaikinya dalam perjalan dari Makassar ke Kepulauan Aru pada 1856. Dalam bukunya Malay Archypelago, dengan kagum Alfred Russel Wallace menulis: “Betapa indah segala sesuatu di kapal ini—tidak ada cat, tidak ada ter, tidak ada tali baru. Yang ada justru bambu dan rotan, tali dari sabut, ilalang. Serat-serat asri tumbuhan yang mengingatkan akan suasana tenang di hutan yang hijau dan teduh.”

Bahtera itu memang disusun dari bahan-bahan alami. Terkesan udik memang, akan tetapi sejarahnya dipenuhi catatan heroik yang panjang. Kaum Bugis menggunakannya dalam misi-misi akbar: melayari samudra luas, melawat ke negeri-negeri yang jauh, mengangkangi samudra terdalam demi mencari sumber nafkah hingga ke Eropa dan Afrika. Pinisi pula alasan mengapa selama berabad-abad masyarakat di selatan Sulawesi dikenal sebagai pelaut ulung yang paling nekat, barangkali juga brutal.

“Suku Bugis adalah penjahat-penjahat berhias permata dan bersurban sutra yang mewarnai arketipe bajak laut dalam imajinasi Barat, menghunus badik mereka, dan kemampuan melaut mereka bagaikan iblis. Menyebut nama mereka saja bagai mimpi buruk bagi kami,” begitu antropolog Lawrence Blair menggambarkan mereka dalam Ring of Fire. “Mereka disebut-sebut sebagai navigator lautan yang paling piawai, yang dipandu oleh pola ombak dan petunjuk berupa rumput laut dan feses burung.”

Akan tetapi, nada sarkas juga menghiasi tulisannya setelah ia melakukan pelayaran dengan pinisi, kapal ramping dengan tujuh helai layar. “Mereka telah banyak kehilangan pengetahuan mereka, mereka tak lebih dari sekumpulan gipsi.

Di manakah kini para ‘Gipsi’ yang disebut Doktor Antropologi Lawrence Blair dalam buku kenamaan Ring of Fire sebagai yang telah kehilangan banyak pengetahun mereka itu?

Saya meninggalkan Makassar yang dipenuhi banyak jadwal demonstrasi, melintasi jam-jam melelahkan menuju Bulukumba. Saya akan mencari para pelayar yang menunggangi kapal kayu bernama pinisi. Akankah kebanggaan dengan sebutan pelaut tangguh hanya ada dalam lagu “Nenek Moyangku Seorang Pelaut” saja?

Phinisi, pinisi, pinis, pinas. Meski cara mengejanya berbeda, kata itu penuh dengan hawa laut, seakan terdengar suara angin dan gemuruh ombak, kata Horst Liebner. Dengan takjub, Pius Caro juga menuliskannya dalam Ekspedisi Phinisi Nusantara: Pelayaran 69 Hari Mengarungi Samudra Pasifik. Phinisi, kata Pius, adalah perahu layar tradisional Bugis yang telah mencetak pelayaran-pelayaran bersejarah.

Semua catatan tentang bahtera Kaum Bugis itu bagai pujian yang terdengar begitu berlebihan di zaman sekarang, di zaman yang telah dikuasai mesin dan besi. Akan tetapi, di manakah kini para pelaut tangkas dengan kapal-kapal layar mereka yang melegenda itu? Apakah mereka hanya dalam kisah “konon kabarnya”—membeku dalam cerita lama, bersemayam dalam mitologi, dalam tumpukan penelitian yang dibahas kaum akademisi dengan catatan yang panjang dan tebal memenuhi rak-rak pustaka yang berdebu?

Saya berkendara dua ratus kilometer dari Makassar, terus ke selatan, melewati desa-desa kecil di selatan Sulawesi, rumah-rumah bertiang tinggi, separuhnya berkiblat ke lautan. Kampung-kampung bertanah kering menguning dan penuh bebatuan. Di sanalah Bulukumba, sebuah kabupaten yang terletak paling selatan di Provinsi Sulawesi Selatan. Makin ke selatan, tanah di sana tampak makin tak berarti bagi masyarakatnya— selain sebagai tempat tiang-tiang rumah ditancapkan. Ataukah tanah yang tidak memberi arti bagi masyarakatnya? Susah mencari persawahan yang luas di daratan paling ujung Sulawesi Selatan ini, kualitas tanahnya buruk sepertinya. Barangkali perlu mengumpulkan pendapat ahli pertanian untuk mengetahui buruknya kualitas tanah di sini. Apakah hal ini yang mengakibatkan orang- orang di selatan Sulawesi ini hidup mencari nafkah dengan berlayar selama berabad-abad dari pulau ke pulau di Nusantara, bahkan sampai ke benua lain?

Saya berhenti di persimpangan. Sebuah miniatur kapal layar teronggok di tengah Taman Kota Kabupaten Bulukumba. Pada dindingnya tertulis Mali’ Siparappe’ pepatah Bugis lama dalam aksara Lontara yang berarti hanyut sama-sama terdampar. Tak hanya di taman, bahkan di Bandara Sultan Hasanuddin hingga ruang-ruang kantor pemerintahan memajang miniatur pinisi dengan ukuran yang lebih besar dari burung garuda yang berisi simbol dari Pancasila. Seberapa pentingkah pinisi bagi masyarakat di selatan Sulawesi ini?

Dari ibu kota kabupaten Bulukumba, saya terus berkendara hingga Kampung Ara. Kampung ini lengang karena hampir seluruh prianya bekerja sebagai tukang perahu, membuat pinisi ke kampung lain. Sementara perempuan-perempuannya yang pintar menenun bagai menyuruk di dalam rumah. Hanya tebing- tebing karang terjal Apparalang dihempas-hempas ombak. Lautan jernih membentang. Di tanah kelahiran para pembuat pinisi ini kapal layar penuh mitos itu dijadikan lambang dan ikonik kabupaten. Miniaturnya ada sebagai tugu selamat datang di tiap persimpangan, dan hiasan dinding di kantor-kantor dan gedung- gedung pemerintah. Namun, tak satu pun lagi kini pinisi atau kapal layar itu yang melintas di lautnya. Apakah pinisi hanya cerita masa lalu yang diagung-agungkan zaman sekarang?

Saya duduk di pinggir laut, berteduh di bawah pohon nyiur menghindari terik matahari dan cuaca panas tak kenal ampun. Di samping saya, Haji Masri berdiri. Tiap sebentar, pria tujuh puluh tahun itu melangkah sembari memegang pinggang. Jalannya sedikit terseok dengan pinggang yang dijangkiti encok. Di depan kami sebuah kapal kayu berkapasitas seribu ton menghadapkan haluan ke barat. Di bawah kapal kayu besar itu, para pekerja sedang bermandi peluh menarik rantai besi yang dikatrolkan. Tiga puluhan orang jumlahnya, saling berteriak sembari menarik rantai. Ombak mengempas, menjilat-jilat, menampar dada dan pundak para pekerja dengan keringat asin yang telah bercampur dengan garam lautan.

Sekarang hari kelima. Seorang saudagar di pantai timur Sumatra sana telah menunggu pesanannya, kata Haji Masri. Walau telah rampung dikerjakan, tapi kapal kayu berlambung besar ini belum kunjung sampai di laut. Hanya beringsut sedikit- demi sedikit ke arah lautan. Kambing telah dikorbankan dan darahnya telah memerciki geladak dan buritan kapal. Barzanji juga telah didengungkan pada malam-malam sebelumnya. Haji Awang, menantu Haji Masri, datang memantau para pekerja. Haji Awang, belum empat puluh tahun, mungkin terlalu muda untuk seorang juragan kapal yang rata-rata dilakoni lelaki uzur. Sebentar-sebentar, haji muda itu menggelengkan kepala, seolah- olah sedang tak percaya kapal itu begitu sulit diantarkan ke lautan—seperti kambing raksasa yang ditarik ke air.

Berjarak belasan meter dari tempat Haji Awang berdiri, lima buah kapal kayu lainnya telah hampir rampung, dua buah kapal kecil juga hampir selesai dikerjakan. “Ini pinisi kargo,” Haji Awang mengenalkan kepada saya hasil kerajinannya. Dalam satu tahun, paling banyak, tiga kapal kayu dilarung memenuhi pemesan. “Pesanan banyak sekali, kadang kami harus menolak,” kata Awang lagi. Awang bercerita bagaimana susahnya mencari kayu sekarang, sementara permintaan begitu banyak. Untuk sebuah pinisi kargo yang ditunjuk Awang tadi bisa dihargai lima miliar rupiah. Dari penjualan kapal, harapan ratusan pekerja Awang tersandar.

“Orang di sini tidak bisa bekerja apa-apa selain membuat pinisi,” Awang sedikit berseloroh. Haji Masri tertawa mendengarnya, membuat garis wajahnya yang keriput sedikit tertarik ke belakang, taring dan gigi depannya terlihat cokelat karena tembakau.

Dari pagi hingga sore menjelang, puluhan pekerja terus bermandi peluh. Bila pasang datang, hanya kepala mereka yang terlihat, sementara badan mereka ada dalam laut. Para pekerja itu datang dari Kampung Ara, kampung tetangga Bira, kampung yang melahirkan para arsitek dan pekerja pinisi—kampung yang membeku dalam catatan dan mitologi pelayaran masa silam sebagai roh nenek moyang pembuat perahu.

Dua puluh kilometer dari tempat Haji Masri dan menantunya Haji Awang berdiri, Abdullah tengah duduk di kantornya: ruang tiga kali empat meter yang berantakan di pinggir laut Tana Beru. Dari ruang yang bagai kapal pecah inilah Abdullah melahirkan pinisi. Pinisi, yang pada zaman ini merupakan jenis kapal pesiar mewah yang berlayar membawa tur-tur luks keliling Nusantara masih terus diproduksi dengan permintaan yang tinggi dan harganya yang meroket. Lebih dari tiga puluh kapal pesiar hingga pinisi sekelas Alila Purnama lahir dari tangan dingin Abdullah dan para pekerja di Tana Beru. Pekerja-pekerja andal yang melintasi abad.

“Banyak orang Barat datang bertanya kenapa ki tak pakai gambar. Sejak kapan orang Bugis pandai menggambar? Gambar- nya itu di sini,” kata sang Haji menunjuk kepalanya, menjawab pertanyaan yang diajukannya sendiri. Abdullah kemudian menjelaskan pada saya, bagaimana sebuah pinisi dibuat. Betapa aneh teknik pembuatannya, kerangka ditatah setelah lambung selesai dibentuk.

“Tidak ada yang aneh!” Abdullah tua membantah saya. Bantahan yang terdengar seperti hardikan bagi orang yang tidak mengenal watak keras orang-orang Bugis.

Haji Masri, Haji Awang, juga Abdullah—mereka tinggal di sebuah kabupaten di ujung selatan Sulawesi Selatan berisi para pembuat kapal, para arsitek, para pelayar andal—sisa dari masa lalu Kaum Bugis.

“Kami pelanjut. Kami bukan sisa. Anak saya kuliah perkapal- an. Tak seperti saya, ia bisa menggambar kapal. Detail,” kata Abdullah kembali membantah dan menghardik saya.

“Dulu, enam bulan saya di Amerika mengajar mereka mem- buat kapal Bugis ini. Setelah itu saya tidak mau lagi mengajar orang Barat. Nanti orang Bugis mau makan apa? Tapi, jangan kamu bilang sekali lagi kalau kami sisa dari masa lalu. Kami ini pelanjut!” kata Abdullah lagi menatap lurus ke muka saya. Lelaki tujuh puluh tahun itu berbadan kecil belaka, tapi suaranya menggema besar dan tinggi.

“Dari pinisi ini saya bisa naik haji,” lagi-lagi, kata-kata yang keluar dari mulut Abdullah—maksud saya Haji Abdullah—keras bagai sebuah ledakan beruntun, hingga dinding “kantor” ini tak sanggup menahan gema suaranya.

Kampung-kampung yang terserak di atas tanah “gersang” selatan Sulawesi dipenuhi kapal-kapal kayu yang disebut pinisi. Saya telah menemukan para pekerja yang tak terhitung jumlahnya. Mereka adalah “arsitek-arsitek” berwatak keras yang tak butuh gambar. Tapi, ke manakah perginya para pelaut ulung dalam catatan lama itu? Bukan pembuat kapal, tapi pengendaranya. Mereka yang hidup melintasi lautan dengan tujuh layar terikat pada perahu ramping bernama pinisi itu, pelaut Bugis yang dalam kamus Barat mengilhami kata horor “bogey”. Masih adakah “sisanya” kini? Ataukah mereka telah dikalahkan oleh mesin yang menggeser peran layar? Apakah mereka telah hilang dilamun ombak lautan, lenyap dibenamkan amuk zaman? Ataukah mereka telah kalah atau dikalahkan oleh mesin dan besi yang menggantikan layar dan kayu?

“Apa? Pinisi? Kalau cuma itu alasan kamu ke sini, pulang ma ki saja! Sudah tidak ada lagi yang namanya pinisi!”

Belum selesai saya utarakan maksud kedatangan, saya telah dihadang gertakan lelaki tua berkulit hampir legam dengan jari jemari keras bagai buku-buku tebu. Saya berkunjung ke rumahnya di pinggir Laut Bira, dan saya belum sempat duduk.

“Amanagappa, itu pinisi terakhir. Setelah itu tidak ada lagi yang namanya pinisi!” Suara Haji Safaring menggelegar mem- bantah pertanyaan dan maksud kedatangan saya. Suaranya berat seperti gemuruh ombak, matanya nyalang, badannya tambun dengan otot-otot kokoh masih menyembul walau kulitnya telah kendur.

“Tidak ada lagi!” ia mengulang kata-kata keras dengan suara makin meninggi. Tidak butuh pendapat psikolog untuk menge- tahui kerasnya watak haji tua berkain sarung dan berbadan tambun yang teronggok di depan saya kini. Menurutnya, pinisi adalah kapal tradisional masyarakat Bugis yang berlayar meng- gunakan angin. Kapal layar ramping yang dianggap sanggup melintasi samudra mana pun di muka bumi.

“Jika sudah pakai mesin, itu bukan pinisi!” kata Safaring kian meninggi.

Menurut Haji Safaring, ia adalah generasi terakhir “penung- gang” pinisi; dia pelaut tangguh Bugis yang tak butuh mesin untuk melaut. Pelayaran terakhirnya adalah menunggangi Amanagappa—pinisi yang tuntas dirakit pada Agustus 1991. Pemesannya, seorang pria Eropa, ingin kapal itu diboyong ke Madagaskar, sekitar 8.000 kilometer dari Sulawesi. Tetapi, siapa yang sanggup melarungkan kapal kayu tanpa mesin sejauh itu?

“Itu pelayaran gila,” kata Haji Safaring memalingkan kepala. Nada suaranya tidak sekeras sebelumnya. Ia tertawa, ketawa sendiri. Mengenang masa lalu bagai mengingat cinta pertama. Saya tidak ingin bertanya. Matanya yang menyala seketika menyipit menahan tawa. Ia kemudian mendadak diam. Wajahnya yang setengah gelap menjadi merah padam. Entah menahan tawa, entah karena mengingat masa silam yang kini telah terbenam ke dasar lautan. Tanpa disilakan, saya duduk di kursi.

Dipandangnya lautan lepas yang biru dengan ombak kecil mengempas ke tepi. Begitu biru, begitu melankolis. Lautan luas yang dipenuhi kapal-kapal kecil dan perahu nelayan yang melego jangkar. Semua memakai tenaga mesin, tak satu pun pinisi, seperti kata Safaring. Ia masih memalingkan muka, tapi yang ditatapnya masih juga lautan. Tatapannya tampak kosong seperti mengingat sesuatu yang entah apa, hanya Haji Safaring yang tahu. Saya pun tidak hendak bertanya. Cuaca panas Bira disapu angin hingga ke dalam rumah. Rumah panggung dengan tiang tinggi dan ruangan kecil-kecil seperti dek pada kapal. Saya tengah duduk di rumah Bugis, yang entah kenapa juga lotengnya rendah sekali, hingga saya sadar kalau rumah ini menyerupai ruang pada kapal, hanya saja tanpa layar dan kemudi.

“Itu bukan penawaran. Itu tantangan terhadap harga diri kami Orang Bugis!” kata Safaring memecah kediaman. Terdengar begitu dramatis memang. Ia menatap saya lekat-lekat. Dan ia mulai bercerita.

 

Syahdan. Ada enam orang lelaki Bugis keras kepala yang menerima tantangan tersebut, dan Safaring salah satunya. Mereka menyanggupi tantangan itu, sebagaimana nenek moyang mereka yang terkenal dalam sejarah berlayar mengikuti angin, menebak gelagat lautan hanya lewat sesudut langit, tanpa kompas, tanpa penunjuk arah yang jelas.

“Haluan itu di sini,” kata sang Haji menusuk-nusuk dadanya dengan jari telunjuknya. Tetapi, Safaring dan lima orang rekannya (empat dari rekannya telah tutup usia) bukan nakhoda yang piawai di zamannya. Sebuah pinisi tentu butuh seorang nakhoda, juru kemudi. Sedang mereka rata-rata seusia. Pinisi butuh seorang panutan, seorang imam, agar tafsiran terhadap lautan tidak melantur ke sana kemari, biar haluan berjalan lurus dan tidak pesong.

Siapa sanggup menakhodai sebuah perahu sepanjang belasan meter dengan dua tiang dan tujuh layar ditambah setengah lusin pria muda berwatak kasar yang bertindak sebagai juru layar?

“Tak Bugis yang bisa diatur,” kata sebuah anekdot. Seorang pengelana Cina dari abad ke-12 berkata bahwa orang Bugis suka berpikir dan bertindak menuruti kemauannya sendiri. Mengatur lelaki Bugis sama seperti menghambat laju ombak. Lelaki Bugis telah keras kepala sejak dalam kandungan, begitu kata anekdot lain.

Akan tetapi, pelayaran itu “diselamatkan” dengan kehadiran seorang pelayar tua bernama Muhammad Yunus. Saking tuanya, umurnya sendiri ia lupa, begitu kata Haji Safaring mengingat sang nakhoda. Umurnya kira-kira tujuh puluh tahun ketika itu, mungkin lebih.

“Itu lelaki yang kepalanya terbuat dari batu. Bayangkan, di usia telah bau tanah, ia menyanggupi berlayar bersama kami yang masih muda,” Haji Safaring meneguk teh panas, sepanas cuaca di luar yang makin berdengkang.

Dari Bonto Bahari, sebuah kecamatan di Bulukumba, Amanagappa bertolak ke Bali, terus ke Pulau Chrismas. Dari Pulau Chrismas ia menyerong, terus membelah Samudra Hindia. Di Samudra Hindia-lah pelayaran yang sebenarnya mulai me- nampakkan wujud: gelombang dan badai menjadi-jadi. Badai dan gelombang yang belum pernah dijumpai Safaring sebelumnya.

“Badai dan gelombang di Laut Banda yang dianggap sudah tinggi, ei belum ada apa-apanya dibanding Samudra Hindia punya,” Safaring bergumam sendiri.

Dua puluh hari dua puluh malam dalam amuk gelombang tiada henti. Dek pinisi tidak pernah kosong oleh air laut, untuk memasak alangkah susah. Angin datang bersamaan dengan badai asin yang kencangnya tak terkira. Ombak dari selatan bertepuk di tengah lautan.

“Bayangkan, ketika kami di dasar gelombang, tiang layar yang tingginya empat belas meter saja tidak disapu angin ujungnya karena tingginya ombak. Radio tidak berfungsi, kontak hilang,” mulut tua Safaring berbusa-busa. Anak perempuan Safaring menghidangkan teh hangat di cuaca panas berdengkang. Saya tidak berpikir panjang, menegak teh, dan terus mendengar celoteh Safaring.

Selama berlayar, Amanagappa nyaris tidak pernah berhenti diamuk badai. Namun, dengan tujuh layar itu mereka berhasil mencapai tempat tujuan tak sampai dua bulan. Madagaskar menyambut mereka dengan sorak-sorai, dengan gemuruh dan tepuk tangan. Koran-koran di tanah air memuat wajah mereka di halaman depan, disusul dengan serentetan piagam penghargaan tak lama setelah itu.

“Uang kertas seratus rupiah dicetak bergambar pinisi! Itu untuk menghargai kami,” kata Safaring lagi.

Pelayaran Amanagappa seperti mustahil, begitu kira-kira berita-berita di koran-koran tanah air ketika itu. “Laut tidak akan membunuh. Kita tidak akan mati di laut!” kata Safaring, mengulang perkataan sang kapten Muhammad Yunus, yang telah mangkat tak berapa lama setelah pelayaran itu selesai. Konon, setelah pelayaran Amanagappa, nyaris tidak ada lagi pelayaran pinisi yang menggunakan angin melintasi samudra lepas.

Kisah pelayaran Amanagappa membeku jadi riwayat, dan riwayat mendekam jadi legenda. Sekarang, Safaring hanya menghabiskan hari di rumah. Sesekali bekerja dengan para arsitek pinisi yang bertebaran di Bulukumba. Begitu pun Ara’unddin, teman satu pelayarannya yang masih tersisa, tinggal jadi nelayan biasa di Bira. Sementara anak-anak mereka tetap bersikukuh menjadi pelaut mengikuti jejak bapak-bapak mereka. Safaring dan Ara’unddin masih ingin terus berlayar sesungguhnya. Hanya saja, zaman telah berubah, arus waktu terus bergulir.

“Sekarang jadi pelaut harus sekolah dulu. Harus pakai surat- surat, buku pelaut, ini, itu—banyak sekali. Dulu kami berlayar pada musim angin barat dan timur, sekarang baru angin badai sedikit malah dilarang berlayar oleh pemerintah,” kata Safaring menutup perbincangan kami. Dulu, kapal-kapal pinisi memang menggantungkan pelayarannya pada siklus dan pergantian musim. Sewaktu musim barat, angin membawa mereka berlayar ke timur. Saat musim berganti jelang pertengahan tahun, mereka kembali dibawa angin yang bertiup ke arah berlawanan. Dari pelayaran- pelayaran itu berbagai komoditas berharga berpindah tangan. Mereka membawa beras, batik, sarung, dan barang pecah belah ke timur untuk ditukar dengan rempah, mutiara, cangkang kura- kura, bahkan sirip hiu dan burung cendrawasih. Barang-barang itu kemudian dibawa ke barat, ke Malaka. Kini, pinisi tak lagi menjadi kekuatan dominan di lautan Nusantara. Di tengah gegas laju perkembangan teknologi naval modern, pinisi dipaksa beradaptasi untuk dapat bertahan. Layar tidak lagi terkembang, dan zaman punya musimnya sendiri.

 

Pelayaran Amanagappa yang empat puluh hari lamanya itu serasa seperti pelayaran Sawerigading, tokoh mitologi dalam naskah beraksara Lontara I La Galigo, naskah 30.000 larik yang jumlahnya lebih panjang dari epik Ramayana. Dalam I La Galigo, Sawerigading dihadang perompak ganas. Sementara Muhammad Yunus dan juru layarnya itu dihadang gelombang yang tak kenal ampun. Pelayaran Sawerigading adalah perlayaran penuh darah, pelayaran memperjuangkan cinta. Sedang keenam orang dalam pelayaran Amanagappa itu berlayar dengan alasan berbeda: membuktikan bahwa pelaut Bugis masih ada!

Bugis telah jadi momok yang menakutkan pada masa silam. Kemampuan melaut dan kekuatan kapal menjadikan kata Bugis—suku yang seharusnya tidak hanya Bugis melainkan juga berbagai suku, seperti Makassar, Mandar, Konjo—dapat disetarakan dengan hantu laut. Catatan-catatan pengembara masa lampau seakan mengamininya dengan penuh takjub. Akan tetapi, pengagungan penuh takjub itu ditampik oleh Christian Pelras. “Mitos belaka!” kata Pelras, penulis buku The Bugis.

Sebagian besar anggota masyarakat Bugis justru adalah petani, petani, dan petani, kata Pelras lagi. Hubungan masyarakat Bugis dengan laut baru dimulai belakangan belaka, pada abad ke-18, satu abad setelah armada laut Kesultanan Gowa dan Tallo dihancurkan oleh VOC. Demikian pula kapal pinisi yang dikenal luas itu ternyata baru dibuat paling cepat di akhir abad ke-19. Pinisi pada awalnya dikenal sebagai transportasi masyarakat dataran rendah yang menghuni bagian selatan Sulawesi. Bahkan nama pinisi itu sendiri diambil, disublim, dari bahasa lain yang bukan dari tanah tempat ia dipuja.

“Petani? Petani apa? Rumput pun tak bisa tumbuh di sini,” Muhammad Ilyas justru menampik pendapat saya—argumen Pelras pastinya. Usia Ilyas telah delapan puluh tahun, tapi badannya masih tegap, penglihatannya masih jelas, telinganya nyaring. Ia mengaku veteran DI/TII, organisasi pemberontak yang merekah di Sulawesi pada 1950-an di bawah pimpinan tentara desersi Kahar Muzakkar.

“Yang ditakuti tentara Sukarno dari DI/TII hanyalah barikade lautnya. Cuma itu!” Muhammad Ilyas berbicara seperti seorang aktor monolog dalam pementasan teater. Istri Ilyas tergopoh- gopoh menghidangkan kami minuman hangat di tengah cuaca gerah. Untuk berbincang dengan lelaki Bugis, tidak perlu mood. Sebab, baru saja saya bertamu ke rumahnya, ia telah bicara seperti mobil blong rem.

Muhammad Ilyas menceritakan, ia hanya beberapa tahun dalam kancah perang, DI/TII diberangus pemerintah pada tahun 1960, dan sang imam Kahar Muzakkar ditangkap dan ditembak. Semua tentara, termasuk angkatan laut DI/TII di- minta menyerahkan diri. Menyerahkan diri, bukan jenis perilaku yang kesatria bagi Muhammad Ilyas maka ia tak hendak menyerah.

Akan tetapi, Muhammad Ilyas, dan beberapa orang TII lainnya, tak tahu hendak ke mana. “Tanah Sulawesi sudah tidak lagi aman waktu itu,” katanya. Ia memutuskan berangkat, mening- galkan anak dan istrinya. “Yang ditakuti orang Bugis itu hanya lapar,” katanya sembari tertawa. “Apa lagi yang bisa diharap di sini? Kami tidak bisa bertani, tidak ada tanah di sini. Hanya batu dan karang. Mau ditanam apa? Padi kita tanam, ilalang yang tumbuh,” ia kembali tertawa terpingkal-pingkal, keras sekali hingga menumpahkan kopi di meja. Istrinya buru-buru mencari kain lap.

Dengan menunggangi pinisi, Muhammad Ilyas dan dua ratus orang sisa pasukannya lalu mengubah rute hidup. Ia berlayar ke barat daya, terus ke Malaka—salah satu pelabuhan metropolis terbesar di dunia saat itu. “Jangan cari Muhammad Ilyas. Di selat Malaka saya dipanggil Ja’far,” ia melanjutkan cerita. Selama dalam pelarian, ia bekerja membawa barang-barang smokel, barang-barang selundupan. Membeli kopi dari dataran tinggi Minangkabau untuk dibawa ke pesisir timur Sumatra, dan melarungkannya ke Malaka. Tak hanya kopi, cengkeh dan lada pun ia dagangkan. Hanya saja, ia berdagang barang gelap, tanpa pajak, smokel. Ia pun jadi DPO polisi dan berkali-kali ditangkap.

Di Malaysia ia dijebloskan ke bui. “Mereka pintar juga. Mereka bisa menangkap kami kalau telah di daratan. Kalau di laut, belum pernah saya dengar orang Bugis ditangkap di tengah laut,” suara Ilyas menggelegar.

Di Laut Tanjung Bira yang hangat dan tak jauh dari rumah Ilyas, saya mengambang seorang diri dengan alat selam seadanya, meneropong dasar laut yang biru dan bening. Sementara arah ke daratan, tebing- tebing tinggi dan terjal tampak menjulang bagai tiang-tiang kapal. Ombak tenang saja, laut seakan sepi, dan saya membayangkan tengah berada di atas sebuah pinisi yang berlayar menuju pulau-pulau yang jauh. Tapi khayalan saya dengan cepat dihancurkan oleh suara deru beberapa perahu motor nelayan yang beriringan pulang melaut. Di daratan paling selatan Provinsi Sulawesi Selatan itu kini, tempat para pembuat pinisi dan para pelayar andal berasal, justru tidak satu pun kapal layar yang singgah.

 



BACA JUGA