
OLEH Alfitri (Departemen Sosiologi FISIP Unand)
MAKAU menjadi daerah administratif khusus di bawah pemerintah Cina sejak tahun 1999. Sebelumnya, sejak tahun 1557, wilayah ini merupakan koloni Portugis. Dengan luas hanya 329 km², Makau berpenduduk sekitar 680.000 jiwa. Lumayan padat.
Keberadaan Makau sebagai daerah khusus di dalam bingkai pemerintah Cina, antara lain dapat dilihat dari kewenangan pintu imigrasi dan kepemilikan paspor sendiri. Selain itu, Makau juga memiliki MOP sebagai mata uang. Namun, pada praktiknya, seperti yang saya alami di minimarket 7-Eleven dan toko suvenir, Dolar Hong Kong juga diterima.
Banyak kesan mendalam yang melampaui pandangan umum mengenai kota yang dijuluki “Las Vegas”-nya Asia ini. Di balik gemerlap kasino dan industri hiburan yang mendominasi citranya, saya melihat adanya dasar sosial dan budaya yang kuat, serta keseimbangan menarik di Makau antara kemajuan ekonomi dan pelestarian nilai-nilai sosial.
Kesan pertama muncul ketika akan berangkat dari Bandara Soetta menuju Makau, Jumat (5/9/25) lalu. Baru duduk di dalam pesawat Air Macau, saya terkejut dan kagum ketika pramugari menawarkan surat kabar. Sudah lama rasanya saya tidak menemukan maskapai di Indonesia yang menawarkan surat kabar untuk dibaca-baca dalam penerbangan.
Kesan berikutnya adalah ketika terbang di ketinggian 39.000 kaki di atas Laut Cina Selatan. Dengan ramah pramugari membagi makanan seraya bertanya, “Chicken or fish?” Tampak bahwa mereka hanya menyediakan makanan halal, menyesuaikan dengan sebagian besar pilihan penumpangnya.
Hal tersebut menunjukkan kesadaran sosiologis mereka terkait segmen konsumen yang dilayani. Ini juga tampak ketika saya dan teman-teman sarapan di Hotel Regency tempat kami menginap. Dari sekian banyak hidangan sarapan yang tersedia, hanya ada dua jenis yang ditempatkan di pojok dan diberi label non-halal dengan tulisan cukup besar.
Tampaknya, kota ini bukan sekadar pusat perjudian; ia adalah ruang hidup yang kompleks dengan masyarakat yang dinamis dan pemerintahan yang relatif progresif dalam hal kesejahteraan sosial. Berbagai skema bantuan tunai, misalnya, diberikan untuk pasangan yang menikah, kelahiran bayi, penyandang disabilitas, dan lansia (macaubusiness.com, 14/4/25).
Seperti yang disinggung oleh pemandu wisata kami dan studi Wang et al. (2024), kesejahteraan masyarakat yang diberikan Pemerintah Makau melalui kebijakan berbasis subsidi dan program sosial berhasil menghadirkan kehidupan yang layak bagi warganya, terutama kelompok lansia.
Saya mendapati bahwa warga senior, selain menerima bantuan tunai secara rutin, juga memiliki akses luas pada fasilitas komunitas yang menopang kualitas hidup mereka. Misalnya, ketika jalan pagi saya menyaksikan bagaimana para lansia menikmati hidup dengan senam atau berjalan di taman kota yang hijau dan bersih.
Hal ini mencerminkan pendekatan sosial yang inklusif. Di tengah tekanan modernisasi dan ekonomi pasar yang cepat, Makau tetap memperhatikan kelompok rentan. Bahkan di lingkungan gedung-gedung tinggi dan padat penduduk sekalipun, terdapat ruang hijau, tempat berkumpul, serta transportasi umum yang ramah bagi para lansia.
Ini menunjukkan bahwa pembangunan di Makau tidak semata-mata diarahkan untuk sektor pariwisata dan ekonomi, tetapi juga memperhitungkan kebutuhan sosial warganya.
Kesan lain yang tak kalah kuat adalah bagaimana Makau berhasil menjaga warisan kolonialnya dan menjadikannya sebagai aset budaya serta sumber daya pariwisata yang berharga. Bekas jajahan Portugis ini mempertahankan banyak bangunan bergaya Eropa, gereja tua, dan jalan-jalan berbatu yang kini menjadi daya tarik wisatawan mancanegara.
Namun, lebih dari sekadar destinasi wisata, situs-situs ini adalah simbol dari upaya kolektif masyarakat Makau untuk menjaga identitas ganda mereka—sebagai masyarakat Tionghoa yang juga memiliki sejarah Eropa.
Keselarasan antara warisan budaya dan pembangunan modern terlihat nyata. Di satu sisi, pencakar langit dan hotel mewah menjulang di daerah Cotai; di sisi lain, suasana tenang dan penuh sejarah bisa ditemukan di kawasan Senado Square atau Katedral St. Paul. Ini menciptakan pengalaman kota yang unik dan memperlihatkan bahwa Makau tidak mengorbankan sejarah demi pembangunan, melainkan menjadikannya sebagai dasar bagi langkah maju mereka.
Menjelang St. Paul yang ikonik itu, bus wisata kami berhenti di depan sebuah toko suvenir. Begitu kami turun dari bus, salah seorang pegawainya langsung menyambut dan, dengan bahasa Indonesia yang cukup fasih, menyapa kami, “Apakah dari Indonesia?” Kami menjawab, “Ya,” dan ia pun langsung berucap seraya tersenyum, “Assalamualaikum... selamat datang...”
Saya terkesan dan kagum dengan caranya menyambut para pelancong. Saya lihat, teman-teman yang tadinya tidak berniat membeli suvenir di sana akhirnya memborong berbagai suvenir.
Demikianlah, Makau memberikan pelajaran penting: pembangunan yang berkelanjutan mesti menyentuh berbagai aspek—kesejahteraan warga, inklusi sosial, pelestarian budaya, dan keterbukaan terhadap identitas majemuk. Meskipun industri perjudian tetap menjadi mesin utama ekonomi, Makau tampaknya berhasil menciptakan model tata kelola pariwisata yang mengarah pada keseimbangan antara pertumbuhan dan kenyamanan sosial.
Selasa sore (9/9/25) di Bandara Makau, ketika bersiap kembali ke tanah air, saya terkejut dan kagum menemukan tempat salat yang nyaman. Kendati di atas pintunya ditulis ruang ibadah untuk semua agama, saya menduga bahwa ruangan tersebut lebih dimaksudkan dan banyak dimanfaatkan oleh umat muslim. Buktinya, di ruangan itu saya melihat adanya sajadah.
Sebagai pengamat, saya meninggalkan Makau dengan rasa kagum. Abaikan judinya, lihat aspek lainnya. Kota ini tidak hanya menarik dalam bentuk fisiknya, tetapi juga dalam cara mereka merawat jiwa kotanya—manusia, budaya, dan sejarah. Makau adalah contoh bahwa modernitas tidak selalu harus mengikis akar tradisi; justru, jika dikelola dengan bijak, keduanya bisa berjalan beriringan, menciptakan masyarakat yang makmur dan bermartabat.*