OLEH UYUNG HAMDANI (Fotografer Independen)
Nama saya menjadi cikal polemik usai sebuah pameran foto yang digelar beberapa waktu lalu di Padang. Berawal dari tulisan berjudul Yang Luput Dan Yang Abai Dari Pameran Halaman Depan Multikulturalisme yang ditulis Ramadhani. Tulisan itu kemudian ditanggapi kurator pameran Esha Tegar Putra dan Heru Joni Putra. Ketiga tulisan yang mereka tulis membahas perihal nama saya, Uyung Hamdani.
Saya membaca berulang-ulang tulisan Ramadhanu. Dia mengulas pameran secara singkat dan mempersoalkan nama saya yang tidak ada dalam pameran. Meski foto karya saya ada dipajang di pameran tapi hanya satu nama fotografer yang muncul, yakni nama Muhaimin Nurrizqy.
Tulisan itu lalu dijawab Heru Joni Putra dan Esha Tegar Putra. Tulisan mereka senada dengan cara yang tidak sama. Komunikasi mereka cukup baik mengingat salah satunya tidak hadir saat pembukaan pameran. Lewat tulisan ini saya perlu menceritakan beberapa hal.
Pada awalnya ini adalah sebuah tawaran pekerjaan. Saya diminta memotret di Mentawai. Kepada saya lalu dijelaskanlah bagaimana foto yang dibutuhkan. Foto tentang rumah-rumah adat di Kepulauan Mentawai. Bagi saya ini hanya pekerjaan memotret seperti biasa. Tapi kemudian disebutkan jika nama saya tidak akan ditulis sebagai fotografer. Saya menerima pekerjaan itu. Karena yang saya ketahui dalam beberapa kegiatan bersama, apalagi pameran, jika nama fotografer tidak disebut satu per satu, biasanya hanya akan disebut dengan tim kerja saja. Karena dengan begitu sudah mewakili semuanya. Penamaan dengan kata Tim, tentu tidak akan menghilangkan hak intelektual orang-orang yang ada dalam tim tersebut.
Bersama Randi Reimena saya berangkat ke Mentawai dan memotret. Memang sebuah pekerjaan yang transaksional. Namun bukan foto yang dibeli putus seperti disebutkan Heru atau Esha. Soalnya saya tidak membuat kontrak kerja dan tidak pernah membuat perjanjian tertulis apapun.
Fatris MF yang dimintai oleh Muhaimin Nurrizqy dan Randi Reimena sebagai editor foto lalu menerangkan kepada saya foto apa saja yang perlu saya dokumentasikan. Selain itu, persoalan nama juga dibincangkan bahwa "nama tidak akan disebut" dan "tidak akan menghilangkan hak saya terhadap foto". Alasan ini dapat saya pahami karena juga dijelaskan bahwa dalam rencana kegiatan tersebut, nama saya tidak ada dari awal.
Saya menyanggupi pekerjaan memotret itu sebab saya tahu bahwa, dalam pameran akan ada cara teknis bagaimana agar saya tidak kehilangan hak terhadap foto-foto saya. Seingat saya, salah satunya caranya nanti dengan disebutkan sebagai tim foto saat pameran. Bagi saya tidak masalah. Hal teknis ini menurut saya tentunya akan jadi pokok pikiran para kurator yang akan merancang pameran ini.
Jadi, saya tidak pernah mengatakan jika nama saya tidak usah disebutkan, seperti yang ditulis Heru. Tentang tak menyebut nama datang dari kawan-kawan yang menawarkan pekerjaan pada saya.
Muhaimin dalam hal ini saya yakini, tidak pernah berniat mengambil hak foto saya. Muhaimin sebagaimana saya, juga menyandarkan diri pada kurator yang notabene kami kenal sudah malang melintang untuk kegiatan serupa. Saya pun sudah bertemu dengan Muhaimin membahas persoalan ini beberapa waktu lalu. Kami sampai pada kesimpulan bahwa kami juga tidak maksimal mengawal kerja dengan porsi masing-masing.
Pameran ini pada dasarnya adalah perayaan bersama semua orang yang terlibat dalam proses pengerjaan dan persembahan untuk masyarakat di Sumatera Barat. Saya yakin dan percaya dinamika ini pula yang akan menjadi pelatuk kesadaran bahwa kemajuan dapat diperoleh dari kerja kolektif yang baik dan benar.
Begitulah tulisan ini. Saya tak akan mengomentari berbagai hal yang muncul soal pameran. Tulisan ini mungkin juga tidak mampu menjawab semua pertanyaan dalam kepala semua orang. Tetapi bagi saya banyak pelajaran yang bisa diperoleh dari dinamika yang terjadi ini.
BACA ARTIKEL TERKAIT
- Yang Luput dan yang Abai dari Pameran Foto Halaman Depan Multikulturalisme
- Tentang “Kolektif Bala” dan Sebuah Permohonan Maaf
- Pameran dan Kurator-kurator Nomenklatur