Pameran dan Kurator-kurator Nomenklatur

TANGGAPAN ATAS TULISAN ESHA DAN HERU

Rabu, 22/03/2023 13:12 WIB

OLEH RAMADHANI

Saya telah membaca tulisan Heru Joni Putra dan Esha Tegar Putra terkait catatan saya atas Pameran Halaman Depan Multikulturalisme. Dua tulisan dari dua publikasi berbeda itu menyorot dan membuka beberapa poin yang nyaris sama, walau ada beberapa perbedaan. Saya rasa dua tulisan itu dapat ditanggapi sekaligus, tanpa saya harus membuat dua publikasi yang berbeda.

Esha Tegar Putra dan Heru Joni Putra, pada pameran yang mereka sebut sebagai pameran foto narasi itu berperan sebagai kurator. Jelas, kerja-kerja kuratorial dan urusan pameran bukan hal baru bagi Esha maupun Heru. Keduanya sudah berpengalaman dan terlibat dalam begitu banyak kerja kesenian termasuk pameran, apakah itu pameran di kampus, di galeri konvensional, pameran arsip maupun pameran seni rupa. Mereka tentu paham benar, menjadi fotografer tidak pernah menjadi satu-satunya syarat wajib untuk menjadi kurator pameran foto. Jadi rasanya, tak perlu pula terlalu merendah-rendahkan diri begitu rupa di balik selimut kurator dalam nomenklatur itu.

Saya mengunjungi pameran selayaknya pengunjung dan mencatat apa-apa yang saya temui dalam pameran. Di luar itu, tentang rencana kerja yang berubah, keterbatasan waktu dan dana, tentang tidak adanya tim pameran yang mayor fotografi, soal urusan-urusan dapur dan bilik kecil penyelenggara pameran bukan tempat saya untuk mengomentarinya. Dan mohon maaf, semua itu bukanlah urusan saya.

Teman-teman Heru memang bicara banyak hal di dalam forum, tapi kurator Esha, penulis Randi Reimena, dan fotografer Muhaimin Nurrizqy tidak menjawab sepatah kata pun pertanyaan Zulkifli tentang foto Mentawai karya Uyung Hamdani. Apalagi menjelaskan soal foto Uyung yang telah dibeli dan kesepatakan tak tertulis. Jika saja Heru hadir dalam diskusi itu, tentu Heru bisa menjawab pertanyaan Zulkifli dengan tuntas sebagaimana yang diterangkan dalam tulisannya. Absennya nama Uyung, yang oleh Heru dan Esha sebut sebagai kesalahpahaman itu telah disadari oleh panitia dan kurator sejak awal. Hanya dengan menambahkan nama Uyung Hamdani kesalahpahaman itu seharusnya terselesaikan. Betapa mudahnya.

Seperti Heru, saya juga meyakini tidak ada yang berniat buruk untuk merampas hak intelektual Uyung. Sebagaimana Heru, saya juga percaya, penyelenggara pameran yang juga rata-rata penulis dan seniman menjunjung tinggi hak seseorang atas karyanya. Atas dasar itu di luar pemeran, saya bertemu tim pameran dan menyebut perihal nama Uyung yang harusnya turut melekat pada karya fotografinya. Hingga pameran usai saya tak pernah melihat ada upaya untuk memperbaiki kesalahpahaman itu.

Saya tidak sedang mengolok-olok catatan kuratorial. Teks REPRESENTASI itu bagi saya begitu krusial. Ia memberi konteks pada visual, sekaligus menegaskan wacana soal keragaman dan keterwakilan. Tapi bagaimana pameran digelar justru mematahkan apa-apa yang hendak dibangunnya. Jika dibaca cermat, kritik saya berisi poin-poin penting dari teks itu. Itu juga mengapa teks kuratorial itu disertakan dalam publikasi. Agar pembaca, bahkan yang tidak mengunjungi pameran sekalipun bisa lebih jelas memahami kritik yang saya ajukan.

Namun kritik ternyata begitu sulit diterima hanya sebagai kritik. Heru dan Esha harus menambahnya dengan dugaan-dugaan lain. Esha dengan begitu picik membengkokkan kritik yang saya tulis sebagai bentuk ketidaksenangan saya atas pameran. Bahwa saya menilai mereka belum pantas menggelar pameran. Bahwa saya menganggap apa yang mereka lakukan sebagai bala di dunia fotografi. Dan bahwa saya lebih memilih membuat publikasi, mendorong pembaca merusak citra Tim Pameran, ketimbang mengingatkan kawan yang sedang berpameran. Esha menyebut saya begitu berniat membuat framing bahwa penyelenggara bersekongkol mencederai dunia fotografi.

Jika saja Esha sedikit lebih tenang, mengumpulkan informasi yang cukup, melakukan konfirmasi kepada anggota timnya mungkin tulisannya bisa lebih lengkap dan tidak salah kaprah.

Selasa malam  28 Februari, sehari setelah pembukaan pameran, saya bertemu Randi dan Fatris MF. Keduanya bagian tim pameran. Kepada Randi saya sebutkan perihal nama Uyung Hamdani yang sebaiknya disertakan dalam pameran dengan berbagai pertimbangan. Saya juga memberikan sejumlah opsi bagaimana penambahan nama itu bisa dilakukan. Mungkin laporan timnya tidak sampai ke meja Esha.

Jika Zulkifli menyebut perkara foto Uyung di dalam forum diskusi, saya mengingatkan di luar pameran. Saya melakukanya sebagai kawan dengan segala keterbatasan. Apa yang saya perbuat itu tentu tidak penting disebut dalam tulisan awal saya. Hingga pameran usai, nama Uyung tetap tidak ada di mana-mana. Dan Muhaimin memang tak pernah mengklaim foto Uyung sebagai karyanya. Tapi pameran menampilkannya hanya ada satu fotografer. Tunggal.

Foto Uyung sering dibeli putus. Majalah Tempo pernah memakai jasanya sebagai fotografer. Tempo bisa leluasa menggunakan foto Uyung, tapi tidak menggantinya dengan nama fotografer lain. Saya tidak tahu apakah membeli karya orang lain untuk dipamerkan tanpa menyebut pengkaryanya adalah praktik yang lazim. Kurator tentu lebih tahu.

Perbedaan visual foto Muhaimin dan Uyung begitu mencolok. Bagi Esha saya tengah menilai, foto Muhaimin lebih jelek dari foto Uyung. Jika tulisan saya dibaca baik-baik, tentu Esha tak akan keliru memahaminya. Saya menyebut bahasa visual, bukan perkara foto siapa lebih baik. Sama halnya betapa mencoloknya perbedaan puisi Esha dengan Heru. Keduanya dapat dibedakan, tanpa harus membandingkan mana yang lebih baik.

Dalam tulisannya Heru dan Esha meminta maaf kepada para fotografer karena kualitas foto jauh dari harapan. Pameran yang digelar bukan pameran profesional, fotografernya juga bukan fotografer profesional. Saya tidak paham standar profesional apa yang mereka dimaksud. Memangnya adakah standar pameran profesional? Saya membaca pameran itu sebagai sebuah pameran yang utuh. Lalu ketika dikritik, mereka minta dimaklumi dan berlindung di balik kata profesional.

Dengan berbagai kondisi di atas, saya tidak menemukan alasan logis kenapa nama Uyung tidak dicantumkan pada pameran. Saya juga tidak melihat sebuah upaya kurator dan tim untuk memperbaiki kesalahpahaman yang telah mereka ketahui sejak semula itu. Esha dan Heru juga seniman yang bertungkus lumus dengan karya. Begitu juga dengan sebagian tim pameran. Saya percaya mereka tentu yang paling paham betapa hak atas karya adalah hak paling fundamental. Dan jika, hak ini terabaikan atau diabaikan di tengah lingkungan kerja para seniman hanya karena alasan administratif inilah bala yang saya maksud. Mau ini jadi makian atau kritik, saya pulangkan saja kepada Esha.

Kepada Uyung Hamdani, saya meminta maaf dengan tulus. Tulisan saya mungkin telah membuat hidup Anda makin repot. Jika tidak saya tulis, tentulah hal ini tidak akan muncul ke ruang publik. Pameran foto selesai dan semuanya berbahagia. Sekali lagi saya minta maaf.

 

Padang, Maret 2023

BACA: Tentang “Kolektif Bala” dan Sebuah Permohonan Maaf 

 

 



BACA JUGA