Yang Luput dan yang Abai dari Pameran Foto Halaman Depan Multikulturalisme

--

Minggu, 19/03/2023 17:32 WIB
Foto 1 Panel Uma-Uma di Pesisir Mentawai

Foto 1 Panel Uma-Uma di Pesisir Mentawai

OLEH RAMADHANI

Sebanyak 102 foto berbagai ukuran dipasang pada panel-panel kayu yang dikelir putih. Foto-foto itu dibingkai menggunakan kayu jati belanda tanpa kaca. Terdapat sepuluh sisi panel kayu yang tersebar pada salah satu sisi bangunan bekas pabrik. Polyguna Nusantara, pabrik seng yang berdiri sejak 1971 di Padang hadir dengan wajah baru bernama Fabriek Bloc diubah menjadi galeri foto temporal pameran Halaman Depan Multikulturalisme. Dua kali mengunjungi pameran, saya mencatat dua hal.

Perihal yang Luput

Memasuki bangunan bekas pabrik, saya seperti memasuki bangunan pasar yang tak kunjung selesai. Kafe-kafe premium dengan etalase-etalase bening di gerbang depan. Croissant dan lampu neon warna-warni menempelkan kesan urban yang terpaksa pada gedung tua itu. Sedikit ke belakang saya menemukan gerai-gerai kosong, poster-poster promosi dan penjaga kedai yang terkantuk-kantuk menunggu pelanggan.

Di tengah bangunan bekas pabrik yang menyerupai aula itulah pameran Halaman Depan Multikulturalisme, Pameran Foto Narasi Keragaman Arsitektur Tradisional di Sumatera Barat digelar. Dari judulnya saja, barang pasti jika pameran ini menampilkan foto-foto arsitektur tradisional. Terdapat sembilan rangkaian foto tentang rumah adat tradisional dan satu seri foto tentang bangunan ruko dan jejak arsitektur tradisional Tionghoa. Satu rangkaian foto dikemas pada satu panel.

Setiap panel memuat sejumlah foto tentangbangunan tradisional di satu daerah tertentu. Pameran ini dikuratori oleh Esha Tegar Putra dan Heru Joni Putra. Esha juga jadi editor tulisan, sedang Heru juga merangkap periset. Randi Reimena sebagai periset dan penulis. Muhaimin Nurrizqy sebagai fotografer, Fatris MF sebagai editor foto dan sejumlah anggota tim lainnya. Pameran digelar sejak 27 Februari hingga 13 Maret 2023.

Memasuki ruang pameran dari pintu utama, saya mendapati teks kuratorial pada sisi kanan dinding bangunan. Setelah itu, saya mendatangi foto satu per satu dan kemudian bergeser dari satu panel ke panel berikutnya. Perpindahan itu juga mengangkut saya dari satu rumah tradisional ke rumah tradisional lainnya. Namun perpindahan demi perpindahan itu tidak berjalan begitu mulus.

Hal ini agaknya dipengaruhi oleh sejumlah perkara. Pertama, penomoran pada setiap frame yang dibuat acak. Setiap foto pada panel dibingkai dengan ukuran berbeda, namun selalu ada satu foto yang ukurannya paling besar, mungkin bisa disebut sebagai foto utama. Lalu foto-foto lain yang ukurannya lebih kecil disusun di sekitar foto utama ini. Kemudian setiap frame diberi nomor yang acak. Sehingga untuk mengetahui keterangan satu foto, kita harus mencari nomor dan mencocokkannya dengan daftar keterangan foto yang diposisikan terpisah. Suatu kerja ekstra jika harus melakukannya seratus kali lebih.

Tersedia juga kode batang di bagian lain panel. Setelah memindai kode itu, kita lagi-lagi harus bekerja ekstra, memilih folder, lalu mencari-cari teks yang sesuai dengan foto yang sedang kita tatap. Perihal teknis kecil semacam ini, bisa jadi begitu mengganggu tawaran visual pameran ini.

Perkara kedua, terlalu banyak foto-foto yang berulang. Selalu terdapat beberapa foto yang nyaris sama pada setiap panel. Repetisi foto inipun, agaknya juga tidak diniatkan untuk menekankan suatu poin apapun. Lalu saya melihat paku. Setiap frame foto dipasak pada panel kayu menggunakan empat buah paku di kedua sisinya. Paku-paku itu tidak sepenuhnya tertancap dan mencuat di sana-sini. Saya mencoba mengira-ngira sebuah konsep yang mungkin dimunculkan lewat pameran ini, berupaya mencari-cari hubungan arsitektur tradisional dengan gedung bekas pabrik. Saat pikiran saya sedang meraba-raba suatu kemungkinan filosofis tentang sangkut paut kayu, paku, dan ilmu pertukangan, seorang kawan datang berbisik: “Ini cara memasang foto paling malas yang pernah saya lihat.” 

Saya meyakini setiap pameran menawarkan suatu gagasan tertentu. Pada pameran foto misalnya, bagaimana cara gagasan itu diketengahkan akan sangat bergantung pada cara foto dihadirkan di hadapan publik, termasuk pada hal-hal teknis dan detil-detil kecil. Pengalaman setiap individu pada sebuah pameran dipengaruhi oleh banyak faktor yang sekaligus membuatnya berbeda bagi setiap orang. Namun tetap saja sulit membaca sebuah pokok yang ditawarkan pameran ini selain hanya memperlihatkan ragam arsitektur tradisional. Misalnya betapa sulit menemukan motif kuratorial tentang pemilihan sepuluh ragam arsitektur tradisional ini dari begitu banyaknya kekayaan arsitektur tradisional di Sumatera Barat. Bagi saya barangkali, itu sejumlah hal yang luput dari pameran ini. Sejumlah perkara teknis yang tentu saja bisa dan sangat biasa terjadi pada sebuah pameran foto. Perihal yang bisa diupgrade di pameran selanjutnya.

Perihal yang Abai/Diabaikan

Respons menarik baru muncul saat seri diskusi pada Senin malam, 27 Februari setelah pembukaan pameran. Kurator dan periset-penulis duduk di depan forum mengembangkan kerja-kerja yang mereka lakukan hingga berujung pada pameran ini. Tim pameran juga membagikan buku program, di dalamnya terdapat catatan kuratorial berjudul REPRESENTASI.

Tulisan yang berapi-api tentang bagaimana politik representasi telah membuat kita mampus berkali-kali. Tentang bagaimana Jakarta jadi representasi tunggal Indonesia. Dan tentang bagaimana pameran ini sebagai sebuah upaya membuyarkan representasi yang terlanjur beku atas Sumatera Barat.

Diskusi berjalan sebagaimana lazimnya sebuah diskusi berjalan. Lalu respons muncul kemudian. Saya mencatat beberapa di antaranya. Salah satunya respons seorang arsitek yang menekankan bahwa arsitektur tidak selalu hanya tentang bangunan, tapi juga soal ruang hidup manusia. Komentar yang lain datang dari Iggoy El Fitra, fotografer dan jurnalis senior di Sumbar. Menurut Iggoy pameran foto seharusnya jadi pesta fotografer. Namun dia tidak melihat sang fotografer duduk di depan forum bersama kurator dan penulis, sesuatu yang janggal bagi Iggoy. Setelah komentar Iggoy barulah sang fotografer Muhaimin Nurrizqy duduk di depan forum.

Ruko Pondok dan jejak arsitektur tradisional Tionghoa

Komentar yang lain datang dari Zulkifli, fotografer dokumenter yang menyinggung soal fungsi kurator dan editor foto yang mungkin tumpang tindih pada pameran ini. Tapi Zulkifli juga menyebut hal lain. Menurutnya dari semua foto yang dipamerkan, terlihat sangat jelas, jika foto-foto pada pameran ini tidak dipotret oleh satu fotografer saja. Zulkifli, yang telah mendatangi berbagai pameran foto level internasional tentu punya pengamatan yang berbeda. Menurunya, jika memang semua foto pameran tidak dipotret oleh satu orang fotografer sebaiknya disebut saja. Kurator, penulis-periset dan sang fotografer di depan forum tak menjawab.

Zulkifli secara spesifik menunjuk foto-foto Uma-Uma di pesisir Kepulauan Mentawai tidak dipotret oleh fotografer yang sama dengan yang memotret foto pameran lainnya. Perbedaan foto-foto itu begitu mencolok dibandingkan foto lain. Layaknya penulis, seorang fotografer juga punya bahasa visual yang berbeda satu dengan yang lain. Setelah dikonfirmasi, diketahui jika foto-foto Uma-Uma merupakan karya Uyung Hamdani, fotografer di Padang. Nama Uyung Hamdani tak pernah disebut apalagi ditulis dalam pameran itu. Hanya ada satu nama fotografer: Muhaimin Nurrizqy.

102 foto yang dipamerkan pada pameran Halaman Depan Mulitikulturalisme dibuat seolah-olah merupakan karya otentik sang fotografer Muhaimin Nurrizqy. Namun ada nama fotografer lain yang diberangus. Ada pengkarya lain yang namanya harus dipangkas agar muncul satu orang fotografer saja. Saya teringat catatan kuratorial berjudul REPRESENTASI itu. Halaman Depan Multikulturalisme menjadi pameran yang mengorbankan fotografer lain agar muncul satu fotografer saja. Di mana si representasi mengklaim diri sebagai presentasi. Yang penting halaman depan terlihat indah.

Jika absennya nama Uyung Hamdani dari pameran ini merupakan kesalahan teknis, tentu saja mudah untuk memperbaikinya. Pameran foto juga merupakan representasi yang cair dan terbuka, bisa diubah dan diperbaiki.

Zulkifli sudah mengingatkan sejak hari pertama pembukaan pameran. Namun hingga hari terakhir pameran pada 13 Maret 2023, nama Uyung Hamdani tetap diabaikan. Lima belas foto karya Uyung Hamdani tentang Uma di Pesisir Mentawai dipaksa menjadi foto karya Muhaimin Nurrizqy.

Pameran yang dibuka selama dua pekan bisa dikunjungi ratusan orang. Orang-orang yang menganggap jika semua foto-foto pameran merupakan karya satu orang saja. Mungkin tidak disadari, tapi Uyung Hamdani bisa kehilangan originalitas atas karya-karyanya dan kredibilitasnya sebagai fotografer. Kelak, jika karya yang sama dipublis ke publik, Uyung bisa dianggap mencuri fotokarya Muhaimin. Terlebih pameran ini juga diliput oleh sejumlah media lokal Sumbar dan juga media nasional.

Saya teringat lagi catatan kuratorial berjudul REPRESENTASI itu. Para penyelenggara pameran ini, mereka dengan bahagia melakukan apa yang mereka kritik dengan keras. Mereka dengan sadar memangkas hak intelektual seorang fotografer atas karya-karyanya. Jadinya seperti memakan tahi sendiri.

Lalu bagaimana nasib foto karya Uyung Hamdani?

Dengan kerja-kerja pameran macam begini, apakah tidak apa-apa rasanya mengaku diri sebagai kurator, periset, penulis, dan sebagai fotografer?

Jika tidak apa-apa rasanya, maka ini juga adalah bala yang tidak dapat ditolak. Bala kolektif.

Padang, Maret 2023

 

Tautan: Buku Program Halaman Depan Multikulturalisme

 

 



BACA JUGA