OLEH ESHA TEGAR PUTRA
Saya membaca dengan baik catatan Ramadhani di sumbarsatu, dengan judul Yang Luput dan yang Abai dari Pameran Foto Halaman Depan Multikulturalisme (19/3/2023), tentang pameran Halaman Depan Multikulturalisme yang berlangsung di Fabriek Bloc, 27 Februari sampai 13 Maret lalu. Sebagai salah seorang kurator pameran dalam nomenklatur (atau yang dipandang mengaku-ngaku kurator), meskipun dengan segala keterbatasan dan rasa rendah diri di hadapan para fotografer profesional yang hadir saat pembukaan pameran, saya berupaya menjelaskan bagaimana gagasan dari pameran tersebut berikut dengan kelemahannya pada saat pembukaan pameran. Mulai dari bagaimana Randi Reimena selaku periset sekaligus penulis melakukan pendekatan dan pembacaan terhadap arsitektur vernakular di Sumatera Barat melalui basis ilmu kesejarahannya. Termasuk Muhamin Nurrizky, sebagai fotografer, di mana ‘mayor’-nya bukan fotografi melaikan ia pekerja film dan juga seorang penulis.
Kritik Ramadhani terhadap ‘dua hal’ pada dasarnya juga telah dijelaskan pada saat pameran dibuka. Meskipun, hal kedua terkait dengan apa yang dianggap oleh Ramadhani “memangkas hak intelektual seorang fotografer atas karya-karyanya” (Uyung Hamdani), dalam harapan saya bisa didiskusikan oleh Tim Pameran dengan rekan-rekan fotografer, namun hal tersebut tidak kesampaian. Saya berpikir bukankah Tim Pameran (termasuk Randi Reimena dan Muhaimin Nurrizky) juga kerap bertemu dengan Ramadhani, termasuk Uyung Hamdani, sebagai fotografer yang dianggap telah dipangkas hak intelektualnya?
Jika catatan Ramadhani adalah sebuah bentuk kritik atas kelemahan, kekurangmengertian, ketidakpahaman, atau benar-benar kealpaan Tim Pameran terhadap bagaimana seharusnya pameran fotografi diselenggarakan, maka saya menaruh hormat atas itu. Namun jika catatan tersebut adalah bungkus untuk memberi maksud bahwa Tim Pameran belum pantas untuk mengadakan sebuah pameran berkaitan dengan fotografi, karena urusan panel dan paku frame saja tidak beres, maka saya benar-benar tak habis pikir dari upaya kritik tersebut.
Terlebih, persoalan prosedur penggunaan foto Uyung Hamdani, yang merupakan kesepakan Tim Pameran dengan fotografer diklaim sebagai kesadaran “memangkas hak intelektual seorang fotografer atas karya-karyanya”. Karena persoalan ini pula Tim Pameran dipandang “seperti memakan tahi sendiri”, dan dipandang sebagai “bala” (dalam dunia fotografi?), maka catatan tersebut saya anggap tidak lebih dari makian ketimbang kritik.
Perihal Luput, Perihal Abai/Diabaikan
Ramadhani dalam catatan menuliskan dua kali ia datang ke pameran dan dua hal kemudian dapat ia catat melalui Halaman Depan Multikulturalisme. Meskipun saya berharap dua catatan tersebut ia sampaikan pada Tim Pameran secara langsung, karena saya kira di luar dua kali kunjungan itu, Tim Pameran juga bertemu dengan Ramadhani. Tapi begitulah, pilihan jatuh pada membicarakan pada publik lebih luas dan telah mendorong pembaca (yang bahkan tidak mengunjungi pameran) beranggapan bahwa Tim Pameran adalah orang-orang yang bersekongkol (bala kolektif) mencederai dunia fotografi dan memangkas hak fotografer.
Dalam pembukaan pameran, yang tidak disampaikan Ramadhani dalam tulisannya, telah dijelaskan bahwa terdapat hal-hal teknis yang kemudian membuat gagasan awal penulisan mengenai arsitektur tradisional di Sumatera Barat ini menjadi sebuah pameran. Pada awalnya, tim ingin melakukan penelusuran ke berapa daerah di Sumatera Barat dan membuat catatan perjalanan berdasarkan temuan-temuan mereka dari keragaman bangunan vernakular di Sumatera Barat. Catatan perjalanan tersebut, tentu saja dilengkapi foto sebagai penguat narasi, akan disebar di beberapa media daring yang sudah dipilih. Namun konsep berubah ketika pemberi biaya (Dana Indonesiana) mengharapkan bahwa catatan perjalanan tersebut menjadi sebuah pameran. Dan begitulah, perubahan ini tentu saja menghadirkan risiko. Periset dan penulis akan tetap bekerja sebagaimana rencana awal, tetapi fotografer mempunyai beban dan tanggung jawab lebih, sebab mata kameranya yang akan lebih dulu mengantarkan pengunjung pameran nantinya ke dalam narasi tulisan.
Hal-hal teknis ini seharusnya tidak patut saya bicarakan di hadapan publik. Tapi sebagai penghormatan saya terhadap rekan-rekan fotografer yang hadir pada saat pembukaan pameran, yang merasa bahwa kualitas foto-foto yang ditampilkan jauh dari harapan mereka, maka saya bicarakan juga. Tim Pameran pada waktu itu juga menjelaskan bahwa pameran tersebut pada dasarnya ingin menonjolkan narasi, sebab jika pameran fotografi, tentu kami bukanlah siapa-siapa.
Hal itu juga yang membuat Tim Pameran menuliskan “Pameran Foto Narasi Keragaman Arsitektur di Sumatera Barat”, ketimbang memilih “pameran foto”. Sebab tidak ada satupun di antara kami yang ‘mayor’-nya fotografi. Kemampuan kami dalam melakukan pembacaan atas fotografi tentulah tidak ada apa-apanya dibanding rekan-rekan fotografer yang kesehariannya bertungkus-lumus dengan fotografi. Bahkan, bidikan-bidikan Muhaimin Nurrizky saat berkunjung ke daerah juga berkali-kali diarahkan, setidaknya untuk mencapai maksud dari narasi.
Mungkin karena merasa bukan siapa-siapa di hadapan fotografer, Muhaimin pada saat pembukaan pameran pada awalnya memilih untuk tidak tampil di hadapan publik. Putusan ini kami hargai, sampai pada saat Iggoy El Fitra meminta untuk fotografer muncul, kami turut mendorong Muhaimin untuk muncul. Di hadapan para fotografer profesional Sumatera Barat dan tamu-tamu lain, pada saat itu Muhaimin juga telah menjelaskan posisinya dan bagaimana gagasan pameran ini berawal, hingga sampai pada putusan untuk tidak menonjolkan fotografer dalam pameran tersebut.
Sampai pada persoalan perbedaan foto dipertanyaan Zulkifli. Sebagaimana dituliskan Ramadhani, fotografer yang telah mendatangi berbagai pameran foto level internasional tentu punya pengamatan yang berbeda, dan saya mengetahui kejelian Zulkifli. “Zulkifli secara spesifik menunjuk foto-foto Uma-Uma di pesisir Kepulauan Mentawai tidak dipotret oleh fotografer yang sama dengan yang memotret foto pameran lainnya. Perbedaan foto-foto itu begitu mencolok dibandingkan foto lain,” tulis Ramadhani. Tentu saja, apa yang ditulis Ramadhani ini untuk menyebutkan bahwa foto-foto tersebut lebih baik dari segala perspektif dibanding dengan foto-foto lain yang dipotret Muhaimin.
Catatan Ramadhani mungkin telah mengiring orang-orang untuk memandang saya dan tim terlibat pameran sebagai “kolektif bala”. Tak bertanggung jawab atas penggunaan foto Uyung Hamdani, tetapi Ramdhani tidak menyebutkan bahwa antara Tim Pameran dan Uyung Hamdani juga ada kesepatan meski tidak tertulis.
Uyung adalah salah seorang yang diminta oleh Tim Pameran berangkat ke Mentawai bersama Randi Reimena untuk mendokumentasikan subjek uma di Kepulauan Mentawai. Sebagai orang yang telah mengenal medan dan akrab dengan budaya Mentawai, kepiawaian Uyung dibutuhkan, dan mereka berangkat bersama-sama. Tim juga dengan sadar membuat kesepakatan bahwa ia bersedia ikut membantu pendokumentasian uma-uma di Mentawai tanpa memasukkan namanya ke dalam tim karena alasan administratif. Sekali lagi, kesepakatan itu dilakukan dengan sadar dalam posisi yang setara: tak ada yang punya power untuk menekan atau memanipulasi salah satu pihak. Jika ingin diperjelas, maka ini adalah kegiatan transaksional, murni jual-beli.
Meskipun belakangan, Uyung menyebut bahwa ‘tidak dimasukkan nama ke dalam tim’ diartikannya berbeda. Ia berharap dalam pameran disebut “tim fotografer” meskipun namanya secara personal tidak perlu dicantumkan. Namun hal ini tidak terkomunikasikan dengan baik di dalam tim—termasuk faktor kesalah pahaman. Jadi, dugaan Ramadhani karena ketiadaan namanya Uyung Hamdani seakan, “dibuat seolah-olah merupakan karya otentik sang fotografer Muhaimin Nurrizqy”, tidak benar. Dari awal pameran pun, Muhaimin sendiri terlalu sungkan dan merasa tidak layak disebut sebagai fotografer, karena foto-fotonya tentu tidaklah sebanding dengan estetika foto-foto Uyung Hamdani, Ramadhani, dan kawan-kawan fotografer profesional lain di Sumatera Barat—ini diakuinya saat pembukaan pameran dan didengar langsung oleh Ramadhani.
Satu hal ingin saya tekankan di sini, bahwa tidak sekalipun (bahkan pada saat pembukaan), Muhaimin mengakui bahwa semua foto tersebut adalah foto-fotonya. Tim pameran yang setiap hari berada di ruang pameran saat kunjungan berlangsung juga tidak pernah sekalipun menjelaskan bahwa foto-foto tersebut adalah seluruhnya karya Muhaimin.
Jika benar pameran ini telah merupakan semacam “bala yang tidak dapat ditolak” dalam iklim fotografi Sumatera Barat atau bahkan dunia, maka saya secara pribadi dengan rendah diri memohon maaf pada Ramadhani dan rekan-rekan fotografer Sumatera Barat, atas upaya menghadirkan sebuah pameran yang sangat tidak sesuai dengan kaidah pameran fotografi. Terakhir, dengan besar hati saya selalu dapat menerima kritik, tapi saya tidak bisa menerima bila usaha menghadirkan pameran ini dianggap dengan “sadar memangkas hak intelektual seorang fotografer atas karya-karyanya” dan dipandang sebagai orang yang “memakan tahi sendiri”, sebagaimana ditulis Ramadhani.