Muhammad Alwi Dahlan
Muhammad Alwi Dahlan adalah wartawan dan doktor ahli komunikasi Indonesia yang pertama lulusan Amerika Serikat, yang pernah menjadi anggota Dewan Kehormatan PWI. Ia juga guru besar Universitas Indonesia, dan pernah menjadi Asisten Menteri KLH, Kepala BP7 Pusat, serta Menteri Penerangan dalam Kabinet terakhir Presiden Soeharto (1998).
Lahir di Padang pada 15 Mei 1933, keluarganya berasal dari Padang Panjang. Alwi adalah putra Dahlan Sjarif Datuk Djundjung, bupati pada kantor Gubernur Sumatera Tengah tahun 1950-an. Pendidikannya dimulai di SR Adabiah Padang (1946), kemudian SMP (1950) dan SMA (1953) di Bukittinggi.
Setelah itu ia meneruskan ke Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (UI), tapi tidak sampai selesai. Pendidikan S1 justru ia selesaikan di American University di Washington Amerika (1961), dan setahun kemudian meraih gelar Master of Art (MA) untuk bidang komunikasi massa dari Stanford University, California.
Sementara gelar Doktor (Ph.D.) bidang komunikasi ia peroleh dari Illinois University, AS (1967) dengan disertasi berjudul Anonymous Disclosure of Government Information as a Form of Political Communication. Atas capaian ini, Alwi Dahlan tercatat sebagai Doktor ahli komunikasi yang pertama untuk Indonesia.
Sejak usia 16 tahun Alwi sudah menunjukkan bakatnya di bidang tulis-menulis Ketika masih duduk di bangku SMP ia sudah aktif mengarang cerita pendek di majalah Kisah dan Mimbar Indonesia yang terbit di Jakarta. Sebelum itu, sesekali ia menulis di koran lokal, Padang Nippo dan Detik, di Bukittinggi. Ia juga menerbitkan koran sekolah sewaktu di SMP.
Di Mimbar Indonesia, selain menulis cerita pendek ia juga membuat sketsa atau vignet dengan tinta Cina. Di masa remaja itu ia menjadi koresponden untuk majalah Siasat. Di majalah ini ia membuat reportase, esei dan cerita pendek di Gelanggang, rubrik kebudayaan Siasat.
Masih di bawah usia 20 tahun ia menulis di Zenith, majalah kebudayaan yang diterbitkan Mimbar Indonesia. Dan ketika duduk di SMA Bukittinggi, untuk Siasat Alwi membuat rangkaian reportase perjalanan kaki ke pedalaman Alas dan Gayo di Aceh.
Ia pernah pula menulis sembilan skenario film. Bakat kepengarangannya, mungkin menurun dari pamannya Usmar Ismail, sutradara terkenal yang dijuluki Bapak Perfilman Indonesia. Ia banyak membantu Usmar menulis skenario. Salah satunya, film Harimau Campa yang merebut skenario terbaik FFI 1958. Alwi juga menulis skenario film Tiga Dara. Sedangkan film Usmar lainnya, Jenderal Kancil, dibuat berdasarkan novel Alwi, Pistol Si Kancil yang diterbitkan Balai Pustaka.
Pengalaman semasa dini dalam dunia tulis-menulis, telah menggiringnya untuk memilih jurusan komunikasi di perguruan tinggi. Namun ketika ia diterima kuliah di Universitas Indonesia, saat itu belum ada jurusan komunikasi seperti diingininya. Alwi lalu masuk Fakultas Ekonomi. Sekali pun begitu Alwi melirik ada peluang untuk menyalurkan bakatnya di penerbitan kampus, yakni Forum dan Mahasiswa. Bersama Emil Salim, Teuku Jacob, dan Nugroho Notosusanto, ia juga mendirikan Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia pada tahun 1958.
Kuliahnya belum selesai di Fakultas Ekonomi UI ketika terbuka kesempatan mengikuti Foreign Student Leadership Project untuk studi di Amerika Serikat. Mulanya di Minnesota, kemudian diteruskan ke American University di Washington DC. Selama belajar di Washington, untuk biaya kuliah, Alwi bekerja di KBRI sebagai penjaga malam.
Total selama delapan tahun Alwi tinggal di Amerika sampai meraih gelar Doktor. Sebelum pulang ke tanah air, ia membantu Atase Pendidikan di KBRI Washington, yang waktu itu dirangkap oleh Atase Pertahanan Kharis Suhud (kelak menjadi Ketua DPR/MPR). Sewaktu akan pulang ke Indonesia, Kharis Suhud mengajak Alwi untuk membantu Markas Besar Angkatan Darat sebagai tenaga ahli.
Pekerjaan tersebut ia jalani selama tiga tahun (1968-1970). Di samping itu ia juga mengajar di Sekolah Staf Komando Angkatan Darat (Seskoad). Sejak 1969 ia mengajar di FISIP UI, mulanya sebagai dosen tidak tetap (sampai 1992) sampai akhirnya diangkat menjadi guru besar (profesor) bidang ilmu komunikasi.
Selain itu, Alwi juga merintis beberapa bidang kegiatan, yang pada waktu itu dianggap baru di Indonesia. Antara lain, menerbitkan mingguan Chas, sebuah berkala berita pertama yang tampil dalam bentuk tabloid. Lalu Alwi mendirikan Inscore (Institute for Social, Commercial & Opinion Research) Indonesia, sebuah lembaga riset masalah komersial dan pendapat umum swasta yang pertama. Begitu pula dengan Inscore Adcom, perusahaan jasa komunikasi total dan PR yang pertama.
Namun semua usaha yang telah dirintisnya itu (kecuali sebagai dosen) ditinggalkannya ketika Emil Salim yang diangkat menjadi Menteri Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup (PPLH) memintanya menjadi Asisten Menteri bidang Pengawasan (1978-1983). Tugas tersebut berlanjut selama 10 tahun berikutnya sebagai Asisten Menteri bidang Keserasian Kependudukan dan Lingkungan (1983-1988), dan Asisten Menteri bidang Kependudukan (1988-1993) di bawah Menteri Emil Salim dan Sarwono Kusumaatmadja.
Di kementerian itu, sampai tahun 1990, Alwi Dahlan diserahi tanggung jawab urusan Kampanye Kesadaran Lingkungan Hidup. Di sini ia menciptakan berbagai konsep baru, seperti Penghargaan Kalpataru, Neraca Lingkungan Daerah, dan sebagainya.
Setelah 15 tahun menjadi Asisten Menteri, pada tahun 1993 Alwi Dahlan dipromosikan menjadi Wakil Kepala Badan Pembinaan, Pengembangan dan Pendidikan Pedoman Penghayatan Pancasila (BP7) Pusat, dan tiga tahun kemudian menjadi Kepala BP7 Pusat.
Bulan Maret 1998, Muhammad Alwi Dahlan diangkat Presiden Soeharto sebagai Menteri Penerangan RI menggantikan Harmoko yang promosi menjadi Ketua DPR/MPR. Namun Kabinet terakhir Orde Baru tersebut hanya berumur dua bulan, hingga Soeharto mundur sebagai Presiden dan digantikan B.J. Habibie pada 21 Mai 1998. Berhenti jadi menteri, Alwi kembali ke kampus.
Selain sebagai dosen dan berkecimpung selama 20 tahun di lingkungan birokrasi pemerintahan, Alwi juga aktif dalam berbagai organisasi profesi. Di antaranya, ia pernah menjabat Ketua Umum Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia (ISKI) selama lebih 10 tahun sejak 1983; Ketua Umum Himpunan Indonesia untuk Ilmu-ilmu Sosial (HIPIS) sejak 1984 sampai 1995; dan sebagai anggota Dewan Kehormatan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) selama 10 tahun sejak tahun 1984.
Atas jasa dan pengabdiannya kepada bangsa dan negara, Alwi Dahlan mendapat sejumlah tanda penghargaan dan Satya Lencana. Di antaranya, ia dianugrahi Bintang Jasa Utama yang diserahkan Presiden Soeharto pada tanggal 17 Agustus 1994.
Penulis Hasril Chaniago)/sumber buku 121 Wartawan Hebat dari Ranah Minang & Sejumlah Jubir Rumah Bagonjong (2018)