
Syahrul Tarun Yusuf bersama Elly Kasim
Balingka, sumbarsatu.com—Ranah Minangkabau kembali berduka. Dalam rentang satu bulan ini, dua orang sosok seniman dan maestro legendaris dijemput Sang Ilahi.
Pada Selasa 9 Juni 2020 di Aua Tajungkang, Tangah Sawah, Guguk Panjang, Bukittinggi, maestro seni dendang saluang, Sawir Sutan Mudo, berpulang karena usia lanjut.
Hari ini, Senin, 29 Juni 2020, pukul 06.00, Syahrul Tarun Yusuf, seorang maestro pencipta lagu Minangkabau, berpulang ke Rahmatullah, dalam usia 78 tahun karena sakit dalam usia lanjut di kampung halamannya, Jorong Subarang, Nagari Balingka, IV Koto, Agam.
Syahrul Tarun Yusuf juga dikenal dengan nama Satayu, lahir di Jorong Subarang Balingka, Nagari Balingka, IV Koto, Agam, pada 12 Maret 1942, meninggalkan seorang istri bernama Misnani, 7 orang anak, dan beberapa orang cucu. Semasa pemerintahan terendah berbentuk desa, Syahrul Tarun Yusuf pernah menjabat sebagai kepala desa di Subarang Balingka.
Dalam perjalanan karier sebagai pencipta lagu Minangkabau, banyak yang ia ciptakan yang jadi lagu legenda. Syahrul Tarun Yusuf telah mencipta lagu hampir 400-an.
Komposer Nurkholis, pengajar ISI Padang Panjang yang sedang menempuh program doktoral ISI Yogyakarta, mengaku kehilangan sosok legendaris pencipta lagu pop Minangkabau.
“Kita kehilangan sosok seniman pencipta lagu Minangkabau. Saya biasa panggil Om Tarun. Pada era 1994-2010, beliau sering ke ISI Padang Panjang (saat itu masih ASKI) untuk keperluan rekaman lagu-lagunya. Saat itulah saya sering bagarah-garah dengan beliau. Om Tarun orang yang mudah bergaul ke semua orang,” kata Nurkholis, Senin (29/6/2020).
Dikatakannya, dalam dunia industri musik pop Indonesia, Syahrul Tarun Yusuf dikenal sebagai seniman pencipta lagu-lagu pop Minangkabau. Ia juga melambungkan penyanyi Minangkabau ke jagat nasional.
“Nama-nama penyanyi yang melegenda seperti Lily Syarif, Elly Kasim, Tiar Ramon, Efrinon Rusly, Erni Djohan, Nuskan Syarief dan yang lainnya, merupakan para penyanyi yang popoler larena membawakan karya Satayu,” terangnya.
Lagu “Gasiang Tangkurak”,“Batu Tagak”, “Ampun Mande”, “Bapisah Bukannyo Bacarai,” “Hujan”, “Tinggalah Kampuang”, “Andam Oidan”—sekadar menyebut contoh—merupakan lagu ciptaan Syahrul Tarun Yusuf.
“Lagu-lagu itu sangat terkenal di era tahun 60-an, 70-an, hingga 80-an sampai akhir dekade 90-an. Bagi orang Minangkabau saat di rantau mendengar lagu pop Minangkabau bisa memantik rindu kampung. Entah itu aspek melodi lagu dan musiknya atau aspek liriknya. Tapi tidak hanya di rantau, di ranah kampung pun jika mendengar lagu-lagunya Om Tarun ini efek tersayat sembilu "taragak" sama saja. Vibrasinya kuat sekjali karena memang kandungan partikel bunyi kultur Minangkabau (ratok saluang) yangg kental dan pengaruh musik kolonial (diatonis) yang signifikan sebagaimana musik gamad telah berkelindan dalam tekstur dan dinamika lagunya,” urai komposer terkemuka Indonesia. .
Menurutnya, pada era 1980-aan hingga akhir 1990-an merupakan puncak lagu kepopuleran lagu Minangkabau tak terlepas dari cengkok-cengkok Minangkabau lagunya Syahrul Tarun Yusuf dan generasinya.
“Setelah era itu lagu Pop Minangkabau mengalami antiklimaks, menjauh dari akar kultur dan kreativitas pencipta lagu berikutnya. Menurut saya, generasi 'baru' pencipta dan penyanyi pop Minangkabau ingin cepat jadi dan sepenuhnya tunduk pada otoritasi kapital yg mempatronase nilai-nilai estetik personal,” jelasnya.
Lagu-lagu yang diciptakan Syahrul Tarun Yusuf tahun sudah menjadi lagu Minangkabau klasik.
Syuhendri Datuak Siri Marajo, salah seorang ninik mamak di Nagari Balingka, mengatakan, masih ada ratusan syair lagu Minangkabau tersimpan di kediaman Syahrul Tarun Yusuf.
Lagu ciptaannya Syahrul Tarun Yusuf yang sampai kini masih enak didengar antara antara lain “Bugih Lamo”, “Kasiah Tak Sampai”, “Ranah Balingka”, “Roda Padati”, “Kabau Padati”, “Aia Mato Mande”, “Ayah”, “Bungo Cinto”, “Bungo Bapaga”, “Kumbang Batali”, “Di Taluak Bayua”, “Samalam di India”, “Takuik”, “Tinggalah Kampuang”, “Oto Triarga”, “Alang Bangkeh”, “Angin Sarugo”, “Buyuang Boneh”, “Cak Sarak Cak Suruik”, “Caraikan Denai”, “Hujan”, “Kanai Sijundai”, “Minang Maimbau I”, “Minang Maimbau II”, “Bagaluik”, “Saputiah Hati”, “Karam di Lauik Cinto”, “Jatuah Tapai”, “Balam Tigo Gayo”, dan “Pakiah Geleang”.
Yurnaldi, pernah menulis sosok Syahrul Tarun Yusuf ini di Harian Kompas edisi Kamis,31 Januari 2002, menyebutkan, untuk melahirkan syair lagu-lagu, Syahrul Tarun Yusuf, kerap turun ke lapangan untuk menangkap suasanan yang berkembang di tengah masyarakat.
“Untuk mencipta lagu “Gasiang Tangkurak”, misalnya, ia mendatangi orang pandai (dukun) untuk menimba ilmu gasing tengkorak, pergi ke hutan dan bertapa. Kalau ia mau mencukupkan syarat, yakni memutar gasing tengkorak, “tembus”-lah ilmu yang ia tuntut. “Syarat yang satu itu tidak saya lakukan, karena dari awal niat saya untuk kebaikan. Lagu “Gasiang Tangkurak” dan “Kanai Sijundai”, yang saya ciptakan berdasarkan pengalaman itu tujuannya agar masyarakat, khusus-nya kalangan anak muda, tidak melakukan hal itu,” kata Syahrul Tarun Yusup seperti dikutip Yurnaldi.
Syahrul Tarun Yusuf menyelesaikan Sekolah Rakyat (SR) di Balingka dan pernah duduk di bangku SMP, SMEP, dan INS Kayutanam, serta me-nyelesaikan SMA di Bukittinggi,
Lagu ciptaan Tarun yang pertama direkam adalah “Bugih Lamo”, yang sampai sekarang sudah 11 kali di-rekam. Tahun 1996, lagu itu mengantarnya meraih Anugerah HDX. Lagu tersebut sampai sekarang menjadi populer di Malaysia dan Brunei Darussalam, dengan syair yang dialihkan ke dalam Bahasa Indonesia dan diganti judul “Lagu Lama” Ia pernah menerima Anugerah Pedati dari Pemerintah Kota Bukittinggi.
Usai salat Ashar, Senin sore (29/6/2020), sosok seniman ini dikebumikan di pandam pekuburan pesukuannya di Jorong Subarang Balingka. Banyak orang menunduk mengantar kepergian untuk selamanya. Selamat jalan Mbo (Uda) Taruu, kamanakan kehilangan. SSC/MN