Menyinergikan “Napas Pendek” Komunitas Seni

TANTANGAN KOMUNITAS SENI DI SUMBAR

Senin, 18/11/2019 18:13 WIB
Pementasan “Mandi Angin”  Bumi Teater di Padang

Pementasan “Mandi Angin” Bumi Teater di Padang

OLEH Nasrul Azwar (Sekjen AKSI)

Teater lahir dari urbanisasi tak terkecuali di Sumatera Barat. Teater tumbuh sebagai gaya hidup “orang kota” dengan caranya. Teater adalah perpindahan dari ruang kampung menuju perkotaan dengan tertatih-tatih.

Pegiat atau komunitas teater berproses mengaktualisasikan identitas dengan segenap ambiguitas artistik dengan “rasa kampung” di dalamnya, kendati masing-masing teater memiliki rasa kampung dengan menu kota yang berbeda-beda. 

Dunia teater Sumatera Barat kini memiliki puluhan komunitas teater dengan membawa ideologi masing-masing yang umumnya tak bisa melepaskan dirinya dari rasa kampung tadi. Sebagai produk urban perkotaan dan gaya hidup dalam sejarahnya, teater terus perpacu menyuarakan isu-isu yang akrab dengan masyarakat urban: kemanusiaan, kebenaran, keadilan, kesetaraan, kebebasan, kemerdekaan, dan juga gagasan-gagasan radikal lainnya.

Proses urbanisasi itu menghasilkan pertunjukan teater yang sarat “ideologi” dalam diri dan ekosistemnya. Setiap peristiwa teater adalah peristiwa pelepasan ideologi dari rahim mereka.

Jika dilihat secara umum hidup teater di Sumatera Barat, ada tiga ideologi teater yang terbangun: Ideologi teater ISI Padang Panjang, ideologi teater kampus non-ISI Padang Panjang, dan ideologi kelompok di luar kampus.

Pengkategorian tiga ideologi teater yang saya buat itu, masih terbuka diperdebatkan. Tapi yang jelas kehadirannya ketiganya dirasakan di Sumatera Barat ini.

Komunitas teater yang berangkat dari ISI Padang Panjang, hasil garapannya di panggung, secara formalitas mempertimbangkan elemen dan konsep dramaturgi, serta hukum panggung sehingga pertunjukan yang dihasilkan tampak seperti “sekolahan” sekali: penuh disiplin, rapi, tertata, tidak garebeh tebeh, dan hasilnya dibuat terukur. Memang dimaklumi karena itulah yang mereka pelajari di bangku kuliah. Maka, ini saya sebut teater berideologi sekolahan.

Sementara itu, ideologi teater non-ISI  ini ada di Unand, UNP, UIN IB, UBH, dan kampus lainnya. Teater di kelompok ini capaian garapan teaternya tidak serigid dari sekolah seni itu. Kebanyakan pengalaman dasar pengetahuan penyutradaannya otodidak dan ditambah keberanian. Elemen-elemen untuk artistik panggung, terkadang tak penting. Pamain tak akan melakukan olah tubuh yang detil, studi naskah biasanya sambil lalu. Improvisasi menjadi andalan kelompok ini. Ideologi teater ini saya sebut ideologi teater bauru-uru.

Yang ketiganya, ideologi teater kelompok di luar kampus. Ini banyak berupa komunitas dan grup. Sutradara biasanya sekaligus jadi pemimpin kelompok ini. Tapi pemainnya juga kebanyakan dari kampus-kampus dan juga pelajar dari sekolah menengah atas. Umumnya, kelompok ini mementaskan karyanya “dalam rangka”, atau menerima undangan untuk mementaskan teater, atau memeroleh dana hibah dari lembaga donasi. Kelompok teater seperti ini saya sebut ideologi teater dalam rangka.

Ketiga ideologi teater itulah yang terus menerus meniupkan napas kehidupan teater di daerah ini sejak teater tumbuh di kota-kota. Diketahui, teater di Sumatra Barat dalam sejarahnya merupakan satu titik dari mata rantai sejarah teater modern di Indonesia. Direntang ke belakang tentu akan lebih panjang.

Pijakan tradisi randai contohnya, yang kebanyakan dibawa dari kampung, semisal teks-teks kaba yang melekat dalam ingatan individu, dalam perjalanan kreatifnya akan melahirkan "tradisi baru" pada teater di Sumatra Barat. Tradisi baru itu yang kelak menghasilkan referensi untuk memotret peta teater di Sumatra Barat.

Era tahun 70-80-an, merupakan puncak bagi kehidupan teater dengan basis tradisi. Boleh dikatakan, yang tidak berbasis tradisi, silakan keluar. Paham demikian, juga melanda kota-kota lain di Indonesia, termasuk Kota Padang.

Teater Bumi dilahirkan di Padang yang diketuai Wisran Hadi, semenjak berdiri pada tahun 1976, secara teguh pijakannya ialah seni-seni tradisi Minangkabau (seni bakaba, silek, randai, dan kegiatan ritual adat dan budaya di Minangkabau).

Selain berteguh dengan basis seni tradisi, ekosistem berkesenian dengan membangun “Bumi-bumi” lainnya di komunitas-komunitas potensial, seperti sekolah-sekolah, kampus-kampus,  dan sanggar-sanggar, Bumi Teater dinilai sukses menebarkan “virus” berkesenian di Sumatera Barat: ada Bumi Rupa, Bumi Musik, Bumi Teater, Bumi Sastra, Bumi Film dan seterusnya yang kelak dalam perjalanannya, seniman-seniman dan pelaku seni yang terhimpun di dalamnya, melahirkan kelompok-kelompok baru yang juga mewarnai perjalanan kesenian di Sumatera Barat dan Indonesia, tentunya.

Kita tak bisa menutup mata, strategi membangun ekosistem berkesenian yang dilakukan Bumi Teater, kendati sangat “terpusat” kepada sosok Wisran Hadi, melahirkan puluhan pelaku seni yang produktif, antara lain Asbon Budinan Haza, Rizal Tanjung, Aswendi Dahdir, A.Alin De, Herisman Is, Zirmayanto, Zaifan Merry, Indra Nara Persada, M. Ibrahim Ilyas, Agusfian Iskandar, Desvita Wardhini, Raffendie Sanjaya, Syarifuddin Arifin, Armynd Sufhasril, Syafril (Prel T), Yusril Katil, Syuhendri, S Metron M, dan puluhan lainnya. Semua mewarnai seni kontemporer Sumatera Barat.

Selain itu, beriringan dengan iklim yang baik berkesenian, muncul sutradara-sutradara perempuan di Sumatera Barat, antara lain Noni Sukmawati, Zurmailis, Kurniasih Zaitun, Mila K Sari, dan lain sebagainya. Tapi perempuan sutradara yang masih eksis berkarya hingga sekarang Kurniasih Zaitun. Terakhir karyanya dipentaskan di Negeri Sembilan Malaysia: The Margin Of Our Land #3” kolaborasi dengan koreografer Ali Sukri dengan Komunitas Seni Hitam Putih.

Sepuluh tahun terakhir, seiring mudahnya menjalin komunikasi karena dimanjakan teknologi, muncul kelompok-kelompok yang berorientasi seni pertunjukan teater. Kehadirannya sangat positif dan besar maknanya bagi kehidupan teater di Sumatera Barat.

Pertumbuhan komunitas teater itu, tampaknya juga diikuti semangat menghadirkan festival yang difasilitasi lembaga-lembaga atau independen dan mandiri. Festival ini memberi ruang ekspresi bagi pegiat teater, tentunya. Hadirnya Jurusan Teater di Fakultas Seni Pertunjukan ISI Padang Panjang, pun memberi warna bagi denyut seni di Sumatera Barat.

Maraknya kelompok teater saat ini, seperti mengulang kembali “sejarah” di era 80-an di Sumatera Barat, yang juga merepresentasikan hal serupa. Tapi perjalanannya seperti mata rantai yang hilang. Tak banyak yang bertahan.

Pada era 2000, atau setelah reformasi 1998 diikuti dengan bangkitnya kembali DKSB dari mati surinya itu, ada beberapa komunitas teater yang ikut meramaikan “pergunjingan” di jagat teater Sumatera Barat. Program  Pentas Seni yang pernah dihelat DKSB mengakomodasi mereka antara lain Teater Akar Padang Panjang (pimpinan Pandu Birowo), Bambu Arts Eksploration Padang Panjang (Sulaiman Juned), Teaterdotcom Padang Panjang (Kurniasih Zaitun), Komunitas Seni Tema STSI Padang Panjang (Wenhendri), Teater Eksperimental KPDTI Fakultas Sastra Unand (Syafril/Prel T), Komunitas Teater Plong Padang Panjang (Dharminta), Teater Sakata Padang Panjang, Teater Katarsis Padang Panjang, Teater IAIN IB Padang, Teater Langkah FIB Unand, dan lain sebagainya.

Selepas itu, ada juga, komunitas teater yang sudah eksis juga, yaitu KSST Noktah Padang, Komunitas Seni Hitam Putih Padang Panjang, Teater Dayung-Dayung Kayu Tanam, Teater Imaji Padang, Teater Garak, Komunitas Seni Intro Payakumbuh, Teater Gaung Ekspose, Old Track Theatre, dan lain sebagainya. Seterusnya ada Ruang Kreativitas Serunai Laut, Komunitas Langit Teater, Teater Rumah Teduh, Komunitas Seni Nan Tumpah, Ranah PAC Padang, Teater Kamus, Teater Size, Teater Tambologi dan Indonesia Performance Syndicate, dan lain sebagainya. Urutan pencatatan tidak bertendensi kelahiran kelompok terkait.

Setelah terjadi “kevakuman program” DKSB, sejak 2008 hingga kini, para  pegiat teater dan para anak muda, membentuk dan membangun komunitas-komunitas, yang akhirnya berlanjut mengisi aktivitas seni di Sumatera Barat hingga hari ini. Tapi ada “mati” juga di tengah jalan.

Fenomena KSNT

Suatu hal yang cukup menarik ialah ekosistem berkesenian yang dibangun kelompok seni Komunitas Seni Nan Tumpah yang sudah memiliki tempat dan kantor sendiri di Kasai Padang Pariaman.

Komunitas Seni Nan Tumpah (KSNT) menjelaskan dirinya sebagai sebuah lembaga seni budaya independen didirikan tahun 2010. Bergerak di bidang seni pertunjukan tradisi maupun modern/kontemporer (teater/randai, tari, musik), seni rupa, seni media baru, sastra/literasi, kajian seni budaya, serta mengelola Ruang Baca Masyarakat.

Dalam narasi besarnya, menurut Mahatma Muhammad pendiri komunitas ini, KSNT merancang program seni budaya yang berkelanjutan untuk mengaplikasikan kerja tata kelola seni dalam bentuk produksi seni pertunjukan, produksi album musikalisasi puisi, diskusi, pelatihan, pameran dan penerbitan beberapa karya tulis dan buku-buku sastra.

Program unggulan KSNT yang digelar sekali dua tahun—saat tulisan ini sedang disiapkan tengah berjalan perhelatan Pekan Nan Tumpah yang  kelima kalinya 16-24 November 2019—sebuah festival seni yang diberi nama Pekan Nan Tumpah.

Pekan Nan Tumpah merupakan festival seni dua tahunan yang dikelola oleh Komunitas Seni Nan Tumpah (KSNT). Festival ini lahir dari program kerja jangka panjang yang disusun KSNT sejak tahun 2011, untuk menjawab tidak adanya festival seni yang berkelanjutan yang diadakan dan dikelola oleh sebuah kelompok/komunitas seni independen di Sumatera Barat.

Bukan hanya festival, KSNT juga masuk ke ruang-ruang kelas di sekolah untuk memberikan literasi seni pertunjukan teater, sastra, musik, dengan cara kekinian. Sudah puluhan sekolah di Sumatera Barat yang mereka sentuh dan bina. Hal serupa pernah dilakukan Bumi Teater di tahun awal tahun 70-an dan akhir 80-an tentu dalam perspektif yang dan strategi yang berbeda. Tapi ide dasarnya ialah mendekatkan seni dengan public.   

Sinergi Antarkomunitas Seni

Lepas dari capaian positif yang dibangun dan dilakukan KSNT, kelompok dan komunitas seni di luar ini, jika membaca dari perjalanan dan cara menghidupi keseniannya, memang terkesan tidak dikelola dengan baik.

Untuk itu, masalah tata kelola dan meniupkan napas panjang berkesenian, ada beberapa hal perlu dipersamakan. Pertama: membangun kapasitas dan penguatan nilai kebersamaan antarkomunitas, kedua: seni harus dijadikan isu dan persoalan bersama, dan ketiga: mendorong agar ada lembaga yang bisa menyatukan komunitas-komunitas ini sehingga menjelma menjadi lembaga yang kuat dan mampu bernegosiasi dengan pihak lain, serta membuka ruang lebih luas dengan lembaga dan jaringan budaya lainnya.

Pilihan terbaik dari itu, saya mengusulkan, para pegiat seni, komunitas seni, dan pemerhati, serta aktivis seni dan pihak terkait lainnya, membangun sebuah lembaga—katakanlah namanya “konsorsium”—sebagai sebuah ruang bersama untuk satu visi agar memiliki posisi tawar dan sinergi dengan pihak lainnya. Lembaga—entah apa namanya—ke depan akan memiliki peran dan posisi penting, terkait misalnya—realisasi dana abadi atau hibah yang akan dialokasikan pemerintah dan menjawab apa yang termaktub dalam UU No 5 tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. ****



BACA JUGA