
Agus Hernawan
OLEH Agus Hernawan (aktivis dan budayawan, tinggal di Yogyakarta)
Buddhis: “Akan Kami Bunuh Semua Muslim di Myanmar”, judul berita yang dimuat Atjehcyber pada Juli 2014 lalu.
Dan, ancaman itu memang kemudian terjadi. Genocide berlangsung sepanjang tahun. Pembunuhan, membakaran rumah, penjarahan properti kaum muslim di Myanmar berlangsung di depan mata aparat. Bahkan, muslim Rohingya menjadi korban, seperti dituduhkan para aktivis pembela HAM, perkosaan, pembunuhan, dan menyiksa yang melibatkan aparat bersenjata Myanmar.
Rohingya seperti sengaja didiamkan untuk punah. Soal mereka muslim agaknya sengaja juga jadi alasan. Konflik pun jadi terlihat horizontal, padahal bisa jadi tidak demikian. Rohingya atau Rohang dalam bahasa Rohingya, sejarahnya terhubung dengan bangsa Indo-Arya di India dan Bangladesh kontras dengan mayoritas rakyat Burma yang Sino-Tibet. Mungkin ada soal yg bersumbu di kepentingan-kepentingan klas dominan. Namun, yang pasti ribuan orang Rohingya dipaksa pergi mengungsi, jadi manusia perahu. Mereka terombang-ambing di tengah lautan, tanpa makanan dan minuman.
Dunia yang semakin terbuka, terkoneksi satu sama lain, menyaksikan. Termasuk para aktivis HAM Indonesia yang kemarin sibuk membela para terhukum mati kasus narkoba. Penolakan pada kejahatan atas kemanusiaan jelas tak butuh embel-embel. Pembelaan itu harusnya tegak pada kebenaran obyektifnya sendiri. Namun, masalahnya, Rohingya datang dari negara miskin, mereka juga margin. Parahnya lagi, mereka cuma muslim.
Label "muslim" kere yang disandang pengungsi Rohingya seolah akan meminuskan pembelaan kita pada hak hidup manusia. Atau, boleh jadi ada "konsensus" terkait image yang dikonstruksi selama ini. Kaum muslim adalah teror, mereka digambarkan sebagai predator. Karena itu, mereka layak diusir, layak dibiarkan terombang-ambing dan mati di tengah lautan.
Ke mana Sekjen PBB itu? Australia menghalau perahu kayu para pengungsi Rohingya dari pantai mereka, tapi mati-matian membela warganya yang buat kerok di negeri orang. Bahkan, sang peraih Nobel Perdamaian, Suu Skyi, pewaris cita-cita Jenderal Aung San, tentang sebuah negara untuk segala etnis yang beranak-pinak di Myanmar, termasuk Muslim Rohingya, Muslim Kaman, Muslim Panthay, dan Muslim Burma, hanya baru-baru ini angkat suara setelah beku sekian lama di pertapaannya.
Saya jadi ingat surat terbuka seorang biduan Anggun ke Presiden Jokowi. Pembelaan total si biduan pada penyelundup narkoba dengan argumentasi si penyelundup itu bagian dari klas pekerja yg paling dihormati dalam sejarah Perancis. Kita tahu, tinggal baca di buku sejarah, bagaimana 200 ribu Parisian Proletarian mendesakkan lahirnya republik. Tapi, apa si biduan juga tahu, Parisian Proletarian itu yg menulis kata-kata kramat: Republique Francaise! Liberte, Egalite, Fraternite!
Muslim Rohingya hanya penghuni gubuk-gubuk di marjin Myanmar. Mereka jelas para sans culotte, kaum miskin. Mereka diusir, sebagian jatuh ke tangan para pedagang budak di Thailand dan Malaysia, lantas didagangkan layaknya barang rongsokan.
Hanya orang Aceh, nelayan-nelayan Aceh yang berdiri di garis depan demarkasi antara kemanusiaan dan kebinatangan kita. Nelayan Aceh yang tergugah, spontan menaikkan para pengungsi yang terpaksa meminum air kencingnya sendiri sekadar bertahan dari mati kehausan di tengah lautan. Entah kenapa, TNI melarang. Apakah Anda sedang "sariawan" Jenderal?
Kini, kabarnya, kapal perang Turki sudah bergerak. PM Malaysia sudah juga memerintahkan tarik kapal para pengungsi Rohingya ke daratan Malaysia. Turki dan semua jejak kesultanan di Nusantara terikat pada baiat, pada tahta suci di masa silam, mungkin juga proyeksi masa depan.
Sementara ASEAN sedang demam. Cina jadi naga laut dalam banyak mitologi. AS sendiri, sejak beberapa bulan lalu, menambahkan kekuatan tempurnya di Australia dan Filipina. Mengirim marinir-marinir terlatih dan siap dalam segala medan kemungkinan.
Imaji boleh berkembang ke mana-mana. Tapi, yang pasti, Rohingya punya hak yang sama atas bumi Tuhan ini. Dan, nelayan-nelayan Aceh mewarisi segala heroisme orang-orang biasa. Heroisme pada kemanusiaan. Pembelaan tanpa embel-embel pesanan. ***