
OLEH M. Yunis (Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas)
BAHASA merupakan sarana utama dalam interaksi sosial manusia. Interaksi ini hanya berjalan efektif jika penutur dan lawan tutur berbagi sistem bahasa yang sama. Penutur bahasa Sunda, misalnya, tidak serta-merta memahami makna bahasa Minangkabau, begitu pula sebaliknya. Kridalaksana (1982) menyebutkan bahwa bahasa adalah sistem lambang arbitrer yang digunakan dalam relasi sosial, di dalamnya terkandung interaksi dan identifikasi diri.
Namun, komunikasi manusia tidak selalu dilakukan melalui bahasa verbal. Dalam situasi tertentu, manusia menggunakan bahasa simbol sebagai medium penyampaian pesan. Bahasa simbol dapat berbentuk kode, gambar, atau lambang. Simbol-simbol semacam ini banyak ditemukan dalam budaya Nusantara—seperti simbol bulan sabit dan bintang di masjid, salib bagi umat Kristiani, atau bendera merah-kuning-hitam yang mewakili identitas Minangkabau.
Menurut Langacker (1991), bahasa memiliki daya simbolik dan menyediakan jalur alternatif dalam berkomunikasi. Komunikasi alternatif ini dapat mengambil bentuk gambar, kode, rajah, atau lambang, yang semuanya termasuk ke dalam bahasa simbol. Bahasa simbol menyimpan cara pandang tertentu yang berakar pada nilai dan pengetahuan kolektif.
Sayangnya, pemahaman konvensional tentang bahasa kerap membatasi pikiran kita. Banyak yang menganggap bahwa bahasa harus memiliki struktur formal yang dapat dirumuskan. Sebagian ahli bahkan memandang bahwa bahasa simbol tidak bisa dijelaskan secara sistematis. Padahal, sebagai produk imajinasi kolektif, bahasa simbol justru memiliki realitas kognitif yang lebih dalam. Struktur simbol dapat dipahami apabila kita melihat relasinya dengan unsur di luar bahasa.
Dalam masyarakat Minangkabau, terdapat bentuk komunikasi alternatif yang disebut palangkahan. Ini adalah praktik penentuan waktu yang menggunakan bahasa simbol dan dipercaya sebagai bagian dari ajaran tasawuf atau sufistik.
Simbol-simbol dalam palangkahan tidak berbentuk tuturan verbal utuh, melainkan berupa rajah, kode, dan lambang yang ditorehkan pada tanduk atau tertulis dalam manuskrip. Bahasa simbol ini hanya dapat dimaknai oleh orang-orang tertentu, seperti ulama, guru tarekat, atau dukun.
Palangkahan dipercaya telah digunakan sejak masa lampau. Menurut catatan Jamal (1985), palangkahan digunakan oleh Maha Raja Diraja saat mencari pemukiman baru di Sumatra. Dalam agresi militer Belanda II di Padang Pariaman, praktik ini dimanfaatkan untuk menyusun strategi perang (wawancara dengan Ali Ludin, veteran perang di Sintuak, 21 Februari 2021). Bahkan Tuanku Imam Bonjol diyakini telah menggunakan palangkahan dalam perjuangannya—terbukti dengan kegagalan Belanda merebut Bonjol selama tiga periode: 1821, 1833, dan 1836 (Madjolelo & Marzoeki, 1951; Hadler, 2008).
Di masa kini, praktik palangkahan masih digunakan untuk berbagai keperluan: menentukan waktu pelaksanaan ritual adat, bertani, berdagang, hingga mencari jodoh. Palangkahan mencakup dua sistem utama: kutiko limo untuk memprediksi jam baik, dan kutiko salapan untuk menentukan hari baik.
Dalam kutiko limo terdapat lima simbol waktu yang disusun dalam kotak magis. Sementara kutiko salapan menggunakan delapan simbol yang diposisikan berpasangan secara antagonis pada arah mata angin.
Simbol-simbol ini bersifat dinamis. Dalam satu hari yang sama, jam 02.40–05.00 bisa memiliki makna berbeda tergantung bulan penanggalan. Misalnya, simbol "anak ngenek" menandakan waktu berbahaya, sedangkan "dana kosong" dianggap sebagai waktu yang baik. Dalam kutiko salapan, simbol-simbol dapat berupa nama hewan, mineral, atau tumbuhan, yang disusun menyerupai delapan penjuru arah mata angin.
Bahasa simbol dalam palangkahan juga berkaitan dengan peredaran bintang. Setidaknya ada tujuh bintang yang menjadi dasar, yaitu Kamarun, Katibun, Zahro, Syam, Marikh, Musytari, dan Dakhil. Pergerakan dan posisi benda langit ini dianggap memiliki pengaruh terhadap kehidupan manusia di bumi. Sebagaimana pelaut menggunakan bintang sebagai penunjuk arah, petani dan pedagang pun mengandalkan simbol bintang untuk menentukan waktu tanam, berlayar, bahkan berperang (Campion, 2012; Balamurugan et al., 2019).
Eliade (1959) menyebutkan bahwa bentuk kesadaran kosmis masyarakat kuno tidak dirumuskan secara teoretis, melainkan hadir dalam bentuk mitos, simbol, ungkapan, dan ritual. Kesadaran akan keteraturan alam menjadi dasar dari sistem pengetahuan tradisional seperti palangkahan.
Menurut Goodenough, bahasa simbol mengandung pola-pola tertentu yang mempengaruhi perilaku manusia. Ia memiliki makna dan nilai sendiri, dan berdaya menggiring keyakinan (Dillistone, 1986).
Sayangnya, hingga kini kajian akademik terhadap bahasa simbol dalam palangkahan masih sangat terbatas. Kesakralan teks dan sifat eksklusif pemahaman membuatnya sulit diakses. Beberapa dokumentasi ditemukan dalam manuskrip kuno yang disimpan di British Library, berisi rajah dan amalan sufistik dari Surau Pariangan (British Library, 2009).
Mahzuni (2011) mengklasifikasikan warisan budaya ke dalam tiga kategori: artefak (benda), mentifak (pikiran), dan sosiofak (interaksi sosial). Bahasa simbol dalam palangkahan memenuhi ketiga kategori ini. Artefak berupa rajah dan kode pada tanduk dan naskah, mentifak berupa sistem pengetahuan di balik simbol, dan sosiofak berupa penggunaannya dalam praktik kehidupan masyarakat Minangkabau.
Palangkahan adalah warisan intelektual dan spiritual yang belum banyak dikaji secara ilmiah. Upaya pelestarian dan pengungkapan makna budaya ini sejalan dengan semangat World Intellectual Property Organization (WIPO) untuk melindungi pengetahuan tradisional dan mendorong penghormatan terhadap komunitas adat. Pengakuan terhadap bahasa simbol dalam palangkahan bukan hanya soal pelestarian budaya, tetapi juga soal menghargai keragaman cara manusia memahami dunia. *