
OLEH Suswinda Ningsih, M.I.Kom (Dosen Ilmu Komunikasi, Pemerhati Media dan Budaya Digital)
Beberapa waktu terakhir, media sosial diramaikan video seorang anak kecil berdiri di ujung perahu panjang, menari lincah di atas riak sungai yang deras. Wajahnya serius, geraknya penuh energi, seolah menyatu dengan semangat timnya yang mendayung sekuat tenaga. Fenomena ini dijuluki “Aura Farming” — istilah kocak sekaligus magis yang diciptakan netizen Indonesia untuk aksi menawan bocah penari Pacu Jalur dari Riau itu.
Yang mengejutkan, tarian kecil di ujung perahu ini menyeberang batas-batas geografis. Ia ditiru, di-remix, dan disorot akun-akun global: dari PSG dan AC Milan, hingga Formula 1 dan influencer K-Pop. Dalam waktu singkat, tradisi lokal Pacu Jalur yang sudah berusia lebih dari satu abad menjelma jadi panggung diplomasi budaya digital Indonesia.
Dari Tradisi Lokal ke Jagat Digital
Pacu Jalur bukan budaya baru. Sejak abad ke-17, masyarakat Kuantan Singingi (Kuansing), Riau, telah menggelar lomba perahu panjang ini sebagai bagian dari ritus kolektif dan perayaan identitas. Namun, selama ini, ia hanya dikenal sebagai tontonan lokal, sesekali hadir dalam pemberitaan budaya nasional.
Mengapa baru viral sekarang?
Jawabannya ada pada pertemuan antara teknologi dan kreativitas. Kamera ponsel yang merekam video vertikal, koneksi internet cepat, dan algoritma TikTok yang menyukai konten otentik dan emosional menjadi jembatan antara sungai di Kuantan dan dunia global. Ditambah narasi jenaka nan khas netizen—“aura farming”—maka lengkaplah formula viralitas: unik, lucu, spiritual, sekaligus menyentuh hati.
Antara Komunikasi Visual dan Emosional
Dalam teori komunikasi visual, pesan menjadi lebih kuat ketika disampaikan lewat gambar dan gerak. Aksi si Dika—bocah penari itu—menyajikan elemen visual yang sempurna: tubuh mungil berdiri stabil di atas perahu yang melaju kencang, menari tanpa goyah, dengan ekspresi penuh penghayatan.
Lebih jauh, teori komunikasi emosional menjelaskan bahwa konten yang membangkitkan rasa haru, kagum, atau bangga lebih mudah menyebar. Dika bukan siapa-siapa, tidak berniat viral, tidak disponsori—dan justru karena itu, ia menyentuh banyak hati. Ia adalah simbol semangat murni, anak kampung yang mengguncang dunia digital tanpa ia sadari.
Dramaturgi di Atas Perahu
Meminjam pendekatan dramaturgi dari Erving Goffman, dunia adalah panggung dan setiap orang adalah aktor. Dika adalah aktor budaya, yang tampil bukan hanya di panggung Sungai Batang Kuantan, tapi juga di layar jutaan orang di seluruh dunia.
Di Kuansing, ia dikenal sebagai togak luan, penari di haluan. Peran ini bukan sekadar hiasan, tapi penanda semangat dan ritme tim dayung. Kini, tanpa disadari, ia juga menjadi wajah budaya Riau dan bahkan Indonesia di mata dunia.
Budaya Lokal, Diplomasi Global
Inilah kekuatan soft power atau diplomasi budaya. Di saat banyak negara membangun citra lewat kekuatan militer atau ekonomi, Indonesia justru punya modal budaya yang autentik, dinamis, dan memikat secara visual dan emosional.
Fenomena “aura farming” bukan sekadar viralitas, tapi juga pengingat bahwa di tengah globalisasi yang serba instan, kita masih punya warisan budaya yang tak ternilai. Dan lebih penting lagi, masyarakat kita memiliki kecerdasan digital untuk mengemas budaya itu menjadi tontonan yang menghibur sekaligus membanggakan.
Namun, popularitas juga membawa risiko. Klaim budaya dari luar mulai muncul. Beberapa netizen negara tetangga menyebut tradisi ini mirip dengan lomba perahu di negara mereka. Tanpa dokumentasi dan narasi yang kuat, warisan kita bisa diklaim oleh pihak yang lebih dulu mengambil posisi di ruang digital.
Strategi Komunikasi Budaya yang Urgen
Inilah tantangan kita. Viralitas tidak bisa diandalkan sebagai satu-satunya strategi. Negara, pegiat budaya, akademisi, dan kreator lokal harus terlibat aktif dalam membingkai narasi kebudayaan seperti Pacu Jalur. Ia tak boleh berhenti sebagai tontonan musiman, tapi perlu menjadi sumber edukasi dan inspirasi.
Penetapan Pacu Jalur sebagai Warisan Budaya Takbenda oleh Kemendikbud sejak 2014 adalah langkah awal yang baik. Tapi pengakuan administratif tidak cukup. Kita butuh dokumenter yang kuat, kurikulum lokal, tur virtual, podcast budaya, bahkan gim edukatif yang memperkenalkan warisan ini secara menyenangkan dan mendalam.
Dari Hulu Tradisi ke Hilir Dunia
Pacu Jalur adalah kisah tentang solidaritas, spiritualitas, dan estetika yang diwariskan lintas generasi. Tapi warisan ini bisa hilang jika tak dijaga. Momentum "aura farming" harus jadi pengingat bahwa budaya kita bisa bersaing di panggung global, asal dirawat dengan strategi komunikasi yang cermat dan berkelanjutan.
Anak kecil yang berdiri menari di ujung perahu itu bukan sekadar penari. Ia adalah penanda bahwa di tengah canggihnya dunia digital, kita tetap butuh akar. Butuh identitas. Butuh narasi yang mengalir dari hulu desa hingga ke hilir dunia maya.
Pacu Jalur dan aura farming adalah bukti bahwa budaya tak akan mati—asal kita tahu cara merayakannya, menjaganya, dan menceritakannya kembali. Dan komunikasi, dalam hal ini, bukan sekadar alat promosi. Ia adalah jembatan antar zaman, antar budaya, antar bangsa. []