Kasus Nurdiana dan Krisis Kepercayaan: Ketika Komunikasi Gagal Menjadi Fondasi Pernikahan

Kamis, 03/07/2025 06:04 WIB
-

-

OLEH Suswinda Ningsih, M.I.Kom (Dosen Ilmu Komunikasi, Pemerhati Media dan Budaya Digital)

PERNIKAHAN adalah ikatan suci yang seharusnya diawali dengan kejujuran. Namun, sebuah kisah dari Lombok Tengah baru-baru ini mengguncang ruang publik nasional—kisah tentang cinta, kebohongan, dan kegagalan komunikasi.

Namanya Nurdiana—atau lebih tepatnya Kaning, nama aslinya yang baru terungkap setelah pernikahan. Ia menjadi viral karena diduga menyembunyikan status sebagai janda tiga kali dan mengaku sebagai gadis saat menikahi Rodi Handika, seorang pekerja migran yang pulang dari Jepang hanya untuk menikahinya.

Pernikahan tersebut berlangsung pada 24 Juni 2025 di Desa Bakan, Kecamatan Janapria, Lombok Tengah. Dalam tradisi adat Sasak yang disebut nyongkolan, keluarga besar Rodi mendatangi rumah pengantin perempuan. Namun, acara itu tidak berjalan manis.

Di tengah prosesi adat, kericuhan pecah setelah terungkap bahwa Nurdiana bukan hanya pernah menikah, tetapi juga menggunakan nama palsu, bukan mahasiswa seperti yang diklaim, dan tidak pandai mengaji sebagaimana disebutkan—semuanya ternyata kebohongan.

Video klarifikasi Nurdiana yang menangis sambil mengaku dipaksa menikah karena malu telah dilamar, tersebar luas di media sosial. Masyarakat menilai kebohongan tersebut bukan hanya mencederai pasangan, tetapi juga mempermalukan keluarga dan mencoreng adat.

Komunikasi yang Gagal dan Teori yang Bicara

Dalam perspektif komunikasi interpersonal, situasi ini mencerminkan kegagalan dalam aspek self-disclosure, yaitu proses sukarela mengungkapkan informasi pribadi yang relevan kepada orang lain (DeVito, 2011).

Self-disclosure merupakan inti dari Social Penetration Theory oleh Irwin Altman dan Dalmas Taylor, yang menyatakan bahwa kedekatan sejati dalam hubungan hanya bisa dicapai jika kedua pihak secara bertahap membuka lapisan-lapisan identitas mereka.

Nurdiana, dalam kasus ini, justru menyembunyikan lapisan terdalam identitasnya: riwayat pernikahan dan identitas asli. Inilah yang disebut sebagai information asymmetry—ketidakseimbangan informasi dalam hubungan.

Dalam konteks ini, Rodi menjadi pihak yang sangat dirugikan karena membangun komitmen berdasarkan asumsi yang keliru. Komunikasi menjadi tidak setara, dan kepercayaan yang seharusnya menjadi fondasi utama pun runtuh.

Jika merujuk pada Uncertainty Reduction Theory (Berger & Calabrese), tindakan menyembunyikan informasi krusial justru memperbesar ketidakpastian dalam relasi, yang pada akhirnya memicu kecemasan dan konflik. Apalagi dalam hubungan jarak jauh seperti ini—Rodi tinggal di Jepang—ketidakpastian seharusnya dikurangi melalui keterbukaan, bukan ditutupi dengan konstruksi identitas palsu.

Ketika Komunikasi Menjadi Pertunjukan

Dalam Dramaturgical Theory dari Erving Goffman, individu dipandang sebagai aktor sosial yang menampilkan peran sesuai ekspektasi khalayak. Nurdiana tampil sebagai "gadis baik-baik", religius, masih perawan, dan terpelajar. Semua atribut itu adalah bagian dari front stage, yaitu wilayah di mana identitas sosial dikonstruksi demi mendapatkan penerimaan.

Namun, ketika kebenaran terbongkar, panggung pun runtuh. Identitas "ideal" yang dibangun sirna seketika. Yang tersisa hanyalah kekecewaan—bukan hanya dari Rodi, tetapi juga dari keluarga, tetangga, dan masyarakat adat. Goffman menyebut kondisi ini sebagai disruptive performance, ketika kebohongan terbuka dan aktor kehilangan kredibilitas di mata publik.

Pernikahan di Lombok bukanlah sekadar urusan dua individu. Ada adat, keluarga besar, dan komunitas yang turut menyaksikan serta merestui. Dalam budaya Sasak, status "perawan" memiliki dimensi simbolik yang merepresentasikan kehormatan keluarga.

Maka ketika kebenaran terkuak, bukan hanya Rodi yang merasa tertipu—masyarakat pun merasa dikhianati. Di sinilah komunikasi berperan bukan hanya sebagai alat tukar informasi, tetapi sebagai bagian dari sistem nilai budaya.

Media Sosial: Dari Isu Pribadi Menjadi Agenda Publik

Yang paling menarik dari kasus ini adalah bagaimana urusan domestik berubah menjadi drama nasional. Video nyongkolan, foto-foto pre-wedding, hingga klarifikasi emosional Nurdiana tersebar masif di TikTok dan Instagram. Dalam waktu singkat, publik ramai-ramai menjatuhkan vonis moral.

Fenomena ini menunjukkan bagaimana Agenda-Setting Theory (McCombs & Shaw) bekerja dalam era digital. Media, termasuk media sosial, tidak memberi tahu kita apa yang harus dipikirkan, tetapi isu mana yang harus dipikirkan. Kasus ini memicu diskursus lebih luas: soal kejujuran, perempuan, tekanan sosial untuk "terlihat sempurna", hingga pentingnya verifikasi sebelum menikah.

Kebutuhan akan Komunikasi Etis

Kasus Nurdiana adalah pelajaran terbuka tentang pentingnya membangun komunikasi yang sehat dan etis, terutama dalam relasi jangka panjang seperti pernikahan. Bukan komunikasi yang manipulatif, bukan pula yang dibungkus dengan citra semu demi memenuhi ekspektasi sosial.

Transparansi bukanlah kelemahan, melainkan kekuatan dalam membangun kepercayaan. Seandainya sejak awal Nurdiana jujur tentang masa lalunya, barangkali kisah ini akan berakhir lebih tenang—meskipun tak selalu bahagia. Tapi setidaknya, ia bisa menyelamatkan harga diri dan kehormatan semua pihak.

Sebab pada akhirnya, cinta sejati tidak dibangun dari kesempurnaan yang dibuat-buat. Ia lahir dari keberanian membuka diri, menghadapi risiko, dan memilih untuk saling menghargai dalam kejujuran.*



BACA JUGA