
OLEH Amanda Citra (Mahasiswa Universitas Dian Nusantara)
DI era digital yang serba instan dan cepat ini, setiap informasi mengalir dengan begitu derasnya. Setiap detik, jutaan data, berita dan opini dapat dengan mudah berada dalam genggaman darimanapun asalnya.
Pesatnya perkembangan era digital ini membuat kebutuhan kita akan informasi dapat terpenuhi dalam jentikan jari, membuat diri kita begitu dimanjakan akan akses informasi yang tiada batasnya.
Namun, dibalik gemerlapnya era digital, tersimpan pula sisi negatif yang tak kalah besarnya, yakni penyebaran hoaks yang begitu masif, karena di era digital, siapapun dapat menyebarkan informasi tanpa perlu melewati rangkaian saringan yang ketat layaknya media konvensional. Hasilnya, dunia digital terkhususnya media sosial menjadi tanah paling subur bagi penyebaran berita hoaks yang menyebabkan banyak kekacauan informasi yang meresahkan masyarakat.
Di Indonesia sendiri, penyebaran hoaks masih menjadi isu yang tak kunjung selesai, karena penyebarannya terhitung tinggi dari ketahun. Survei wabah hoaks nasional yang dilakukan oleh Masyarakat Telekomunikasi Indonesia (Mastel) dengan menggunakan 941 responden mengungkapkan bahwa 34,60% di antara mereka menerima berita hoaks setiap hari. Lebih parahnya lagi, sekitar 14,70% dari mereka menerima berita hoaks lebih dari satu kali. 3 tiga saluran penyebaran hoaks tertinggi di antaranya adalah media sosial dengan angka 87,50%, aplikasi obrolan 67% dan juga website 28,20%.
Lebih lanjut lagi, Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) menemukan sekitar 1.923 hoaks di sepanjang 2024 lalu. Kategori hoaks tertinggi berisi penipuan dengan jumlah 890 temuan, diikuti kategori politik sebanyak 237 temuan, pemerintah 214 temuan, kesehatan 163 temuan, kebencanaan 145 temuan, internasional dan pencemaran nama baik yang sama-sama 50 temuan, perdagangan 35 temuan, kejahatan 33 temuan, keagamaan 8 temuan, Pendidikan 8 temuan, mitos 6 temuan dan kategori lain-lain sebanyak 84 temuan.
Tingginya angka penyebaran hoaks di Indonesia ini bukanlah tanpa alasan. Salah satu faktor yang paling vital adalah karena minimnya verifikasi informasi. Masih banyak masyarakat kita, terlebih masyarakat maya atau yang kita kenal dengan istilah netizen yang langsung membagikan suatu informasi tanpa proses verifikasi yang tajam, di mana banyak dari mereka yang hanya membaca judulnya saja, lantas menyebarkannya tanpa proses pemikiran yang kritis. Hal inilah yang kemudian menciptakan kekacauan informasi di tengah masyarakat.
Tentu kita masih ingat dengan kasus hoaks Ratna Sarumpaet bukan? Kasus ini menjadi salah satu contoh paling gamblang bagaimana hoaks dapat memicu kegaduhan dalam skala nasional, terlebih dalam dunia politik. Pada 2018 lalu, Ratna Sarumpaet yang merupakan tokoh publik mengaku dianiaya dengan menunjukkan foto wajahnya yang lebam. Foto-foto wajah lebamnya lantas menyebar luas bahkan disebarkan langsung oleh para politisi tanpa verifikasi terlebih dahulu.
Akhirnya, terungkap bahwa lebam di wajahnya tidaklah disebabkan oleh penganiayaan, melainkan hasil dari kegagalan operasi plastik. Hal ini menunjukkan betapa rentannya masyarakat (termasuk tokoh publik) terhadap informasi yang belum diverifikasi kebenarannya, terlebih di tengah iklim politik yang begitu panas.
Selain itu, kini penyebaran hoaks semakin diperparah dengan menjamurnya teknologi A.I (Artificial Intelligence) atau kecerdasan buatan. A.I membuat siapapun dapat dengan mudah meniru wajah bahkan suara siapapun.
Penyalahgunaannya jelas sangatlah berbahaya. Satu kasus penyebaran hoaks dapat kita lihat dari penggunaan Deepfake AI yang mencatut wajah 3 Gubernur, yakni Khofifah Indar Parawansa (Gubernur Jawa Timur), Kang Dedi Mulyadi (Gubernur Jawa Barat) dan juga Ahmad Lutfi (Gubernur Jawa Tengah). 3 pelaku berinisial (HMP), AH dan UP mencatut wajah para gubernur tersebut untuk dibuat menjadi video seolah-olah gubernur tersebut menawarkan bantuan motor murah. Hasilnya, para pelaku sukses meraup keuntungan senilai 87 juta selama 3 bulan beraksi.
Inilah mengapa kita perlu untuk membiasakan pantang sharing sebelum thinking! Dalam menerima informasi, kita perlu thinking alias berpikir dahulu dan menyaringnya sebelum hendak disebarkan kepada orang lain. Kita perlu memastikan bahwa berita atau informasi yang kita terima berasal dari sumber yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga berita hoaks yang berpotensi menciptakan kekacauan dapat diminimalisir.
Selain berita hoaks, bahaya lain yang tak kalah besarnya dari era digital ini adalah fenomena polarisasi. Era digital menjelma menjadi panggung sandiwara yang dimanfaatkan beberapa pihak untuk menciptakan masyarakat yang terpolarisasi, terlebih di tahun politik. Polarisasi tercipta ketika masyarakat terbagi ke dalam kelompok-kelompok dengan perbedaan pandangan yang begitu ekstrem.
Hal ini dapat dengan mudah kita temukan di tahun politik. Di tahun politik, polarisasi bahkan sudah seperti tradisi. Mulai dari Anies-Ahok pada Pilgub Jakarta 2017, lanjut Cebong vs Kampret di tahun 2019, lalu 2024 lalu ramai antara “Anak Abah” vs “Ternak Mulyono”.
Hal-hal ini menunjukkan bahwa memang polarisasi sengaja dibuat untuk menjatuhkan pihak tertentu. Polarisasi ini bekerja dengan menciptakan suatu musuh bersama, memancing emosi seperti kemarahan atau kebencian, serta memperkuat loyalitas kelompok buta yang menolak kritik pada “kubu”nya sendiri. Akibatnya, aspek rasionalitas seringkali diabaikan yang pada akhirnya membuat keputusan politiknya didasarkan pada aspek sentimental. Dampaknya jelas jauh lebih masif daripada hoaks.
Polarisasi layaknya sel kanker yang menggerogoti tubuh masyarakat dari dalam dengan menciptakan erosi kepercayaan. Kepercayaan antarwarga negara lantas runtuh karena saling menatap sebagai musuh, lantas, terciptalah rasa kebencian hanya karena perbedaan pandangan.
Dunia digital pun seolah menjadi pelumas yang melancarkan putaran polarisasi, di mana kata-kata kasar, hinaan dan cacian, ujaran kebencian hingga meme yang tidak pantas membanjiri internet.
Hasilnya? Demokrasi pun menjadi rusak kualitasnya karena polarisasi menghambat keberagaman ide dan pandangan, padahal keberagaman adalah jantung dari sebuah demokrasi yang sehat. Ketika masyarakat terpecah dalam kubu-kubu ekstrem, maka ruang diskusi yang konstruktif dan pertukaran gagasan yang sehat jelas sangat minim.
Setiap pandangan yang berbeda dari narasi kelompok sendiri cenderung dicap sebagai musuh, diserang atau bahkan ditekan. Inilah hal sangat berbahaya dari polarisasi karena kita dibuat untuk memilih satu kelompok lantas membenci kelompok lainnya.
Hoaks dan polarisasi merupakan bahaya nyata yang perlu kita hadapi bersama. Kita tidak bisa hanya menjadi penonton pasif. Setiap dari kita memiliki peran krusial dalam menciptakan ruang digital yang lebih sehat dan masyarakat yang lebih solid. Untuk itu, marilah kita ramaikan “Pantang Sharing Sebelum Thinking!”
Marilah kita bersikap lebih kritis dalam menerima informasi dan lebih dewasa dalam menghadapi perbedaan, terlebih perbedaan pendapat. Kita bisa memulainya dari diri sendiri dahulu dengan cara:
-
Verifikasi Setiap Informasi: Jangan mudah percaya pada judul sensasional atau meme yang provokatif. Luangkan waktu untuk mencari sumber asli, bandingkan dengan berita dari media kredibel, dan cek fakta melalui platform pemeriksa fakta.
-
Berpikir Kritis, Bukan Sekadar Emosional: Saat menghadapi narasi yang memancing amarah atau kebencian terhadap kelompok lain, berhentilah sejenak. Tanyakan pada diri sendiri: "Apakah ini benar-benar fakta? Siapa yang diuntungkan dari penyebaran narasi ini? Apakah ini memecah belah atau menyatukan?"
-
Berkawan dengan Perbedaan: Sadari bahwa perbedaan pandangan politik adalah hal yang wajar dalam demokrasi. Hindari melabeli atau membenci seseorang hanya karena pilihan politiknya. Cobalah untuk memahami perspektif lain, atau setidaknya menghormatinya.
Masyarakat cerdas akan menjadi benteng terkuat kita! Ketika kita bersatu dalam semangat berpikir kritis, giat memverifikasi setiap informasi, dan menunjukkan kedewasaan dalam menerima perbedaan pendapat, hoaks dan polarisasi tak akan punya tempat.
Mari, bersama kita ciptakan lingkungan digital yang sehat, produktif, dan membangun. Akhirnya, kita akan melihat masyarakat yang lebih bijak dan solid. Tak perlu menunggu, mari kita mulai perubahan positif ini, sekarang juga, dari diri kita masing-masing!*