David Darmadi
OLEH David Darmadi (Direktur Bioskop Samotra)
Penyebutan istilah film lokal adalah sebuah upaya yang dilakukan oleh Cinemama dan Bioskop Samotra untuk melakukan pemetaan terhadap aktivitas film di Sumatera Barat. Sejak reformasi 1998, produksi film di Indonesia tidak lagi berada di ranah industri. Di berbagai daerah di Indonesia bermunculan komunitas-komunitas film yang diinisiasi oleh sekelompok anak muda. Namun, Jakarta-sentris masih terbaca sebagai “kakak tertua” yang penuh penghormatan.
Kenapa demikian? Bagaimana dengan Sumatera? Atau Sumatera Barat?
Terlalu ambisius jika saya harus mengatakan bahwa Usmar Ismail sebagai tokoh penting dalam kelahiran film Indonesia adalah milik Sumatera Barat hanya dikarenakan ia kelahiran Sumatera Barat. Pertanyaan yang saya ajukan ditujukan untuk mempertanyakan akan keberadaan film lokal di Sumatera Barat dalam sejarah film Indonesia?
Apakah ia menjadi bagian penting dalam peta sinema Indonesia di saat sekarang atau di kemudian hari nanti?
Dan bagaimana pemerintah pusat, provinsi, kota menyikapi perkembangan aktivitas produksi film di Sumatera Barat sebagai aktivitas kebudayaan?
Sejarah alternatif film Indonesia yang ditulis oleh Adrian Jonathan Pasaribu yang melakukan pencatatan aktivitas film lokal di berbagai daerah di Indonesia sebagai perspektif baru budaya sinema di Indonesia.
Dalam tulisannya, aktivitas film di Sumatera Barat yang dicatat hanyalah pelatihan produksi audiovisual di Padang Panjang oleh Forum Lenteng dari Jakarta melalui program “Akumassa” yang dibawanya.
Kegiatan tersebut dilakukan pada tahun 2009 bersama Komunitas Sarueh dan saya menjadi bagian di dalamnya. Apa yang ditulis oleh Adrian Jonathan Pasaribu terdapat sesuatu yang absen sebagai catatan sejarah alternatif film Indonesia.
Sementara hasil dari pencarian karya film yang diproduksi di Sumatera Barat yang dilakukan oleh Cinemama, pada tahun 2002 sudah dilakukan produksi film di Sumatera Barat berjudul “Musim Kematian Bunga” yang disutradarai oleh Yusril Katil. Pada tahun 2003, Jay bersama akademisi teater Institut Seni Indonesia Padang Panjang melakukan produksi film mengenai kebiasaan orang Minang yang memiliki hobi berburu babi berjudul “A Dog’s Life”.
Di tahun yang sama, Jay mengatakan, “Mursal Esten, berkeinginan untuk membuka jurusan Televisi dan Film di STSI Padang Panjang. Belum sempat mewujudkan keinginannya, Mursal Esten meninggal dunia pada Agustus 2003.”
Keinginan tersebut dilanjutkan oleh Zulkifli selaku ketua STSI Padang Panjang dan memanggil Jay yang ketika itu masih berstatus sebagai teknisi jurusan Teater bersama beberapa dosen, yaitu Adi Krishna, Edi Suisno dan Rustim Satie sebagai tim perumus. Pada 2006, jurusan Televisi dan Film resmi dibuka di STSI Padang Panjang.
Berdirinya jurusanTelevisi dan Film STSI Padang Panjang adalah cikal bakal menggeliatnya penggiat film dari Sumatera Barat. Setiap tahunnya, akan selalu bermunculan nama-nama baru rumah produksi setiap melakukan produksi film, seperti End Room Production, Relarugi Production, Insomnia Picture, Brisik Production dan Sinema Logic.
Proses produksi film yang mereka lakukan tidak hanya dikerjakan ketika mendapat tugas akademik, tapi mereka juga melakukan proses di luar akademik. Pada tahun 2007, Wendy HS, dosen teater STSI Padang Panjang membuat film berjudul “30 Februari” yang diproduksi bersama LA Lights Indie Movie.
Pada Oktober 2008, angkatan ke-2 jurusan Televisi dan Film mendirikan komunitas film bernama Sarueh, yang tidak hanya fokus pada produksi film, tapi juga pemutaran, diskusi dan workshop film. Para pendirinya diantaranya saya sendiri, Fandi Taufan, Harryaldi Kurniawan, Linda Gustina, Fadly Nasrul, Yopi dan Angga Ncet Ncet.
Di Padang, aktivitas produksi film diinisiasi oleh beberapa mahasiswa Universitas Negeri Padang dan Universitas Andalas. Beberapa nama yang muncul diantaranya adalah Devy Kurnia Alamsyah, Arif Rizki, Benny Sumarna, Andika Sahara dan Findo Bramata. Pada April 2007, Adhit Tobing, alumni UNP, mengajak Arif Rizki, Devy Kurnia Alamsyah dan Juli Hendra untuk mendirikan UKM Film dan Fotografi bernama UKFF.
Di Unand, pendirian UKM Film sudah mulai digagas oleh Azizul Mendra pada tahun 2006 dan diberinama Andalas Sinematografi. Andika Sahara dan Findo Brahmata, mahasiswa Sastra Indonesia FIB Unand mendirikan komunitas film Filtograf dan berkegiatan di luar kampus.
Komunitas Filtograf melakukan produksi film pertamanya berjudul Kincir Angin pada tahun 2013 yang disutradarai oleh Findo Brahmata. Sejauh pengamatan saya untuk penulis kritik film yang muncul tidak sebanding dengan jumlah pembuat film.
Salah satu tulisan yang saya temukan di media cetak adalah tulisan Heru Joni Putra yang merespons salah satu karya film produksi Sumatera Barat, yaitu “Salisiah Adaik” yang disutradarai Ferdinand Almi melalui tulisannya berjudul Kritik untuk Salisiah Adaik. Dan Cinemama yang saya dirikan bersama Benny Sumarna dan Ijul Zulfikar mencoba untuk fokus pada pengarsipan, pemetaan, penelitian dan distribusi.
Pada 28-29 Maret 2015, Bioskop Samotra mengadakan Maret Bulan Film untuk memperingati kelahiran film Indonesia. Proses pengkurasian yang dilakukan adalah untuk pemetaan produksi film di Sumatera Barat terhadap film-film yang berusaha untuk menyentuh publiknya, bagaimana kemunculannya dan tawaran estetik yang diberikan. Dari 120 arsip film lokal Sumatera Barat yang terdata oleh Cinemama, tim kurasi Bioskop Samotra memilih 18 film dari 18 sutradara berbeda generasi. Dan 18 film ini dianggap untuk mewakili aktivitas produksi film di Sumbar yang dimulai dari tahun 2002.
Kegiatan Maret Bulan Film dapat terlaksana berkat dukungan keluarga besar Badan Pelestarian Nilai Budaya, Padang dan Bapak Nurmatias selaku Kepala Dinas yang telah berkenan untuk memfasilitasinya. Bioskop Samotra mengucapkan rasa terimakasih yang sebesar-besarnya. Kepada 18 sutradara Sumbar berbeda generasi yang telah mempercayai filmnya untuk dipersembahkan di Maret Bulan Film. Teristemewa kepada penonton yang memberikan apresiasi yang luar biasa.
Selamat merayakan Hari Film Nasional di Maret Bulan Film.