Aspek Sosial Sampah Plastik

Rabu, 23/07/2025 11:16 WIB

OLEH Alfitri (Departemen Sosiologi FISIP Universitas Andalas)

Sampah plastik bukanlah sekadar objek material yang tidak diinginkan, ia adalah artefak sosial. Setiap bungkus saset, botol minuman, atau kantong kresek yang kita temukan di lingkungan adalah produk akhir dari serangkaian keputusan, nilai, dan hubungan sosial (MacBride, 2011). Di baliknya ada kisah tentang apa yang kita hargai, bagaimana kita hidup, bagaimana kita memandang lingkungan, siapa yang menanggung bebannya, dan siapa yang mesti bertanggung jawab.

Mencoba memahami aspek sosial ini berarti kita berhenti melihat sampah hanya sebagai masalah teknis pengelolaan semata dan mulai melihatnya sebagai cermin dari masyarakat kita. Dengan demikian, solusi yang efektif tidak hanya melibatkan insinyur dan ahli kimia, tapi juga melibatkan sosiolog dan ilmuwan sosial lainnya.

Budaya konsumtif masyarakat kontemporer adalah pendorong utama di balik ledakan sampah plastik. Masyarakat kita semakin diarahkan untuk mencari kepuasan dan identitas melalui konsumsi barang dan jasa (Baudrillard, 1998). Plastik, dengan sifatnya yang murah dan serbaguna, menjadi material yang sempurna untuk memfasilitasi model "beli, pakai, buang".

Iklan secara terus-menerus hadir menciptakan kebutuhan baru dan mempromosikan gaya hidup instan dan nyaman, di mana kemasan sekali pakai menawarkan kemudahan dan dilihat sebagai tanda kemajuan, bukan sebagai sumber masalah. Pola hidup ini, yang pada awalnya berkembang di negara-negara Barat, kini telah menyebar ke seluruh dunia, termasuk Indonesia, melalui globalisasi dan media massa.

Di sisi lain, cara media membingkai (framing) isu sampah plastik sangat memengaruhi bagaimana publik memahami masalah dan siapa yang mereka anggap bertanggung jawab. Jika media secara konsisten membingkai masalah ini sebagai kegagalan individu ("kurangnya disiplin membuang sampah"), maka fokus solusi akan cenderung pada kampanye perubahan perilaku, sambil mengabaikan tanggung jawab produsen yang merancang kemasan sekali pakai.

Sebaliknya, jika media lebih menyoroti peran industri dan kegagalan regulasi pemerintah, maka tekanan publik untuk perubahan sistemik, seperti kebijakan Extended Producer Responsibility (EPR), akan meningkat. Oleh karena itu, media bukan hanya penyampai informasi, tetapi juga aktor sosial yang aktif dalam membentuk realitas masalah sampah plastik.

Satu bungkus kopi saset dapat jadi contoh dari persimpangan semua aspek sosial ini. Dari sisi konsumsi, ia adalah simbol gaya hidup masa kini dan instan yang terjangkau. Bagi masyarakat berpenghasilan rendah, ia memberikan akses ke merek yang sebelumnya tidak terjangkau. Dari sisi peran produsen, ini adalah model bisnis yang sangat menguntungkan. Dan dari sisi media, iklan kopi saset sering kali menampilkan citra “gaul”, sukses, dan bahagia tanpa pernah menunjukkan dampak sampahnya. Menganalisis satu saset ini dapat membuka seluruh jaringan masalah sosial yang ada di baliknya.

Budaya konsumtif dan konsumerisme adalah sebuah ideologi yang menempatkan konsumsi barang dan jasa sebagai pusat kehidupan, kebahagiaan, dan identitas pribadi. Dalam masyarakat konsumtif, tindakan membeli bukan lagi sekadar untuk memenuhi kebutuhan dasar, tetapi juga untuk memperoleh status sosial, mengekspresikan diri, dan berpartisipasi dalam tren kekinian.

Plastik telah menjadi variabel utama budaya ini. Sifatnya yang murah memungkinkan produksi massal barang-barang yang terjangkau, sementara kemampuannya untuk dibentuk menjadi apa saja memungkinkan inovasi produk dan kemasan yang terus-menerus untuk menarik perhatian konsumen. Akibatnya, siklus hidup produk menjadi semakin pendek, mendorong model "beli yang baru" daripada "perbaiki atau pakai yang lama".

Gaya hidup sekali pakai adalah manifestasi paling nyata dari budaya konsumtif dalam konteks sampah plastik. Kenyamanan telah menjadi nilai yang sangat dijunjung tinggi dalam masyarakat modern yang serba cepat. Produk sekali pakai, mulai dari botol air, cangkir kopi, alat makan, hingga popok bayi, menawarkan kemudahan dengan menghilangkan kebutuhan untuk mencuci atau membawa wadah sendiri. Giddens (2015) menyebut masyarakat yang terperangkap pola hidup seperti ini sebagai throwaway society.

Industri secara aktif mempromosikan gaya hidup ini, dengan pemasaran yang menekankan pada penghematan waktu dan kehigienisan. Seiring waktu, praktik ini menjadi begitu normal sehingga dianggap sebagai bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari, dan alternatif yang dapat digunakan kembali sering kali dianggap merepotkan atau kuno.

Di Indonesia, pergeseran menuju pola hidup konsumtif ini terjadi dengan sangat cepat, didorong oleh pertumbuhan ekonomi, urbanisasi, dan penetrasi media digital. Pusat perbelanjaan, platform belanja daring, dan layanan pesan antar makanan telah menjadi bagian sentral dari gaya hidup kelas menengah perkotaan. Fenomena ini menciptakan permintaan yang sangat besar untuk kemasan plastik, mulai dari kantong belanja, bubble wrap untuk pengiriman, hingga wadah makanan dan minuman sekali pakai.

Meskipun memberikan kontribusi pada pertumbuhan ekonomi, pola hidup ini secara langsung menghasilkan volume sampah plastik yang luar biasa besar yang tidak diimbangi dengan pertumbuhan kapasitas sistem pengelolaannya, menciptakan jurang yang semakin lebar antara konsumsi dan tanggung jawab lingkungan. Karena itu, sudah saatnya setiap anggota masyarakat mengurangi konsumsi plastik sekali pakainya. Ikuti saja nasihat Aa Gym, mulai dari diri sendiri, dari yang kecil, dan dari sekarang.*



BACA JUGA