Membumikan Gerakan Ayah Teladan Indonesia

Sabtu, 19/07/2025 20:03 WIB
\

\

OLEH Lismomon Nata (Doktor Ilmu Lingkungan/Ketua Pokja Pengembangan Program Bina Ketahanan Remaja, Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga/BKKBN) 

TUGAS seorang ayah dalam persepsi sebagian besar masyarakat Indonesia sejak lama berada pada ranah publik untuk mencari nafkah keluarga, sementara ibu berada di ranah domestik, yaitu mengurus keperluan rumah tangga.

Hal tersebut antara lain disebabkan oleh pandangan bahwa laki-laki adalah sosok yang kuat dan mampu menghadapi berbagai tantangan berat di dunia luar. Pandangan ini tertanam kuat, baik secara sadar maupun tidak, dan membentuk budaya patriarki. Akibat “keadaan” tersebut, ayah diberi hak untuk lebih banyak berada di luar rumah.

Salah satu konsekuensinya adalah anggapan bahwa tidak lazim jika laki-laki mengasuh anak atau menjadi sahabat bagi anaknya saat remaja. Pengasuhan anak dianggap sebagai urusan ibu, sehingga terlupakanlah satu hal mendasar: lemahnya kehadiran emosional ayah dalam kehidupan anak.

Ibu, sebagai pihak yang lebih banyak di rumah, menjadi penanggung jawab utama urusan anak. Namun, terdapat ironi dalam masyarakat: apabila anak bermasalah, itu dianggap tanggung jawab ibu; sebaliknya, bila anak sukses, pujian diberikan kepada ayah. Hal ini sejalan dengan data KPAI dalam Kumalasari (2023) yang menunjukkan bahwa hanya 20,9 persen ayah di Indonesia yang terlibat secara langsung dalam pengasuhan anak.

Minimnya pengasuhan dan pendampingan ayah (fatherless) dapat menimbulkan dampak negatif, salah satunya adalah father hunger, yaitu kerinduan emosional yang mendalam terhadap figur ayah yang hadir, terlibat, dan penuh kasih sayang.

Wae dan Chandra (2024) menyatakan bahwa anak-anak yang mengalami hal ini rentan terhadap masalah emosi seperti depresi, gangguan kecemasan, dan rendah diri. Anak-anak yang tidak memiliki kedekatan dengan ayah juga berpotensi terlibat dalam perilaku agresif, kenakalan remaja, serta penyalahgunaan narkoba.

Temuan Nata (2016) bahkan menunjukkan bahwa anak laki-laki yang tidak mendapatkan kasih sayang dari ayah sejak kecil berpotensi memiliki orientasi seksual yang menyimpang. Sebaliknya, berbagai studi menunjukkan bahwa keterlibatan ayah, baik secara fisik maupun emosional, memiliki dampak positif yang signifikan terhadap tumbuh kembang anak, seperti kesehatan mental, kecerdasan emosional, serta keberhasilan akademik dan sosial.

Kehadiran ayah tidak hanya secara fisik (hidup di rumah yang sama), tetapi juga secara emosional—yakni hadir dalam momen-momen penting kehidupan anak—akan menciptakan fondasi kuat bagi terbentuknya pribadi yang utuh.

Namun, menjadi ayah yang “hadir” secara fisik dan emosional tidaklah mudah. Perlu adanya penyamaan persepsi: kapan seseorang dapat disebut sebagai ayah teladan. Apalagi di era modern ini yang menuntut mobilitas tinggi, jam kerja panjang, kemacetan lalu lintas, dan tekanan hidup lainnya, membuat waktu ayah di rumah semakin berkurang.

Sekali lagi, budaya patriarki yang masih kental di Indonesia menempatkan laki-laki sebagai pengambil keputusan dan pencari nafkah utama, sementara pengasuhan dianggap sebagai tugas utama ibu. Budaya ini menyebabkan banyak laki-laki tumbuh tanpa contoh konkret (role model) tentang bagaimana menjadi ayah yang terlibat secara emosional. Akibatnya, pola pengasuhan yang kaku dan berjarak sering kali diwariskan secara laten dari generasi ke generasi.

Dalam berbagai literatur dan diskusi, kondisi tersebut sering kali merupakan refleksi dari pengalaman masa lalu yang traumatik, disebut sebagai “luka masa lalu” atau “sampah masa lalu”, baik saat masih anak-anak maupun ketika sudah menjadi ayah.

Minimnya pengetahuan tentang pengasuhan berbasis kasih sayang dan komunikasi terbuka membuat sebagian besar ayah merasa canggung, bahkan takut, untuk dekat dengan anak. Hal ini disebabkan oleh kurangnya kemampuan komunikasi, seperti terbatasnya kosakata atau minimnya pengetahuan tentang cara berkomunikasi yang sesuai dengan anak.

Budaya patriarki memaknai wibawa secara sempit—tidak banyak bicara, cenderung memerintah atau melarang, atau bahkan memilih diam. Apakah ini sesuatu yang alami? Ternyata tidak.

Faktanya, ketika seorang ayah berada di tengah publik atau bersama teman-temannya, ia bisa menjadi pribadi yang banyak bicara dan aktif. Para ahli menyebut perilaku ini sebagai ekspresi naluriah laki-laki untuk menunjukkan eksistensinya di ranah publik. Maka, untuk menjaga keseimbangan peran ibu dan ayah dalam pengasuhan, lahirlah Gerakan Ayah Teladan Indonesia (GATI).

GATI merupakan salah satu Quick Win Menteri Kependudukan dan Pembangunan Keluarga/Kepala BKKBN, Wihaji. Gerakan ini bertujuan untuk mengubah stigma peran terbatas ayah dalam pengasuhan serta membuka ruang baru bagi generasi muda laki-laki untuk sadar, peduli, dan terlibat sejak usia remaja.

Di tengah kompleksitas dunia saat ini, anak-anak membutuhkan figur ayah yang tidak hanya kuat secara fisik, tetapi juga mampu melindungi secara emosional untuk membentuk generasi yang mandiri, bertanggung jawab, optimis, dan berdaya saing.

Menurut Menteri Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, saat ini ada “saudara baru” di dalam keluarga: gawai. Anak-anak cenderung lebih banyak berinteraksi dengan gawai dibandingkan dengan orang tua, yang tentu memengaruhi sikap dan perilaku mereka. Salah satu praktik GATI yang konkret adalah program "Hari Pertama Sekolah Bersama Ayah", yang mendorong ayah mengantar anak ke sekolah. Program ini dilaksanakan pada 14 Juli 2025 sebagai hari pertama masuk sekolah tahun ajaran baru.

Diharapkan, kegiatan ini dapat menumbuhkan rasa percaya diri, penghargaan diri, dan rasa aman dalam diri anak. Program ini juga diperkuat dengan Surat Edaran Menteri Kependudukan dan Pembangunan Keluarga/Kepala BKKBN Nomor 7 Tahun 2025 dan didukung oleh Surat Edaran Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Nomor 10 Tahun 2025 tentang lingkungan satuan pendidikan ramah anak.

Berbagai pendekatan pengasuhan yang dapat dilakukan oleh ayah, antara lain:

  • Pendekatan emosional: melalui pelukan, kata-kata afirmatif, dan waktu berkualitas bersama anak.
  • Pendekatan komunikasi terbuka: membangun ruang diskusi yang sehat, terutama saat anak memasuki usia remaja.
  • Pendekatan keteladanan: menjadi contoh dalam hal kedisiplinan, kejujuran, dan tanggung jawab.

Menjadi ayah teladan tidak berarti menjadi ayah yang sempurna, tetapi menjadi sosok yang hadir bagi anaknya. Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga/BKKBN menerapkan GATI melalui empat program utama:

  1. Layanan Konseling “Siap Nikah” dan “Satyagatra”
    Layanan ini menyediakan edukasi dan konsultasi bagi laki-laki terkait peran ayah dan suami. Satyagatra merupakan konseling keluarga terbuka untuk laki-laki yang menjalani peran pengasuhan.
  2. Konsorsium Komunitas Pegiat Ayah Teladan (Kompak Tenan)
    Komunitas-komunitas yang sudah ada disatukan dalam konsorsium untuk saling belajar dan memperjuangkan keterlibatan ayah dalam rumah tangga dan pengasuhan anak.
  3. Ayah Teladan di Tingkat Desa/Kelurahan
    Program ini penting untuk menjangkau keluarga-keluarga di pedesaan yang memiliki keterbatasan akses informasi. Figur ayah lokal ini diharapkan menjadi contoh nyata dan agen edukasi di komunitasnya.
  4. Sekolah Bersama Ayah (Sebaya)
    Diterapkan di Pusat Informasi Konseling Remaja (PIK-R) dan Sekolah Siaga Kependudukan (SSK), program ini membekali calon ayah dengan wawasan pengasuhan sejak remaja.

Dengan membumikan GATI secara masif dan konsisten, akan tercipta ekosistem keluarga yang saling mendukung—baik antaranggota keluarga maupun antarkeluarga di komunitas. Keluarga yang kuat melahirkan anak-anak yang sehat secara fisik dan mental, berdaya saing tinggi, dan siap menghadapi tantangan global.

Keharmonisan keluarga tidak hanya dibangun oleh cinta ibu, tetapi juga oleh keteladanan ayah. Anak-anak yang melihat ayahnya menghormati ibu, menyayangi anak, dan hadir dalam momen penting kehidupannya akan tumbuh menjadi pribadi yang sehat, empatik, dan bertanggung jawab. Hal ini menjadi modal penting dalam meraih bonus demografi.

Setidaknya, ada keinginan untuk memutus mata rantai luka masa lalu yang menyebabkan kekosongan hubungan batin antara ayah dan anak. Ada keinginan untuk berdamai dengan diri sendiri saat menjalani peran sosial sebagai ayah.

Setiap kita adalah ayah teladan bagi anak-anak kita, bukan karena sempurna, tetapi karena berusaha menjadi lebih baik dari waktu ke waktu, dan selalu ada untuk anak, istri, keluarga, bangsa, dan negara.

Allahu a’lam.*



BACA JUGA