Mengapa Perlu Ayah: Sebuah Refleksi Gerakan Ayah Teladan Indonesia

Jum'at, 01/08/2025 07:10 WIB
-

-

OLEH Lismomon Nata (Doktor Ilmu Lingkungan/Ketua Pokja Pengembangan Program Bina Ketahanan Remaja Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga/BKKBN)

“Anak-anak punya lubang berbentuk sosok ayah di jiwa mereka. Jika sang ayah tidak mau atau tidak mampu mengisinya, maka lubang itu menjadi sebuah luka yang sulit disembuhkan.” (Roland Warren)

FENOMENA fatherless atau ketidakhadiran ayah secara fisik ataupun figur ayah dalam kehidupan anak merupakan krisis global yang telah menjadi perhatian serius di negara-negara maju sejak tahun 1970-an.

Di Amerika Serikat dan Eropa, berbagai studi menunjukkan dampak buruk dari tidak hadirnya ayah secara fisik maupun emosional dalam kehidupan anak-anak. Kini, isu tersebut menjadi semakin relevan di Indonesia seiring meningkatnya angka perceraian, migrasi kerja, serta pola pengasuhan yang tidak seimbang antara ayah dan ibu.

Menurut data The Fatherhood Institute (2021) dan National Fatherhood Initiative (USA), anak-anak yang tumbuh tanpa kehadiran ayah lebih rentan mengalami gangguan perilaku, depresi, rendah diri, dan kegagalan akademik.

Di Indonesia, meskipun belum ada data nasional yang secara spesifik memetakan fatherless secara sistematis, berbagai survei dan kajian lokal menunjukkan gejala serupa, termasuk dalam studi Lingkar Ayah Indonesia (2023).

Krisis ini bukan hanya menyangkut relasi mikro antara orang tua dan anak, tapi juga mencerminkan persoalan sosial dan kemanusiaan yang lebih besar. Ketika generasi muda tumbuh tanpa kehangatan, validasi, dan teladan dari figur ayah, maka fondasi keluarga dan masyarakat ikut melemah.

Mengapa Kehadiran dan Figur Ayah Penting?

Kecenderungan dalam pandangan umum selama ini memosisikan ayah hanya sebagai pencari nafkah atau figur otoritas yang kaku dalam keluarga. Dalam upaya memenuhi kebutuhan keluarga, sejak dahulu ayah sebagai laki-laki cenderung berada di ranah publik—dulu berburu dan meramu, kini bekerja di luar rumah dengan mobilitas tinggi. Semakin tinggi mobilitasnya, maka ia dianggap semakin sukses dan penting.

Namun, pada sisi lain, kehadiran ayah secara fisik, emosional, dan spiritual merupakan salah satu penentu utama kualitas perkembangan anak. Dalam psikologi perkembangan, ayah memegang peran yang berbeda tetapi saling melengkapi dengan ibu dalam pengasuhan.

Menurut Michael E. Lamb dalam bukunya The Role of the Father in Child Development (2010), kehadiran ayah memberikan dampak langsung terhadap kemampuan anak mengelola emosi, berinteraksi sosial, dan menghadapi tantangan kehidupan. Ayah memberi pengalaman khas dalam bermain, mendisiplinkan anak secara adil, dan memberi teladan perilaku sosial yang baik.

Sementara itu, John Gottman menambahkan bahwa ayah yang menjadi emotional coach atau pelatih emosional mampu mengajarkan anak untuk mengenali, menerima, dan mengekspresikan perasaan dengan sehat. Ayah juga berperan penting dalam membentuk konsep maskulinitas positif pada anak laki-laki dan memberi rasa aman bagi anak perempuan. Artinya, seorang ayahlah yang mengajarkan anak laki-laki untuk menjadi laki-laki dan anak perempuan untuk memahami dirinya sebagai perempuan.

Lima Fungsi Sentral Ayah dalam Keluarga dan Masyarakat

Untuk memahami secara lebih konkret, berikut lima fungsi utama ayah yang mendasar namun sering kali terabaikan dalam keluarga:

  1. Ayah sebagai Pengajar dan Pendidik

Seperti halnya ibu, ayah adalah pendidik yang memperkenalkan nilai-nilai moral, kedisiplinan, tanggung jawab, dan etika sosial kepada anak sejak dini. Pendidikan tidak hanya berarti mengajari membaca dan menulis, tetapi juga menjadi teladan dalam kehidupan sehari-hari.

Menurut Asep Sapa’at, pakar parenting Islami, pendidikan karakter paling efektif adalah melalui keteladanan. Ayah yang bertanggung jawab, menjaga integritas, dan bersikap adil menjadi sumber pembelajaran moral yang tak ternilai.

Dalam dunia modern, pendidikan anak cenderung diserahkan sepenuhnya kepada sekolah atau lembaga pendidikan nonformal. Hal ini terjadi karena orang tua, termasuk ayah, tidak memiliki cukup waktu untuk mendidik anak secara langsung. Akibatnya, anak lebih banyak menghabiskan waktu di luar rumah daripada bersama orang tua.

Konsekuensinya, komunikasi antara anak dan orang tua—terutama ayah—menjadi sangat terbatas. Bayangkan jika anak hanya belajar dari dunia luar rumahnya, terlebih di era informasi yang deras seperti saat ini. Teknologi bagaikan air bah yang membawa berbagai macam "sampah" yang memengaruhi cara berpikir dan bertindak anak.

  1. Ayah sebagai Pelindung

Perlindungan ayah bukan hanya secara fisik dan ekonomi (menyediakan rumah dan fasilitas), melainkan juga secara psikologis: menciptakan rumah yang bebas dari ketakutan, kekerasan, dan tekanan emosional.

Menurut UNICEF (2020), anak-anak yang menyaksikan atau mengalami kekerasan dalam rumah tangga berisiko tinggi mengalami trauma, gangguan mental, serta pola perilaku agresif. Ayah yang mampu menjadi pelindung emosional, membatasi penggunaan kata-kata kasar, dan menciptakan komunikasi penuh empati, adalah kunci menciptakan rumah yang sehat secara mental.

  1. Ayah sebagai Sahabat dan Teman Diskusi

Dalam era digital yang penuh tekanan sosial, anak-anak memerlukan teman bicara yang bisa dipercaya. Ayah yang mampu menjadi sahabat akan membuka ruang komunikasi yang sehat dan membangun kepercayaan antargenerasi.

Gary Chapman dalam bukunya The 5 Love Languages of Children menyebutkan bahwa kehadiran ayah yang aktif dalam mendengarkan, mendampingi, dan bermain bersama akan memperkuat rasa dicintai dan dihargai oleh anak.

Sebaliknya, anak-anak yang tidak memiliki figur teman diskusi atau sahabat, cenderung lebih rentan terhadap depresi. Mereka menjadi "generasi rebahan" yang mudah goyah, dan bahkan melihat bunuh diri sebagai jalan keluar dari masalah yang sebetulnya sederhana.

  1. Ayah sebagai Partner Istri dalam Rumah Tangga

Konsep pernikahan modern memandang ayah dan ibu sebagai tim kerja sama dalam mengelola keluarga. Ayah yang ikut terlibat dalam pekerjaan rumah, menemani anak belajar, dan berdiskusi dengan istri menunjukkan model relasi yang sehat dan egaliter.

Studi McGill University (2018) menunjukkan bahwa keterlibatan ayah dalam urusan domestik berkontribusi besar terhadap kesehatan mental ibu dan kestabilan emosi anak.

Sementara itu, perempuan kerap menghadapi triple burden—beban reproduktif, produktif, dan sosial. Mereka melahirkan, menyusui, mengasuh anak, bekerja di ranah publik, sekaligus aktif dalam kegiatan sosial.

Menariknya, seperti burung flamingo yang bulunya kehilangan warna pink saat menyusui anak dengan crop milk dari tubuhnya, ibu pun sering “kehilangan warna” dirinya demi anak. Sayangnya, banyak suami yang tidak menyadari pengorbanan ini. Dukungan ayah dalam rumah tangga menjadi bentuk penghargaan dan cinta yang nyata.

  1. Ayah sebagai Figur Sosial di Masyarakat

Ayah merupakan representasi keluarga di tengah masyarakat. Ia memberi teladan sebagai warga negara yang baik, aktif dalam kegiatan sosial, serta peduli terhadap masalah bersama.

Pemerintah Indonesia melalui BKKBN telah memberi perhatian serius untuk mewujudkan keluarga berkualitas, salah satunya dengan Gerakan Ayah Teladan Indonesia (GATI), sebagai bagian dari program Quick Win Menteri Wihaji. Gerakan ini ditegaskan lewat Keputusan Menteri Kependudukan dan Pembangunan Keluarga/BKKBN Nomor: 119/KEP/F2/2025.

Tujuan GATI adalah mendorong keterlibatan ayah dalam pengasuhan dan penguatan ketahanan keluarga, sekaligus menjadikan ayah sebagai agen perubahan sosial. Ini merupakan langkah besar menuju peran ayah yang lebih setara dan konstruktif.

Membangun budaya baru tentu tidak semudah membalik telapak tangan. Langkah awalnya adalah mengubah paradigma tentang peran ayah. Budaya patriarki, ketimpangan gender, dan tekanan ekonomi sering membuat ayah hanya fokus pada peran ekonomi.

Banyak ayah tidak dibekali sejak kecil dengan keterampilan mengekspresikan emosi, berkomunikasi hangat, atau terlibat dalam pengasuhan. Gerakan ini bukan untuk menyalahkan, melainkan untuk membuka mata dan hati. Pada dasarnya, ayah sangat peduli kepada anak dan istri, hanya saja mereka tidak tahu caranya. Oleh karena itu, edukasi, pelatihan, dan dukungan sosial perlu digencarkan.

Mengapa perlu ayah? Karena ia adalah pilar dan pondasi masa depan dalam pembangunan keluarga dan peradaban. Ayah yang hadir, mendampingi, dan menjadi teladan akan membentuk anak yang percaya diri, bermoral, dan siap menghadapi dunia. Kehadiran ayah adalah hak anak.

Saat ayah menjalankan perannya dengan cinta, keluarga menjadi kuat, masyarakat menjadi kokoh, dan bangsa menjadi tangguh. Saatnya kita bersama-sama membangun budaya baru: keayahan yang hangat, terlibat, dan penuh kasih. Membangun bangsa dimulai dari rumah. Dan di rumah, ayah harus hadir—secara fisik secara proporsional, dan secara psikologis secara optimal demi Indonesia yang maju.*



BACA JUGA