
Oleh ALFITRI (Departemen Sosiologi Universitas Andalas)
BERMULA sejak pandemi COVID-19, beberapa tahun terakhir, wajah kelas menengah urban di Indonesia mengalami perubahan. Mall atau pusat perbelanjaan yang dulu bergairah dan dinamis oleh kehadiran mereka yang gemar menghabiskan waktu dan berbelanja ini, melesu dan melambat.
Tambah lagi di tengah tekanan ekonomi dan menurunnya daya beli, pola konsumsi pun ikut berubah. Seperti yang dilaporkan Kompas.id (12/09/2024) daya beli masyarakat lemah, kunjungan ke mall di bawah target.
Lalu, muncullah fenomena rojali dan rohana. Istilah yang tampaknya lucu-lucuan ini mencerminkan realita baru dalam gaya hidup masyarakat urban. Rojali, singkatan dari “rombongan jarang beli”, merujuk pada orang-orang yang datang ke mall sekadar cuci mata, menikmati suasana, dan mungkin jajan kecil, tapi tidak membeli barang-barang mahal.
Sedangkan rohana, atau “rombongan hanya nanya”, adalah mereka yang datang ke toko, bertanya atau lihat-lihat harga barang, mencoba-coba, tapi akhirnya tidak membeli. Kendati di akhir pekan, kunjungan ke mall meningkat, tapi tidak berkorelasi dengan jumlah transaksi (idntimes.com, 23/072025).
Turunnya daya beli menjadi penyebab utama. Perekonomian yang ditandai oleh kenaikan harga kebutuhan pokok, cicilan rumah dan kendaraan, serta tekanan inflasi membuat kelas menengah menjadi lebih hati-hati dan selektif dalam membelanjakan uangnya.
Sebagian kelas menengah-bawah (lower-middle class) menahan belanja yang tidak penting. Belanja barang tersier seperti pakaian bermerek, sepatu branded, atau tas premium kini bukan lagi prioritas. Tapi kalau pun belanja, mereka beralih belanja barang via online yang harganya lebih murah atau terjangkau.
Di sisi lain, masyarakat kelas menengah-atas (upper-middle class) masih memiliki aspirasi gaya hidup tinggi. Sebagian mereka tetap ingin tampil modis dan bergaya. Caranya yang kini berubah. Mereka tidak lagi ke mall, tapi mencari alternatif yang lebih terjangkau namun tetap bergengsi.
Di sinilah premium outlet mulai mendapatkan tempat di hati konsumen. Peluang ini dibidik oleh Jakarta Premium Outlets (JPO) yang menghadirkan lebih dari 150 brand global dan nasional yang terkenal dengan tawaran diskon besar setiap hari. JPO yang berlokasi di Alam Sutera, Tangerang ini tidak saja menarik bagi kelas menengah Jakarta dan sekitarnya, namun juga bagi wisatawan nusantara dan mancanegara.
Kehadiran JPO sejak Maret 2025 yang lalu itu, menyusul Genting Highlands Premium Outlets (GPO) dan Johor Premium Outlets (JPO) di Malaysia yang sejak beberapa tahun yang lalu sudah eksis dan menjadi destinasi belanja yang digemari –termasuk oleh kelas menengah Indonesia . Dengan konsep open-air dan penawaran diskon hingga 70%, tempat ini menawarkan pengalaman belanja produk bermerek dengan harga miring. Banyak warga Indonesia yang rela menyeberang ke Malaysia hanya untuk berbelanja di sana, terutama saat musim libur atau diskon besar.
Konsep premium outlet memang menarik. Produk asli dari merek-merek internasional dan nasional yang terkenal dijual dengan potongan harga setiap hari. Kendati barang yang dijual seringkali merupakan koleksi musim lalu, namun bagi konsumen kelas menengah hal ini bukan masalah. Yang penting tetap bisa bergaya dengan barang atau produk original tanpa harus merogoh kocek dalam-dalam.
Fenomena ini mengindikasikan adanya pergeseran pola konsumsi kelas menengah dari full-price retail ke discount-driven retail. Di mall, diskon hanya ada pada waktu-waktu tertentu. Sementara konsumen sekarang lebih rasional dan sensitif terhadap harga. Karena itu, banyak yang merencanakan liburan ke negara tetangga, bukan hanya untuk rekreasi, tapi juga untuk "berburu diskon". Dan premium outlet menjadi alasan tambahan untuk berwisata sambil belanja.
Fenomena rojali dan rohana memberi sinyal bahwa kelas menengah Indonesia tidak sepenuhnya berhenti konsumtif. Mereka hanya bertransformasi menjadi lebih cermat. Mereka tetap ingin berbelanja sambil menikmati pengalaman jalan-jalan. Namun dengan strategi dan perhitungan yang lebih matang. Pengalaman menjadi lebih penting ketimbang sekadar kepemilikan barang.
Pada akhirnya, fenomena rojali dan rohana bukanlah sekadar lucu-lucuan sosial. Ia menyimpan makna adanya perubahan gaya hidup kelas menengah; suatu proses adaptasi dengan tantangan ekonomi. Dan di tengah tantangan itu ada yang tidak tergoda untuk belanja, dan ada pula yang mengubah cara belanja.
Di tengah itu pula, muncul premium outlet sebagai salah satu alternatif; menawarkan untuk tetap modis dan gaya dengan harga bersahabat: Sebuah kompromi yang tampaknya relevan bagi sebagian kalangan.*