
Museum Kereta Api di Sawahlunto (thearoengbinangproject.com)
Sawahlunto, sumbarsatucom-- Kota Wisata Tambang Yang Berbudaya merupakan motto yang pernah disampaikan Walikota Sawahlunto ketika itu, Ir Amran Nur. Kota yang berjarak lebih kurang 95 Km dari Ibukota Sumatera Barat ini terhamparmegah dengan bangunan-bangunan tua yang menghiasi sudut-sudut kotanya.
Bukit-bukit dan aliran Batang (sungai) Ombilin juga menambah indahnya suasana kota yang dahulunya merupakan sebuah kota tambang di bawah pemerintahan Hindia-Belanda pada tahun 1800-an. Saat ini, Kota Sawahlunto tengah berbenah diri dengan melakukan pengembangan dalam sektor pariwisata demi menghidupkan kembali kota sejarah yang merupakan harta karun terpendam.
“Pada tahun 2004 pemerintah mulai melakukan pendataan situs bersejarah yang ada di Kota Sawahlunto dan melakukan pengembangan terhadap beberapa tempat seperti Museum Ransum, Museum Kereta Api, dan Rumah Walikota Sawahlunto saat ini,
Kota Tua Sebagai Saksi Sejarah
Kota Sawahlunto yang memiliki luas 27.347,7ha dan berbatas dengan Kabupaten Tanah Datar, Kabupaten Solok, dan Kabupaten Sijunjung ini tengah melakukan pengembangan dalam bidang pariwisata. Hal ini disebabkan karena dahulunya kota Sawahlunto adalah sebuah daerah penghasil tambang batubara terbesar dan memiliki kualitas batubara terbaik dengan kandungan kalori 7000 lebih.
Batubara yang menjadi ikon bagi Kota Sawahlunto ini pertama kali ditemukan pada tahun 1868 oleh seorang Ahli Geologi berkebangsaan Belanda di Sungai Ombilin yang terdiri dari lima hulu sungai yaitu Sungai Ombilin, Sungai Malakutan, Sungai Lunto, Sungai Lasi, dan Sungai Sumpahan. Hingga pada akhirnya, batubara tersebut diambil alih oleh Kolonial Belanda yang kemudian melakukan penambangan lebih lanjut pada tahun 1972.
Hamparan Sungai Ombilin yang mengalir disepanjang kota tua ini juga menambah indahnya kota yang menjadi pusat tambang pada masa pemerintahan Hindia-Belanda dahulunya. Salah satu bangunan yang menyaksikan kekejaman kolonial Belanda ini adalah Museum Kereta Api yang dibangun pada tahun 1918 mengeksploitasi “si mutiara hitam” dari perut bumi Sawahlunto.
Selain itu, tempat bersejarah yang menjadi saksi bisu lainnya yaitu Lubang Tambang Tambang Mbah Soero. Lubang tambang yang dibangun pada tahun 1898 ini adalah saksi lainnya terhadap peradaban masa lalu yang terjadi di Sawahlunto. Salah seorang petugas di Galeri Info Box menjelaskan bahwa di sini merupakan tempat orang rantai atau buruh paksa, buruh kontrak, dan penduduk setempat yang dipekerjakan oleh Belanda melakukan pertambangan.
“Terowongan ini ditutup oleh Belanda pada tahun 1932 dan pada 26 Juni 2007, barulah Pemerintah Kota Sawahlunto membukanya kembali. Namun, terowongan ini baru diresmikan pada 23 April 2008 sehingga bisa dijadikan objek wisata penting di Sawahlunto,” jelas Wilson saat membawa peserta PJTL memasuki Lubang Tambang Mbah soero.(SSC)