-
Jakarta, sumbarsatu.com — Yayasan Bali Purnati kembali mempersembahkan Panggung Maestro IX, pergelaran seni pertunjukan tradisi Nusantara yang menjadi ruang penghormatan bagi para maestro seni Indonesia. Acara ini digelar pada Selasa–Rabu, 28–29 Oktober 2025, di Area Sunken, Museum Nasional Indonesia, Jakarta Pusat.
Program ini terselenggara atas kerja sama dengan Direktorat Film, Musik, dan Seni di bawah Direktorat Jenderal Pengembangan, Pemanfaatan, dan Pembinaan Kebudayaan, Kementerian Kebudayaan Republik Indonesia.
Apresiasi bagi Para Empu Seni Tradisi
Panggung Maestro merupakan bentuk penghargaan kepada para empu yang sepanjang hidupnya mendedikasikan diri menjaga warisan budaya bangsa. Sebagian besar dari mereka telah berkarya lebih dari setengah abad, menggubah karya, menurunkan ilmu, serta menanamkan nilai-nilai tradisi kepada generasi penerus.
“Para maestro bukan hanya menari atau menabuh, mereka telah mencapai kasunyatan—kebenaran yang hidup dalam tubuh seni mereka,” ungkap Sulistyo Tirtokusumo, anggota dewan artistik.
Menurut Restu Imansari Kusumaningrum, pendiri Yayasan Bali Purnati, program ini menjadi wujud nyata penghargaan terhadap energi budaya yang diwariskan dari generasi ke generasi.
“Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai warisan budayanya. Panggung Maestro adalah bentuk nyata dari upaya itu,” ujarnya.
Melalui pergelaran ini, Yayasan Bali Purnati berharap dapat menumbuhkan apresiasi publik, memperkuat kepedulian, dan memantik kreativitas dalam pelestarian serta pengembangan seni-budaya Indonesia.
Dari Bali ke Minangkabau: Menemukan Keseimbangan
Edisi kesembilan ini menghadirkan kolaborasi dua pusat kebudayaan besar Nusantara: Bali dan Sumatra Barat. Dari Bali, tampil para maestro Gambuh Batuan seperti I Made Djimat (83 tahun), I Wayan Bawa (60 tahun), dan Ni Wayan Sekariani (61 tahun).
Dari Minangkabau, hadir Asmar (82 tahun) dengan Gondang Baroguang, Asnimar (68 tahun) dengan Tari Piriang Suluah dan Piriang Solok, Ernawati/Tek E (66 tahun) dengan Dendang, M. Halim/Mak Lenggang (63 tahun) dengan Saluang, dan Masri (71 tahun) dengan Tari Buai-buai.
Kehadiran mereka menampilkan kekayaan tubuh dan bunyi Nusantara yang berbeda namun seirama dalam semangat spiritualitas dan keseimbangan alam. “Energi para maestro adalah sukma budaya yang tak akan mati selama raga tradisi dijaga,” tutur Endo Suanda, anggota dewan artistik lainnya.
Panggung Wacana: Dialog Tubuh, Bunyi, dan Spiritualitas
Selain pementasan, acara ini juga menghadirkan forum budaya “Menemukan Keseimbangan: Tubuh, Bunyi, dan Spiritualitas dalam Kesenian Nusantara” yang mempertemukan para maestro, seniman, dan akademisi dari dua daerah.
Para pembicara dari Bali adalah I Wayan Bawa, Ni Wayan Sekariani, dan I Wayan Naka, sedangkan dari Sumatra Barat hadir Asnimar, M. Halim, Hendri Yusuf, dan Venny Rosalina. Diskusi ini dimoderatori oleh Daniel Hariman Jacob.
Forum tersebut menggali nilai-nilai spiritual dan sosial dalam kesenian tradisi. Jika kesenian Minangkabau menampilkan denyut sosial dan harmoni komunal melalui Saluang Dendang, Tari Piriang, dan Buai-buai, maka Gambuh Bali menyuguhkan kedalaman spiritual dan keteraturan kosmos. Keduanya berpadu dalam semangat yang sama: keseimbangan antara manusia, alam, dan jiwa.
Warisan yang Hidup
Kekayaan seni tradisi Nusantara bukan sekadar peninggalan masa lalu, melainkan aset hidup yang memperkuat kearifan sosial dan martabat bangsa. “Setiap karya maestro menyimpan pengetahuan tak tertulis—tentang cara hidup, tata rasa, dan kesadaran spiritual. Nilai ini harus terus dihidupkan,” ujar Heri Lentho, dewan artistik.
Panggung Maestro, yang pertama kali digelar pada Juli 2023, telah menampilkan 58 maestro dengan melibatkan 497 pendukung pertunjukan, menjangkau lebih dari 4.000 penonton langsung dan 25 juta tayangan digital.
Program ini juga mendapat dukungan dari Menteri Kebudayaan Fadli Zon, Dirjen Ahmad Mahendra, dan Direktur Syaifullah, bersama para dewan artistik yang memandu arah konseptual acara.
Yayasan Bali Purnati: Rumah Seni dengan Hati Murni
Didirikan pada 1999 di Desa Batuan, Gianyar, Yayasan Bali Purnati merupakan lembaga nirlaba internasional yang fokus pada pelestarian, promosi, dan pengembangan arah baru dalam seni pertunjukan, visual, dan desain. Memiliki amfiteater, paviliun pameran, serta hunian seniman, Bali Purnati menjadi rumah penciptaan bagi seniman dari dalam dan luar negeri.
Kata Purnati sendiri berarti “keseluruhan” atau “hati murni”—sebuah refleksi dari filosofi kerja yayasan ini.
Melalui Panggung Maestro IX, Yayasan Bali Purnati tidak hanya menampilkan pertunjukan, tetapi juga menegaskan makna lebih dalam: bahwa tradisi bukanlah benda mati, melainkan roh yang terus menuntun manusia untuk menemukan keseimbangan antara tubuh, bunyi, dan spiritualitas.
Sebagaimana dikatakan Restu Imansari Kusumaningrum, “Panggung Maestro adalah jembatan antara masa lalu dan masa kini—antara tradisi yang hidup dan kreativitas yang tumbuh.”ssc.rel