
OLEH Sirajul Fuad Zis, M.I.Kom (Mahasiswa Program Doktor Studi Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Andalas)
PESTA sakral festival budaya kemarin sudah usai, namun perjalanan kami belum selesai. Sebagai bentuk pendampingan, kami berusaha datang sebelum kegiatan ulang tahun dimulai secara resmi hingga usai.
Kami harus kembali menuju Desa Wisata Muntei untuk menginap satu malam. Desa Wisata Muntei ini dekat dengan Pelabuhan Maileppet, sekitar kurang lebih sepuluh menit perjalanan.
Sebagai delegasi dan tim yang solid, tanggung jawab kedatangan kami ke Desa Wisata Matotonan adalah untuk merasakan pelayanan, keramahtamahan, tanggung jawab pemandu wisata, serta kecakapan Pokdarwis memberikan perhatian. Hal ini perlu kami bahas bersama. Kami menyampaikan masukan dan saran berdasarkan pengalaman selama perjalanan dari Ugai.
Pagi itu sejuk, suasana segar. Kami, tim pendamping, sejak pukul tujuh pagi hingga pukul sembilan membuka ruang diskusi bersama Pokdarwis. Tujuannya agar Pokdarwis lebih tertata rapi dalam mempromosikan destinasi budaya.
Kami membuka diskusi, melihat permasalahan pengelolaan, dan mendengarkan kata demi kata dengan teliti. Diskusi dipandu oleh mahasiswa kami, Sirajul Fuad Zis, M.I.Kom, yang memahami isu pariwisata, komunikasi pembangunan berkelanjutan, dan pengelolaan kelompok sadar wisata dalam pengembangan destinasi.
Ibarat sikerei yang mempersembahkan babi kepada roh-roh leluhur, kami juga berupaya menghadirkan “roh kehidupan” bagi pengelolaan dan program Pokdarwis ke depannya. Rutinitas perjalanan Pokdarwis tidak hanya seperti yang kami rasakan saat ada event tahunan, tetapi lebih pada pemahaman tugas-tugas pemandu wisata dalam kepariwisataan, termasuk memberikan pengetahuan lokal kepada turis. Pemandu wisata dapat membimbing dan menjelaskan atraksi serta hal-hal yang ingin diketahui wisatawan.
Komunikasi dilakukan dua arah. Kami menggunakan model komunikasi konvergen, yaitu membangun kesepahaman bersama terkait ide dan gagasan besar yang kami tawarkan dalam pengembangan wisata budaya Matotonan. Bagai matahari yang sedang bersinar, kami mencoba memberikan perumpamaan sederhana, menggunakan bahasa lokal yang mudah dimengerti.
Kepala Desa Matotonan, Ali Umran, pernah menyampaikan kepada kami bahwa atraksi yang ditawarkan adalah alamnya, budaya suku Mentawai, dan penelitian. Ada tiga alasan mengapa calon wisatawan harus datang ke pedalaman Matotonan. Pesan yang pernah disampaikan kepala desa kami ulangi kepada Pokdarwis, sambil menunjukkan formula teknis agar menarik minat calon wisatawan dan memberi kesan positif.
Pada prinsipnya, pendampingan utuh kami berikan kepada Pokdarwis. Pesan disampaikan berulang-ulang, meninggalkan memori positif agar mereka tetap semangat. Setiap kelemahan yang kami temui, kami coba terima dan arahkan agar Pokdarwis berkembang lebih baik ke depannya.
Meskipun kami berada di Matotonan, suasananya tidak terasa seperti di pedalaman desa lain yang menggunakan bahasa Mentawai yang sulit dimengerti.
Berbeda dengan Matotonan, meskipun memiliki bahasa ibu Mentawai, masyarakat di sini juga fasih berbahasa Minang. Bahasa Minang digunakan sehari-hari selain bahasa Mentawai. Kami bertanya kepada Pokdarwis:
“Bajak (Bapak), kenapa di sini orang sangat lancar berbahasa Minang?” tanya kami.
“Kami di sini banyak yang sekolah di panti atau pesantren di Pesisir Selatan, Pariaman, dan Kota Padang,” jawab mereka bergantian.
Diskusi berakhir karena sudah waktunya kami pulang pukul sembilan pagi. Sesuai kesepakatan sebelumnya, kami memberi tugas penting kepada Pokdarwis: bagaimana wisata ini dikelola sebaik mungkin, memanfaatkan sumber daya manusia dan alam agar dilirik oleh industri media televisi, selebgram, dan orang-orang yang memiliki minat khusus.
Posisi Pokdarwis di desa memerlukan kekuatan kebijakan yang jelas. Kami menyarankan, saat diskusi bersama Sekretaris Badan Permusyawaratan Desa, Ketua Pokdarwis, anggota Pokdarwis, dan masyarakat, agar merencanakan arah kebijakan dan segera membuat aturan pengelolaan ekowisata di Desa Matotonan untuk disahkan secara resmi.
Kami membangun komunikasi setara dalam diskusi, tanpa bahasa menggurui. Sebagai bentuk pengabdian, kami hadir untuk pengembangan wisata di Matotonan. Kami bersiap mengemas barang menuju lokasi stand mabek-bek yang sudah dipesan untuk sarapan pagi.
Setelah sarapan, kami diajak menuju kantor Pokdarwis untuk berfoto bersama, lalu diantarkan oleh ketua dan sebagian anggota Pokdarwis menuju dermaga. Barang bawaan kami dibawa oleh nakhoda pong-pong bernama Parlin.
Perlahan satu per satu kami menaiki pong-pong, mencoba menyeimbangkan diri agar tidak terbalik. Parlin menghidupkan mesin, pong-pong bergerak menjauh dari hulu menuju Dusun Ugai. Dengan hati lega kami pulang, lambaian tangan Pokdarwis menandakan perpisahan.
Perjalanan dengan pong-pong selama kurang lebih satu setengah jam kami nikmati sambil mengabadikan momen dan mengamati potensi pertanian seperti batang sagu, pohon kelapa, pinang, pisang, dan lainnya. Di Dusun Buttui kami melihat uma yang masih bagus di tepian sungai sebelum sampai di Ugai.
Karena kami mengambil paket wisata yang ditawarkan Pokdarwis Puiringan dari Dusun Ugai, Desa Madobag, menuju Desa Matotonan menggunakan transportasi pong-pong, tentu kami melalui kembali rute yang sama.
Pokdarwis Puiringan hanya bertanggung jawab sampai Desa Ugai. Dari Ugai, kami melanjutkan perjalanan menggunakan mobil selama kurang lebih 2–3 jam karena akses jalan berlubang dalam dan sulit dilalui. Semua rasa, pengalaman, dan penilaian terhadap Pokdarwis serta pengelolaan ke depannya kami tuangkan dalam saran agar pelayanan lebih baik dan pengaturan trip lebih rapi, sehingga menguntungkan bagi ekonomi masyarakat.
Informasi bagi calon wisatawan: transportasi dari Pelabuhan Maileppet ke Ugai tidak tersedia seperti di kota. Biasanya harus menyewa (charter) atau ikut rombongan dengan membayar biaya perjalanan jika mobil tersebut menuju Dusun Ugai. Intinya, transportasi masih sulit, dan biaya ojek relatif mahal dibandingkan harga di kota, mencapai Rp100.000–Rp150.000 untuk perjalanan dua jam.
Setelah melewati perjalanan dari Dusun Ugai, kami menuju penginapan Samemek milik Bapak Valentinus. Kami dipersilakan masuk dan beristirahat dari perjalanan panjang. Kami memilih Desa Wisata Muntei karena pernah terkenal di dunia wisata.
Sesampai di homestay Samemek, sambil menyeduh kopi, kami membuka ruang diskusi dengan Pak Valen yang merupakan wakil ketua Pokdarwis Desa Wisata Muntei. Kami membicarakan potensi-potensi yang dapat dikembangkan.
Kami menyarankan agar Desa Wisata Muntei menyediakan loket tiket masuk bagi wisatawan, mengelola paket wisata, menyediakan informasi homestay lengkap dengan tarif per malam, serta menjual suvenir khas Mentawai.*