
OLEH Sirajul Fuad Zis, M.I.Kom (Mahasiswa Program Doktor Studi Pembangunan, Sekolah Pascasarjana Universitas Andalas)
GAGASAN untuk mengabdi dan mendampingi wisata budaya Desa Matotonan berawal dari kunjungan pertama kami—Program Doktor Studi Pembangunan—pada tahun 2024 ke tiga desa di Siberut: Desa Muntei, Desa Madobag, dan Desa Matotonan.
Rombongan saat itu terdiri dari Prof. Ir. Rudi Febriamansyah, M.Sc., Ph.D. selaku Ketua Prodi, Dr. Sri Setiawati, M.A. selaku Sekretaris Prodi, dan saya, Sirajul Fuad Zis, sebagai mahasiswa.
Kami melihat potensi sumber daya alam, budaya, dan peluang penelitian yang dapat dikembangkan menjadi destinasi wisata minat khusus. Saat pertama kali mengunjungi Matotonan di pedalaman Mentawai, akses kendaraan roda empat belum tersedia—hanya jalur sungai Sirereiket yang bisa digunakan.
Menurut Kepala Desa Matotonan, Ali Umran, setiap tahun desa ini menggelar festival budaya Liat Pulaggajat untuk memperingati hari lahir desa.
Kegiatan ini turut dipublikasikan oleh media sumbarsatu.com sebagai upaya mempromosikan pariwisata budaya di Desa Matotonan, Mentawai, Sumatera Barat.
Festival ini merupakan bagian dari perencanaan kegiatan pemerintahan desa yang telah diinisiasi oleh almarhum Jon Efendi saat menjabat sebagai Ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Matotonan. Ide tersebut disambut baik oleh kepala desa dan pada tahun 2019 diresmikan melalui Peraturan Desa Matotonan Nomor 10, yang mengatur Liat Siboitok (Pesta Kecil) dan Liat Sibeugak (Pesta Besar). Tahun 2025 ini menjadi perayaan ke-6 sekaligus menandai usia Desa Matotonan yang ke-45.
Perayaan mengundang rombongan Bupati, perwakilan kampus, dan publik luas. Kesadaran akan nilai sejarah dan budaya Matotonan diharapkan tidak hanya dimiliki oleh komunitas lokal, tetapi juga tertanam kuat pada setiap individu agar dapat diwariskan kepada generasi mendatang.
Menurut Kepala Desa Matotonan, ulang tahun desa selalu diperingati pada 10 Agustus. Desa ini berdiri pada 1980, dan kini berusia 45 tahun. Rangkaian festival budaya berlangsung dua hari: hari pertama untuk pesta kecil dan hari kedua untuk pesta besar.
Bagi kami dari Program Doktor Studi Pembangunan Universitas Andalas, kehadiran di festival ini adalah bagian dari janji tahun sebelumnya, sekaligus misi pengabdian untuk mendampingi pengembangan pariwisata budaya. Komitmen prodi jelas: Matotonan memiliki potensi wisata yang perlu terus dikembangkan.
Pagi itu, kami memulai aktivitas dengan sarapan di salah satu stan dusun yang diarahkan oleh kelompok Pokdarwis. Sambil menunggu acara, kami berbincang mengenai pengembangan pariwisata desa. Tiba-tiba panitia mengundang kami menghadiri rapat paripurna desa, tradisi tahunan pada hari ulang tahun desa.
Rapat dihadiri oleh Bupati, Kepala Dinas Pariwisata, Kepala Dinas Pendidikan, Kepala Desa Matotonan, para kepala desa se-Siberut Selatan, BPD, para Sikerei dan Sikalabai, tim pengabdian UNP (dipimpin Prof. Dr. Anton Komaini, S.Si., M.Pd.), perwakilan Universitas Bung Hatta (Dr. Ir. Suparno, M.Si.), UPGRISBA (Bu Zulfa), serta masyarakat Matotonan. Diperkirakan 800 orang hadir menyaksikan pesta besar ini.
Acara dimulai dengan salam, puji-pujian, sambutan, doa, penyampaian Perdes, hingga pidato dari Bupati, kepala dinas, dan kepala desa. Usai rapat, kami dijamu makan siang di rumah Ketua Pokdarwis, Hidayatullah, sambil membahas tantangan promosi pariwisata. Pokdarwis mengaku kesulitan menjangkau pasar wisata yang lebih luas karena akses sulit dan internet terbatas.
Kami pun menyarankan mereka memanfaatkan potensi seleb TikTok lokal, Si Bang Uluik (Paulus), yang memiliki 70 ribu pengikut dan kontennya kerap mencapai jutaan penonton. Kolaborasi dengan Paulus diyakini dapat menarik lebih banyak wisatawan, terutama untuk perayaan ulang tahun desa.
Pesta Besar Dimulai
Siang hari, suara gong dari Balai Uma menandakan dimulainya ritual Sikerei. Hujan turun, namun kami tetap menuju Balai Uma dengan berpayung pelepah pisang. Ritual berupa persembahan untuk roh leluhur dilakukan dengan mengikat babi pada tongkat kayu, diletakkan di depan para Sikerei, lalu dibacakan mantra.
Babi kemudian disembelih di pintu Uma, darahnya ditampung di kuali, dan ritual diulangi untuk ayam-ayam yang telah disiapkan. Siang itu, lima ekor babi dan beberapa ayam digunakan. Setelah daging dibersihkan bersama-sama, para Sikerei kembali membacakan mantra untuk mempersilakan roh leluhur “mencicipi” persembahan. Daging lalu dibagikan kepada masyarakat dengan wadah dari potongan batang pisang.
Menutup hari, jiwa petualangan kami kembali membara. Kami berjalan menuju Sungai Alimoi, melewati Dusun Mabek-bek dan Dusun Matektek, bersama rombongan UNP dan wisatawan asal Australia, menikmati segarnya air alami Alimoi.*