Merayakan Matotonan: Menuju Puncak Perayaan Dimulai dari Liat Siboitok

HARI KETIGA, SABTU, 9 AGUSTUS 2025

Rabu, 13/08/2025 11:20 WIB

OLEH Sirajul Fuad Zis, M.I.Kom (Mahasiswa Program Doktor Studi Pembangunan Sekolah Pascsarjan Universitas Andalas)

KISAH perjalanan kami dalam menjelajahi kebudayaan Suku Mentawai semakin menarik, karena hari yang ditunggu akhirnya tiba. Jurnal perjalanan ini menjadi catatan menuju puncak perayaan yang dimulai dengan Liat Siboitok (Pesta Kecil).

Tim pengabdian Program Doktor Studi Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Andalas ikut memeriahkan perayaan ulang tahun desa.

Embun pagi memberikan hawa sejuk di Dusun Ongah, Desa Matotonan, Kabupaten Mentawai. Kabut cukup tebal menyelimuti desa. Kami melangkah keluar, menyaksikan keindahan lingkungan yang sunyi dan asri, jauh dari pencemaran udara, yang membuat kami semakin nyaman.

Hari ini kami memulai langkah menuju Balai Desa, tempat diselenggarakannya Festival Kebudayaan Liat Pulaggajat (Pesta Desa) Matotonan. Liat Siboitok digelar sebagai pembuka sebelum puncak perayaan yang biasa disebut Liat Sibeugak (Pesta Besar).

Pesta kecil ini dibuka dengan agenda penyambutan rombongan Bupati Mentawai. Namun, kami cukup lama menunggu karena bupati tak kunjung datang. Sesuai rundown kegiatan, kami sudah siap sejak pukul 08.00 pagi. Sambil menunggu, kami memesan kopi di gerai stand Dusun Mabek-bek, salah satu stand yang diinisiasi kelompok ibu-ibu.

Sekitar dua ratus siswa SDN 02 Matotonan ikut memeriahkan ulang tahun desa. Mereka berlari, berteriak, dan bermain bersama, menciptakan suasana riuh. Semua masih menunggu kedatangan bupati.

Perubahan jadwal pun terjadi, meski sebelumnya panitia menetapkan kegiatan dimulai pukul 08.00. Menurut informasi dari Kelompok Sadar Pariwisata (Pokdarwis), bupati baru akan tiba siang hari.

Waktu menunggu kami manfaatkan untuk berdialog dengan warga Matotonan di stand Mabek-bek. Bersama kami hadir Hendro, mahasiswa Fakultas Pariwisata Universitas Negeri Padang, yang ternyata pernah berkunjung ke Matotonan pada 2024.

“Kami sudah pernah ke sini tahun sebelumnya. Saya senang berada di Matotonan karena orang-orangnya saling menyayangi dan mengasihi. Saya merasa menjadi bagian dari keluarga Matotonan,” ungkap Hendro.

Cerita-cerita wisatawan tentang Matotonan mulai bermunculan. Kami juga mendengar penjelasan dari Pokdarwis Puiringan tentang Liat Pulaggajat dan keberadaan sikerei (dukun adat), tokoh penting dalam budaya Mentawai.

Berdasarkan penuturan Nada, perempuan Minangkabau yang telah mengabdikan diri di Matotonan seumur hidupnya, desa ini memiliki jumlah sikerei terbanyak di Mentawai. Data 2018 mencatat ada 45 orang sikerei; kini tersisa 35 yang aktif, namun hanya 25 yang rutin mengikuti festival budaya karena keterbatasan fisik.

Kami terus berbincang, mengenal lebih banyak budaya Matotonan dari Pokdarwis dan masyarakat lokal. Siang tiba, perut terasa lapar. Seakan bersambut, Pokdarwis mengajak kami makan siang di rumah Pak Hidayat.

Sambil menunggu hidangan, kami kembali berdialog tentang budaya dan kearifan lokal Mentawai. Bagi kami, ini adalah pengetahuan baru tentang suku pedalaman yang masih mempertahankan tradisi, termasuk simbol budaya sikerei.

Namun, masyarakat Matotonan kini menghadapi tantangan: sulit menambah jumlah sikerei. Modernitas membuat generasi muda enggan menjadi sikerei, selain karena prosesnya sulit dan penuh pantangan, juga biayanya yang tinggi—mencapai puluhan juta rupiah untuk prosesi adat dan pembelajaran dari sikerei senior.

Sikerei bukan hanya tabib, tetapi juga tokoh adat yang dihormati. Syarat menjadi sikerei antara lain telah dewasa, mampu secara ekonomi, serta siap mematuhi berbagai pantangan. Masyarakat memandang mereka sebagai simbol tertinggi budaya Mentawai, yang dipercaya mampu berkomunikasi dengan roh leluhur. Ritual komunikasi itu hanya bisa dilakukan sikerei, biasanya dengan mengorbankan babi atau ayam, tergantung konteks acara.

Meski mayoritas warga Matotonan beragama Islam (75–90%), mereka tetap memegang teguh nilai-nilai budaya, seperti gotong royong, menghormati leluhur, dan mengikuti petuah sikerei.

Menurut Hidayatullah, peran sikerei di Mentawai ibarat datuak di Minangkabau—pemegang kendali pesta adat di lingkup suku maupun festival budaya.

Cuaca yang semula terik mulai mendung. Bunyi gong terdengar hingga ratusan meter, tanda bupati akan datang. Kami menuju balai dan dermaga Maruibaga Matotonan. Warga berbaris rapi di sepanjang jalan dan tepi sungai menyambut rombongan bupati. Sorak-sorai menyertai kedatangan beliau, yang dinilai sebagai bentuk perhatian terhadap kondisi desa dan budayanya.

“Pokoknya kami sudah senang, bupati sudah hadir,” ujar Hidayatullah.

Bupati disambut tarian bilaou (siamang) dan tarian burung pupuik oleh para sikerei, diiringi deretan sikalabai (istri sikerei). Setelah itu, beliau dikalungkan ngalo (kalung manik-manik berwarna-warni) oleh Kepala Desa Matotonan, Ali Umran, SH. Tak lama kemudian hujan deras mengguyur, membuat warga dan tamu berteduh di Uma dan stand UMKM sekitar balai desa.

Kami memasuki Uma untuk menyaksikan Liat Siboitok, pesta kecil menjelang pesta besar pada 10 Agustus. Pesta dibuka sikerei dengan ritual, diikuti penyembelihan empat ekor babi dan tujuh ekor ayam sebagai persembahan kepada leluhur.

Malam harinya, bulan purnama menerangi desa. Kami makan malam di rumah Ketua Pokdarwis, lalu kembali berdialog tentang hubungan erat babi dengan budaya Mentawai.

Babi menjadi simbol kemewahan sekaligus alat tukar. Semakin banyak babi yang dimiliki seseorang, semakin tinggi status sosialnya. Babi digunakan dalam berbagai kegiatan—dari membayar biaya sekolah, pesta pernikahan dan kematian, membangun rumah, hingga prosesi menjadi sikerei. Tradisi ini diwariskan leluhur dan masih dipraktikkan hingga kini.

Menjelang pesta malam, kami menuju balai untuk menyaksikan ritual. Sikerei melantunkan mantra diiringi gajeumak (gendang kecil dari kulit ular piton), lalu menari turuk (tarian ritual) seperti turuk lajo dan turuk simagreh, menirukan gerakan binatang seperti siamang, elang, dan bangau.

Banyak mantra yang hanya dimengerti sikerei, karena ilmunya diwariskan secara langsung dengan biaya besar—tidak selalu dalam bentuk uang, tetapi juga lahan, babi, atau ayam.

Kami pun diajak menari turuk bersama wisatawan, termasuk keluarga asal Australia yang tubuhnya bertato ala sikerei. Mereka bahkan mengajarkan anak-anaknya tentang aktivitas sikerei, menciptakan momen transfer budaya.

Pesta kecil ini menjadi pembuka menuju perayaan besar esok hari. Tunggu kisah kami selanjutnya.*



BACA JUGA