
OLEH Sirajul Fuad Zis, M.I.Kom (Mahasiswa Program Doktor Studi Pembangunan, Sekolah Pascasarjana Universitas Andalas)
JUMAT, 8 Agustus 2025, Subuh hari di Desa Ugai, udara sejuk menyelimuti tubuh kami. Hujan dini hari membasahi bumi Sikerei (Mentawai).
Kami mengawali aktivitas dengan beribadah, lalu menyeduh kopi sambil memandang rutinitas masyarakat yang sudah berjalan menuju ladang masing-masing.
Saya membuka laptop untuk melihat agenda hari ini: menuju Desa Matotonan dengan armada pong-pong (perahu sampan seperti biduk yang diberi mesin).
Pagi yang cerah ini, kami menyempatkan diri berdialog dengan Pak Yohanes, pemilik homestay. Beliau menyapa kami yang duduk di pelataran lantai dua.
“Pagi!” sapanya lantang sambil tersenyum.
“Pagi, Bapak! Pagi juga, Bapak!” jawab kami bersemangat.
Beliau kemudian duduk bersama kami dan menceritakan budaya serta sejarah Mentawai.
Sementara itu, stafnya bergegas menyiapkan sarapan: goreng pisang dan roti. Layaknya pelayanan di hotel berbintang, Joko — staf pria tersebut — melambaikan tangan ke arah hidangan sambil tersenyum.
“Silakan sarapan, Bapak,” ujarnya.
Kami menikmati goreng pisang versi Ugai sebagai bekal perjalanan. Delegasi bersiap menunggu utusan Pokdarwis yang sudah kami hubungi sehari sebelumnya untuk menjemput kami dari Matotonan ke Ugai dalam rangka paket wisata Festival Budaya.
Setelah semua siap, Pak Yohanes mengantar kami menuju dermaga Ugai. Dalam perjalanan, kami singgah di warung Pak Yas, pria paruh baya asal Nias yang sudah lama tinggal di Ugai, untuk membeli kantong plastik. Plastik ini kami gunakan untuk melindungi barang-barang berharga, tas, dan pakaian agar tidak basah di atas pong-pong, karena lantainya kerap terkena percikan gelombang.
Menuju Matotonan hanya ada tiga cara: berjalan kaki, menggunakan motor trail (bagi yang sudah hafal jalur ekstrem), atau naik pong-pong.
Setelah mendapatkan plastik, kami kembali berjalan ke dermaga. Parlin, utusan Pokdarwis sekaligus nahkoda pong-pong, menyambut kami dan membantu membawa barang ke atas perahu.
Kami mulai menelusuri Sungai Rereiket. Gerimis menyapa, namun perlahan cuaca kembali teduh. Banyak pong-pong lain melintas dan bersandar. Perjalanan terasa sunyi tanpa sinyal internet.
Tampak beberapa anggota tim agak cemas karena pong-pong oleng. Namun, setelah beberapa menit, kami mulai menyatu dengan alam, menikmati panorama sumber daya alam pedalaman Mentawai: batang sagu, pohon pisang, pohon kelapa, dan berbagai tanaman lainnya.
Beberapa kali mesin pong-pong mati sehingga kami harus merapat dan berpegangan pada ranting. Setelah sekitar satu setengah jam, kami tiba di Dermaga Matotonan yang dibangun oleh mahasiswa ITB.
Sejumlah umbul-umbul menyambut kedatangan kami. Di gerbang, terdapat Tugu Ekowisata Matotonan, di sampingnya tumbuh tanaman keladi (gettek dalam bahasa Mentawai). Kami disambut suasana budaya Mentawai dan bendera Indonesia, mengingat waktu itu berdekatan dengan peringatan Hari Kemerdekaan.
Ketua Pokdarwis Puiringan Hidayatullah dan Bendahara Pendi menyambut kami. Barang-barang bawaan dibantu dibawa ke Kantor Desa, tempat kami bertemu Martin, sekretaris Pokdarwis. Kami mengisi buku tamu, lalu dikalungi ngalo (kalung manik-manik warna-warni) oleh Ketua Pokdarwis.
Di luar, cuaca mendung. Masyarakat tampak ramai berjualan di berbagai dusun. Ada stan kuliner untuk wisatawan. Kami kemudian diantar menuju homestay Kancius, Sekretaris Badan Permusyawaratan Desa.
Perjalanan sekitar 500 meter itu membawa kami melewati rumah warga. Kami menyapa dengan sapaan “Bajak” (Bapak) atau “Tetew” (Orang Tua) — sapaan khas Desa Wisata Matotonan. Banyak warga bertanya hendak ke mana, dan kami menjawab hendak ke rumah Pak Kancius. Sebagian menyapa dengan “Aloita” (selamat datang).
Kami melewati lapangan bola luas, lalu SDN 02 Matotonan di Dusun Ongah. Setelah lelah berjalan, akhirnya kami tiba di rumah Pak Kancius yang tak jauh dari PLTS bantuan Kementerian ESDM. Kami beristirahat sejenak, disuguhi air minum oleh Pokdarwis.
Saya bertanya kepada mereka, “Seberapa penting kegiatan ini?”
“Sangat penting,” jawab Pendi singkat.
Ketua Pokdarwis menambahkan, kegiatan Liat Pulaggajat atau pesta desa ini merupakan momen mengenang hari lahir Desa Matotonan pada 10 Agustus. Festival Budaya ini diinisiasi almarhum Ustaz Jon Efendi, Ketua BPD kala itu, yang mengesahkan peraturan desa terkait Liat Pulaggajat. Peraturan tersebut dilanjutkan oleh Ali Umran, Kepala Desa Matotonan, sekitar enam tahun lalu (2017).
Sejak itu, festival budaya ini rutin digelar setiap tahun. Perayaan kali ini kembali menampilkan para Sikerei Mentawai — tokoh adat yang memiliki peran penting dalam budaya setempat.*