Pembongkaran Dua Jembatan Kereta Api Warisan Dunia WTBOS dan Problem Kebijakan Pelestarian

Jum'at, 19/12/2025 17:23 WIB
Kondisi Jembatan Legendaris Kerata Api yang membelah Lembah Anai. foto nasrul koto

Kondisi Jembatan Legendaris Kerata Api yang membelah Lembah Anai. foto nasrul koto

OLEH Nasrul Azwar

SURAT REKOMENDASI pembongkaran dua jembatan kereta api di jalur Sawahlunto–Pelabuhan Teluk Bayur (Emmahaven) yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pelindungan Kebudayaan dan Tradisi Kementerian Kebudayaan menyingkap persoalan yang lebih luas dari sekadar kerusakan infrastruktur akibat bencana alam.

Keputusan ini membuka kembali perdebatan mendasar tentang bagaimana negara mengelola situs warisan dunia, khususnya ketika berhadapan dengan risiko keselamatan, dinamika alam, dan keterbatasan kebijakan pelestarian jangka panjang.

Dua jembatan kereta api yang berada di kawasan Lembah Anai tersebut merupakan bagian dari struktur jalur kereta api bersejarah Sawahlunto–Teluk Bayur, jalur vital yang sejak akhir abad ke-19 berfungsi sebagai penghubung tambang batu bara Ombilin di Sawahlunto dengan pelabuhan Emmahaven (kini Teluk Bayur).

Jalur ini bukan sekadar infrastruktur transportasi, melainkan sistem industri terpadu yang membentuk lanskap ekonomi, sosial, dan teknologi Sumatera Barat pada masa kolonial.

Pengakuan internasional datang pada 2019, ketika UNESCO menetapkan Ombilin Coal Mining Heritage of Sawahlunto sebagai Warisan Budaya Dunia. Penetapan ini menempatkan jalur kereta api, termasuk jembatan-jembatannya, sebagai bagian dari nilai universal luar biasa (Outstanding Universal Value) yang harus dilindungi, dirawat, dan dikelola secara berkelanjutan oleh negara.

Dengan status Warisan Dunia, tanggung jawab negara tidak berhenti pada pelabelan simbolik, menghadirkan festival-festiva seperti Galanggang Arang; melainkan menuntut sistem pengelolaan yang konsisten, terencana, dan adaptif terhadap risiko.

Namun, kerusakan parah pada dua jembatan akibat longsor dan banjir bandang (galodo) di Lembah Anai memperlihatkan celah serius dalam praktik pengelolaan tersebut. Bencana alam memang tidak dapat dihindari, tetapi dampak destruktifnya terhadap struktur warisan dunia memunculkan pertanyaan tentang kesiapan mitigasi, pemeliharaan berkala, serta strategi adaptasi yang seharusnya menyertai status warisan dunia.

Dalam situasi ini, negara dihadapkan pada dilema klasik: mempertahankan struktur bersejarah dengan risiko keselamatan yang tinggi, atau membongkarnya demi mencegah potensi korban dan kerusakan lanjutan.

Rekomendasi pembongkaran yang dikeluarkan Kementerian Kebudayaan, dengan melibatkan Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah III, mencerminkan upaya mencari jalan tengah antara pelindungan nilai budaya dan tanggung jawab keselamatan publik.

Namun, di balik keputusan tersebut, tersimpan persoalan kebijakan yang lebih struktural. Pembongkaran kembali muncul sebagai solusi akhir, bukan sebagai bagian dari strategi pengelolaan jangka panjang yang dirancang sejak awal.

Pola ini menunjukkan bahwa pengelolaan warisan dunia di Indonesia masih cenderung bersifat reaktif: kebijakan baru dirumuskan setelah kerusakan terjadi, bukan melalui pencegahan sistematis yang berbasis kajian risiko.

Ketiadaan integrasi yang kuat antara kebijakan kebudayaan, infrastruktur, dan mitigasi bencana menjadi faktor krusial. Jalur kereta api warisan dunia berada di wilayah geografis yang rawan longsor dan banjir, namun risiko tersebut tidak sepenuhnya diterjemahkan ke dalam desain konservasi, penguatan struktur, atau perawatan adaptif yang berkelanjutan. Akibatnya, ketika bencana datang, pilihan kebijakan menyempit pada langkah ekstrem seperti pembongkaran.

Keterlibatan Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah III Provinsi Sumatera Barat dalam proses pembongkaran memang menjadi upaya penting untuk memastikan dokumentasi, pencatatan, dan pelindungan nilai sejarah dilakukan secara memadai.

Namun, dokumentasi tidak pernah sepenuhnya dapat menggantikan keberadaan fisik struktur yang menjadi bukti material sejarah industri dan kolonialisme. Setiap struktur yang hilang berarti berkurangnya lapisan narasi sejarah yang dapat diakses langsung oleh publik.

Kasus Lembah Anai juga menyingkap persoalan fragmentasi kewenangan. Pengelolaan situs warisan dunia melibatkan banyak lembaga, mulai dari kementerian kebudayaan, perhubungan, pekerjaan umum, hingga pemerintah daerah. Tanpa koordinasi yang kuat dan kerangka kebijakan terpadu, pelestarian kerap terpinggirkan oleh kepentingan sektoral dan pendekatan teknis jangka pendek.

Dalam konteks komitmen internasional, situasi ini berpotensi melemahkan posisi Indonesia sebagai pengelola warisan dunia. UNESCO tidak hanya menilai keutuhan fisik situs, tetapi juga efektivitas sistem pengelolaan dan keberlanjutan nilai universalnya.

Jika struktur kunci terus hilang karena minimnya perencanaan adaptif, maka warisan dunia berisiko tereduksi menjadi sekadar pengakuan administratif tanpa substansi pelestarian.

Rekomendasi yang ditandatangani Restu Gunawan, Direktur Jenderal Pelindungan Kebudayaan dan Tradisi Kementerian Kebudayaan tertuang dalam surat bernomor 1070/LLA/KB09.06/2025 tertanggal 12 Desember 2025, yang ditujukan kepada Kepala Balai Teknik Perkeretaapian Kelas II Padang, sebagai tanggapan atas pemberitahuan rencana pembongkaran jembatan kereta api.

Surat ini merupakan tindak lanjut dari pemberitahuan Kepala Balai Teknik Perkeretaapian Kelas II Padang Nomor KA.008/4/10/BTP-PDG/2025 tertanggal 11 Desember 2025 perihal rencana pembongkaran jembatan akibat kerusakan pascabencana.

Dalam surat tersebut dijelaskan bahwa Struktur Cagar Budaya Jalur Kereta Api Sawahlunto–Teluk Bayur telah ditetapkan sebagai cagar budaya melalui Keputusan Gubernur Sumatera Barat Nomor 432-144-2019. Struktur ini mencakup sejumlah stasiun, jembatan tinggi, dan jalur kereta api, serta merupakan bagian dari Ombilin Coal Mining Heritage of Sawahlunto yang telah diakui sebagai Warisan Budaya Dunia.

Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah III Provinsi Sumatera Barat  sebelumnya telah melakukan observasi lapangan pada 8 Desember 2025. Hasilnya menunjukkan bahwa dua jembatan kereta api, yakni BH 171 Km 69+297 dan BH 163 Km 67+524 di antara Stasiun Kayu Tanam dan Stasiun Padang Panjang, mengalami kerusakan parah akibat bencana longsor dan banjir bandang (galodo).

Menindaklanjuti temuan tersebut, telah dilaksanakan rapat koordinasi secara daring pada Jumat, 12 Desember 2025. Rapat dihadiri perwakilan dari Sekretariat Direktorat Jenderal Perkeretaapian, Direktorat Prasarana Perkeretaapian, Balai Teknik Perkeretaapian Kelas II Padang, Balai Pelaksanaan Jalan Nasional I Sumatera Barat, Direktorat Warisan Budaya, Direktorat Diplomasi Kebudayaan, serta Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah III Sumatera Barat.

Berdasarkan hasil rapat tersebut, Direktorat Jenderal Pelindungan Kebudayaan dan Tradisi merekomendasikan pembongkaran kedua jembatan kereta api dimaksud. Namun demikian, pembongkaran hanya dapat dilakukan dengan ketentuan bahwa seluruh tahapan perencanaan dan pelaksanaan kegiatan wajib melibatkan Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah III, guna memastikan pelindungan nilai-nilai cagar budaya yang melekat pada struktur tersebut.

Klausul pelibatan lembaga pelestarian ini menandai kesadaran bahwa pembongkaran cagar budaya bukan sekadar urusan teknis, melainkan juga persoalan etika pelestarian. Dokumentasi, pencatatan, dan pelindungan nilai historis menjadi satu-satunya jalan agar jejak sejarah tidak sepenuhnya hilang bersama runtuhnya struktur fisik.

Lebih jauh, keputusan pembongkaran ini seharusnya menjadi alarm bagi negara untuk mengevaluasi paradigma pengelolaan warisan budaya di wilayah rawan bencana.

Perubahan iklim, intensitas hujan ekstrem, dan degradasi lingkungan menuntut pendekatan baru yang tidak lagi memisahkan pelestarian dari mitigasi risiko. Tanpa perubahan paradigma, dilema serupa akan terus berulang, tidak hanya di Sawahlunto–Teluk Bayur, tetapi juga di situs-situs warisan dunia lainnya di Indonesia.

Dengan demikian, rekomendasi pembongkaran dua jembatan kereta api di jalur Emmahaven tidak dapat dibaca semata sebagai keputusan teknis. Ia adalah cermin dari tantangan besar pengelolaan warisan dunia di Indonesia: antara kewajiban melindungi sejarah, keterbatasan kebijakan, dan tuntutan keselamatan publik.

Tanpa reformulasi kebijakan yang lebih visioner dan terintegrasi, pelestarian warisan dunia akan terus berada dalam posisi rentan, selalu datang terlambat, dan kerap berakhir pada kehilangan yang tak tergantikan.*



BACA JUGA