OLEH Yurnaldi (Penerima Apresiasi 40 Tahun Bersastra dari Badan Pengembangan Bahasa Kemendikdasmen RI Tahun 2025)
KETIKA nama Denny JA diumumkan masuk 10 besar calon penerima BRICS Literature Award 2025, jagat sastra Indonesia kembali gaduh. Sebagian menyambut dengan bangga, sebagian lagi memandang skeptis. Bagi pendukungnya, ini bukti bahwa karya sastra Indonesia mulai diakui di tingkat dunia. Bagi yang lain, terutama kalangan kritikus dan sastrawan independen, muncul pertanyaan mendasar: seberapa kredibel dan independen sebenarnya penghargaan ini?
Perdebatan semacam ini bukan hal baru dalam sejarah penghargaan sastra. Hampir semua penghargaan besar di dunia—dari Nobel Prize in Literature, Booker Prize, hingga Pulitzer—pernah diguncang pertanyaan tentang siapa yang memilih, bagaimana mekanismenya, dan apakah keputusan itu murni didasarkan pada kualitas estetika karya. Namun di balik hiruk-pikuk nama dan klaim prestise, penghargaan sastra sejatinya adalah cermin dari sistem nilai, integritas, dan otoritas kultural yang melandasinya.
Tak dapat disangkal, keterlibatan Indonesia dalam ajang sastra internasional apa pun layak diapresiasi. Indonesia memiliki warisan sastra yang panjang—dari hikayat dan kaba, pantun, puisi modern, hingga novel kontemporer. Namun, di tengah euforia, muncul pula tanda tanya: mengapa penghargaan BRICS Literature Award ini begitu cepat mencuat, sementara reputasi dan sejarah lembaganya belum dikenal luas?
Menurut berbagai laporan media, BRICS Literature Award lahir dari forum kebudayaan yang diinisiasi oleh negara-negara anggota BRICS (Brasil, Rusia, India, Tiongkok, Afrika Selatan) dengan tambahan beberapa negara mitra. Tujuannya, mempromosikan nilai-nilai budaya Global South dan menandingi dominasi budaya Barat. Sebuah niat yang patut dihargai, tentu saja. Dunia memang butuh keseimbangan narasi; selama ini panggung penghargaan dunia lebih sering dikuasai oleh sastrawan Eropa dan Amerika.
Namun, setiap ajang internasional baru harus diuji bukan hanya pada niatnya, tetapi juga pada mekanisme dan kredibilitasnya. Tanpa transparansi, penghargaan yang dimaksudkan sebagai perlawanan terhadap dominasi Barat justru bisa terjebak pada bias baru—yakni bias politik, diplomasi budaya, atau bahkan personalisme.
Sastra adalah wilayah otonom, tapi penghargaan sastra adalah wilayah sistemik. Di sinilah masalah sering muncul. Dalam penghargaan besar dunia, integritas juri menjadi jantung kepercayaan publik. Proses seleksi yang jelas, publikasi kriteria penilaian, dan rotasi juri yang bebas dari konflik kepentingan adalah hal pokok.
Dalam konteks BRICS Literature Award, publik belum mengetahui secara rinci siapa saja para jurinya, dari mana mereka berasal, dan apa rekam jejak kesastraannya. Laporan media menyebut bahwa juri dari satu negara tidak akan menilai sastrawan dari negara yang sama. Namun, sistem ini tetap menyisakan ruang untuk pertanyaan: siapa menunjuk juri-juri itu? Apakah mereka berasal dari lembaga akademik, organisasi sastra, atau hasil penunjukan politik?
Kredibilitas penghargaan bukan hanya diukur dari nama besar pesertanya, tetapi dari kejelasan proses yang menyeleksi. Tanpa transparansi, setiap kemenangan berpotensi dicurigai sebagai hasil lobi atau diplomasi budaya. Dalam hal ini, kritik yang disampaikan sejumlah sastrawan Indonesia bukanlah bentuk iri hati, melainkan bentuk kecintaan terhadap integritas sastra itu sendiri.
Ketika Penghargaan Menjadi Arena Politik Kultural
Penghargaan internasional memang kerap dimanfaatkan sebagai alat diplomasi. Negara-negara BRICS sedang berupaya meneguhkan diri sebagai kekuatan alternatif dalam tatanan dunia yang baru. Mereka ingin menampilkan soft power—yakni kekuatan budaya, ide, dan nilai-nilai humanisme dari dunia Selatan. Sastra menjadi medium strategis untuk menegaskan eksistensi itu.
Namun, jika penghargaan semacam ini lebih menonjolkan diplomasi ketimbang kualitas karya, maka yang muncul bukan kemajuan sastra, melainkan politik kultural berkedok estetika. Penghargaan seharusnya tidak menjadi panggung citra politik atau propaganda, melainkan forum yang benar-benar menilai mutu gagasan, kedalaman ekspresi, dan keaslian narasi.
Kita belajar dari sejarah Nobel Sastra: walaupun sering dikritik karena bias Eropa, lembaga ini memiliki rekam administrasi panjang, tradisi evaluasi independen, dan akuntabilitas publik yang dapat ditelusuri. Itulah yang membuat setiap penerimanya memiliki legitimasi moral. Kredibilitas tidak bisa dibangun semalam, dan tidak bisa hanya dengan menempelkan label “internasional”.
Denny JA dan “Perdebatan Lama” Sastra Indonesia
Khusus tentang Denny JA, kontroversinya di dunia sastra Indonesia bukan hal baru. Ia dikenal sebagai penulis puisi esai dan pendiri komunitas yang sering memadukan sastra dengan kampanye sosial. Namun, sebagian kalangan menganggap karya-karyanya lebih bersifat pop-sastra ketimbang karya yang berakar pada tradisi estetika atau kebaruan bentuk.
Masuknya Denny JA ke daftar nominasi BRICS tentu menimbulkan reaksi emosional. Ada yang menganggapnya pantas karena membawa gagasan “sastra yang membumi”. Ada pula yang menilai bahwa pengakuan ini bisa membingungkan publik internasional tentang siapa sebenarnya representasi utama sastra Indonesia.
Tetapi di luar perdebatan nama, persoalan yang lebih besar adalah: mengapa hanya satu nama yang muncul? Mengapa lembaga sastra Indonesia tidak menyiapkan daftar panjang sastrawan yang bisa diajukan ke ajang internasional? Ini menunjukkan lemahnya diplomasi budaya kita sendiri. Ketika institusi negara absen, maka yang muncul adalah inisiatif personal—yang sah secara individu, tapi tidak selalu representatif secara nasional.
Pentingnya Infrastruktur, Sastra yang Kredibel
Sebuah penghargaan internasional hanya bisa dihormati apabila ekosistem sastranya sehat. Artinya, di tingkat nasional pun kita perlu sistem yang mapan: lembaga kurasi yang kredibel, komunitas pembaca yang kritis, mekanisme penerjemahan yang profesional, dan media yang berpihak pada mutu.
Selama ini, penghargaan sastra di Indonesia cenderung sporadis. Beberapa lembaga seperti Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) atau Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan memang punya penghargaan rutin, tetapi tidak terhubung langsung dengan jaringan sastra dunia. Sementara itu, penerjemahan karya sastra ke bahasa asing masih minim. Akibatnya, ketika ajang internasional seperti BRICS Literature Award datang, hanya sedikit karya Indonesia yang bisa dibaca juri dalam versi global.
Karena itu, momentum ini seharusnya dijadikan refleksi bersama: bukan sekadar memperdebatkan siapa yang masuk nominasi, tetapi bagaimana memperkuat pondasi agar karya sastra Indonesia diakui karena mutunya, bukan karena kedekatan politik atau kemampuan lobi.
Ada paradoks yang selalu hadir di dunia sastra: semakin tinggi gairah mengejar penghargaan, semakin besar risiko kehilangan keikhlasan berkarya. Sastra sejati tumbuh dari kejujuran, penderitaan, dan pencarian makna hidup—bukan dari perburuan simbol atau trofi.
Maka, pertanyaan paling penting bukanlah siapa yang menang, tetapi apa yang dihargai. Apakah penghargaan ini mengapresiasi orisinalitas dan keberanian menggugat kemapanan? Ataukah hanya mengukuhkan posisi sosial tertentu di dunia sastra?
Bila penghargaan dijalankan dengan mekanisme tertutup, tanpa penjelasan terbuka tentang kriteria, latar belakang juri, dan alasan pemilihan pemenang, maka yang muncul bukan kemajuan sastra, melainkan ritual penghormatan semu. Sastra tidak membutuhkan kultus individu, melainkan keberlanjutan tradisi intelektual.
Membangun Kemandirian Kritik dan Kurasi
Peristiwa ini seharusnya mendorong kalangan sastra Indonesia untuk memperkuat sistem kurasi dan kritik independen. Kritik yang jujur, terbuka, dan berbasis kompetensi justru menjadi vitamin bagi pertumbuhan sastra nasional. Reaksi keras terhadap nominasi Denny JA bisa dibaca sebagai tanda bahwa dunia sastra kita masih hidup—masih punya gairah mempertanyakan nilai dan integritas.
Daripada sekadar mencemooh atau mengidolakan, yang dibutuhkan adalah forum penilaian terbuka yang dikelola oleh lembaga independen: universitas, media, dan komunitas penulis. Dengan demikian, penghargaan internasional apa pun—baik BRICS maupun lainnya—tidak akan menimbulkan kegaduhan emosional, sebab kita sudah punya patokan internal tentang mutu karya sastra.
Sastra adalah wajah budaya sebuah bangsa. Ketika seorang penulis tampil di panggung dunia, ia tidak hanya membawa karyanya, tetapi juga citra negerinya. Karena itu, pemerintah dan lembaga kebudayaan seharusnya memiliki kebijakan diplomasi sastra yang jelas: program penerjemahan, festival internasional, residensi penulis, dan kerja sama antaruniversitas.
Jika kita memiliki sistem representasi yang terencana, maka penghargaan seperti BRICS Literature Award bisa menjadi batu loncatan, bukan sumber polemik. Kita bisa menghargai prestasi individu tanpa kehilangan prinsip objektivitas dan keterbukaan.
BRICS Literature Award 2025 bisa menjadi cermin bagi dunia sastra Indonesia. Cermin untuk menilai sejauh mana kita telah menata sistem penghargaan dan mekanisme kurasi yang kredibel. Namun, ia juga bisa menjadi bayangan—jika kita lebih sibuk berdebat soal nama daripada menegakkan standar.
Sastra sejatinya tidak membutuhkan pengakuan instan. Ia tumbuh dalam keabadian gagasan, bukan dalam sorotan sesaat. Karena itu, penghargaan boleh datang dan pergi, nama boleh diperdebatkan, tetapi yang abadi adalah kejujuran dalam menulis dan ketulusan dalam membaca.
Kita boleh bergembira bahwa ada nama Indonesia yang muncul di panggung global. Tapi kita juga wajib bertanya: apakah penghargaan ini benar-benar mengangkat sastra, atau sekadar mengangkat nama?
Jawaban atas pertanyaan itulah yang akan menentukan: apakah ini kebanggaan, atau sekadar kebisingan.*
Padang, 28 Oktober 2025