Ada Spanduk Sindiran kepada Pemprov Sumbar Ukuran “Raksasa” di Bengkaiai Gedung Kebudayaan Sumatera Barat

“Bilolah Ka Salasainyo Gedung Kebudayaan Ko?”

Jum'at, 02/05/2025 23:16 WIB
Spanduk ukuran 25 X 4 meter terpampang di bengunan mangkrak Gedung Kebudayaan Sumatera Barat

Spanduk ukuran 25 X 4 meter terpampang di bengunan mangkrak Gedung Kebudayaan Sumatera Barat

Padang, sumbarsatu.com—Spanduk berukuran raksasa terbentang di bengkalai bangunan Gedung Kebudayaan Sumatera Barat di Jalan Samudera, Padang. Spanduk sepanjang 25 meter kali 4 meter itu ditulis dalam bahasa Minangkabau: “Bilolah Ka Salasainyo Gedung Kebudayaan Ko?” terlihat sangat jelas dari jalan pinggir Pantai Padang. Spanduk berhadapan dengan Gunung Padang.   

Spanduk dengan dasar warna putih, huruf berwarna merah, dan kiri-kanannya bergambar gedung yang mangkrak itu, dipasang di lantai empat (atas)_bangunan yang sudah seperti peninggalan sejarah itu. Posisi spanduk tak jauh Kantor Dinas Kebudayaan Sumatera Barat.

Dadang Leona, seniman Sumatera Barat, mengatakan, spanduk itu sudah dipasang sejak Jumat pagi, 2 Mei 2025. Pemasangannya atas inisiatif seniman, budayawan, pegiat seni, dan pihak yang peduli dengan pemajuan kebudayaan di Sumatera Barat.

“Tujuan utama pemasangan spanduk itu mendorong agar ada perhatian pemerintah untuk menuntaskan dan menyelesaikan pembangunan Gedung Kebudayaan yang sudah menghabiskan dana ratusan miliar ini. Sayang sekali jika bangunan itu menjadi rongsokan dan puing batu,” kata Dadang Leona, Jumat (2/5/2025).

Ditanggapi Anggota DPRD Sumatera Barat

Terpasangnya spanduk sindiran untuk Pemerintah Provinsi Sumatera Barat yang terpampang di lantai empat bengkalai Gedung Kebudayaan itu ditanggapi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Sumatera Barat, Nofrizon.

Nofrizon menilai, terbengkalainya atau mangkraknya pembangunan Gedung Kebudayaan ini, seharusnya dituntaskan Gubernur Mahyeldi pada pada periode keduanya saat ini.

“Hal ini penting karena pembangunan gedung ini telah dimulai pada masa Gubernur Irwan Prayitno, yang juga berasal dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan kemudian dilanjutkan selama dua periode oleh Mahyeldi—yang juga berasal dari PKS,” kata Nofrizon kepada sumbarsatu, Jumat (2/5/2025).

Hadirnya spanduk raksasa di bengkalai Gedung Kebudayaan Sumatera Barat itu tidak bisa dianggap remeh oleh Pemerintah Provinsi Sumatera Barat. “Ini akan jadi bumerang bagi Pemerintah Provinsi Sumatera Barat jika tidak direspons cepat. Berhadapan dengan seniman, budayawan, dan pelaku seni, alamat akan buruk ke depannya. Pemerintah Provinsi Sumatera Barat terseot-seot jalannya. Pincang. Maka Gubernur segeralah menanggapi pesan kalimat dalam spanduk itu,” tegasnya.

Menurutnya, jika proyek ini tidak diselesaikan, akan jadi catatan buruk sebagai bentuk kegagalan kader PKS dalam memimpin Sumatera Barat selama 15 tahun terakhir.

“Sebagai anggota DPRD Sumbar, apabila Gubernur Mahyeldi menganggarkan kelanjutan pembangunan Gedung Kebudayaan ini melalui APBD Provinsi Sumatera Barat, saya akan berjuang untuk mendorong rekan-rekan di DPRD, khususnya dalam pembahasan di Badan Anggaran (Banggar)—karena saya juga merupakan anggota Banggar,” urai Nofrizon.

Atau, tambahnya, jika Mahyeldi memiliki inovasi untuk mengajukan permohonan dana ke pemerintah pusat melalui APBN, tentu kita akan mendukung. “Namun sejauh ini, saya melihat Mahyeldi belum menunjukkan kemampuan yang memadai dalam melakukan lobi ke pemerintah pusat.”

Ia mengaku turut merasakan kekecewaan para pelaku seni dan seniman di Sumatera Barat terhadap kepemimpinan Irwan Prayitno dan Mahyeldi. Hal ini ia pahami karena ia juga berasal dari latar belakang pendidikan seni—alumni SMKI Padang.

“Meskipun saya tidak sehebat teman-teman seniman lainnya dalam berkarya, tetapi saya memahami anatomi dunia kesenian tersebut,” ungkapnya politikus dari PPP ini.

Sementara itu, Hermawan, budayawan dan penyair Indonesia menyebutkan, pemasangan spanduk itu merupakan sindiran kepada Pemerintah Provinsi Sumatera Barat dan sekaligus bernuasa kritikan yang ia nilai Pemerintah Provinsi Sumatera Barat tidak punya visi pemajuan kebudayaan.

“Terbengkalainya pembangunan Gedung Kebudayaan bertahun-tahun lamanya merupakan indikator kuat sebagai pembenaran bahwasanya Pemerintah Provinsi Sumatera Barat memang tidak punya visi untuk pemajuan kebudayaan. Malah terkesan menghancurkan. Mengapa tidak? Teater Tertutup dan Teater Utama Taman Budaya, Ruang Chairil Anwar, Laga-laga dan lainnya di Taman Budaya Sumatera Barat, diratakan dengan tanah oleh Pemerintah Provinsi Sumatera Barat tapi enggan menggantinya. Padaha; semua fasilitas budaya itu masih sangat layak digunkan. Ini secara sistemik melumat kebudayaan, by design,” terang Hermawan yang juga seorang akademisi ini.

Ia mendesak agar Pemerintah Provinsi Sumatera Barat merespons dinamika yang terjadi dan tidak membangun citra diri terhadap keterbengkalaian gedung itu. Menurutnya, kedatangan Wakil Gubernur Sumatera Barat Vasco Ruseimy yang dikesankan “inspeksi mendadak (sidak)”  beberapa waktu lalu ke Taman Budaya juga tak jelas ujung pangkalnya.

“Lalu setelah sidak itu, ia menjadwalkan pertemuan lagi di lokasi yang sama pada 25 April 2025, malah Wagub yang tidak datang. Ini jelas terkesan bagarah-garah saja. Makin yakin saya, komitmen pemerintah terhadap pembangunan fasilitas kebudayaan di Sumatera Barat  icak-icak saja,” tegas Hermawan.

Pembangunan Gedung Kebudayaan Sumatera Barat memang diharapkan menjadi pusat kegiatan seni dan budaya, kini terbengkalai. Proyek ini, yang dimulai dengan anggaran besar, mengalami berbagai kendala hingga akhirnya mangkrak.

Gedung Kebudayaan ini dirancang untuk memiliki berbagai fasilitas seperti ruang pameran, auditorium, ruang latihan tari, workshop drama, dan lainnya. Proyek ini dibagi menjadi beberapa zona, dengan Zona A telah rampung menggunakan anggaran sekitar Rp57 miliar dari APBD Sumbar antara tahun 2015 hingga 2017.

Pembangunan Zona B, yang mencakup gedung utama pertunjukan teater, dimulai pada 2018 dengan anggaran mencapai Rp25 miliar, dan dilanjutkan pada 2019 dengan Rp32 miliar. Namun, proyek ini mengalami hambatan serius. Pada tahun 2021, proyek dengan nilai kontrak Rp31 miliar hanya terealisasi secara fisik sebesar 10,63% dan keuangan sebesar Rp8,6 miliar. Akibatnya, kontrak dengan kontraktor diputus, dan pembangunan dihentikan.

Mangkraknya proyek ini memicu kekecewaan di kalangan seniman dan masyarakat. Kekecewaan makin memuncak ketika Pemerintah Provinsi Sumatera Barat berencana mendirikan hotel berbintang di kawasan tersebut. ssc/mn

 



BACA JUGA