OLEH Harris Effendi Thahar (Sastrawan)
AYAH saya seorang pembaca. Tiada hari tanpa membaca, begitulah yang saya saksikan setiap hari di waktu saya kecil. Beliau seorang da’i, keluaran sekolah agama Normaal Islamic School di Padang. Kata beliau, itulah sekolah agama yang pertama di Minangkabau yang mengharuskan siswa-siswanya memakai celana pentalon, kemeja dan dasi, serta kopiah hitam, dan tentu saja bersepatu.
Kami, anak-anak beliau memanggilnya Buya. Ketika saya belum sekolah, Buya sering membacakan buku cerita kepada saya dengan gaya yang amat menarik, penuh humor. Kadang-kadang, ia membaca koran di dekat saya keras-keras, sambil sesekali menyebut nama saya, seolah-olah nama saya betul-betul tercantum dalam berita koran itu sebagai seorang narasumber. Ia membaca dengan sikap serius, tapi saya tersenyum-senyum karena tahu bahwa Buya bercanda. Saya senang sekali.
Kalau saya tersentak bangun malam hari, entah pukul berapa, tapi pasti sudah larut karena semua sudah pada tidur, saya lihat Buya sedang membaca kitab berbahasa Arab. Bacaan Buya tidak saja berbahasa Arab, juga buku-buku berbahasa Belanda, bahkan Buya juga berlangganan buku kursus Bahasa Esperanto.
Buya juga punya koleksi novel-novel karya Hamka, terjemahan Karl May, dan lain-lain. Ibu yang kami panggil Umi, sering rebut dengan Buya perkara keranjingan membeli koran yang tidak cukup satu macam dibeli Buya. Padahal, waktu itu hidup kami susah. Menjadi pegawai negeri di zaman PRRI itu harus berhemat. Sesekali Buya meminjam uang tabungan saya untuk membeli koran, dengan janji akan diganti di lain hari.
Umi seringkali juga ribut dengan Buya perkara buku, majalah, dan Koran yang sedang terkembang di meja, di tempat tidur, di ruang tamu, karena belum selesai dibaca Buya, tidak boleh dirapikan atau dipindahletakkan. Kalau itu terjadi, Buya teriak, “Lha, ini pasti kerja Umi kalian. Mengapa tidak bertanya dulu kalau mau merapikan buku yang sedang dibaca?”
“Makan itu buku!” balas Umi.
Selain itu, Buya tidaklah pemarah, meski anaknya banyak. Kami bersaudara 13 orang dari dua ibu. Dua orang meninggal di waktu kecil. Tapi, sayalah yang mengikuti jejak Buya keranjingan membaca. Uang jajan sekolah selalu saya sisihkan untuk menyewa komik, buku cerita, dan cerita silat Kho Ping Ho. Begitu juga kalau ada film baru yang diputar di satu-satunya bioskop di kota kecil kami, kota Solok. Saya berusaha keras menonton, meskipun menyogok penjaga pintu kelas 3 dan bolos mengaji.
Mengingat ekonomi keluarga yang sulit, Buya tetap berusaha mencarikan bacaan yang baik untuk saya. Suatu hari Buya pulang dari kantor membawa sepuluh buku cerita anak karangan Aman Datuak Majo Indo, M. Kasim, dan lainnya saya lupa pengarangnya. Buku-buku itu dipinjam Buya dari kepala kantornya yang punya banyak koleksi buku bacaan untuk anaknya yang saat itu sudah besar-besar. Saat itu saya duduk di kelas V, membutuhkan banyak bacaan yang bermutu.
Sewaktu uduk di SMP 1 Solok, hampir di setiap catur wulan saya berhasil jadi juara kelas. Yang membuat nilai saya tinggi adalah, Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia, dan Menggambar, ketiganya nilai 9 di dalam rapor. Pak Bustanul Arifin, yang biasa kami panggil Pak BA adalah guru Bahasa Indonesia yang sering memuji tugas karangan saya.
Suatu hari, saya membuat kesalahan besar. Ketika guru tidak masuk, sementara kelas lain belajar, saya mengajak teman-teman main bola di dalam kelas. Bolanya adalah temputung kelapa sisa bahan prakarya, mata pelajaran sebelumnya. Sekali tending, tempurung kelapa itu melayang mengenai kaca jendela hingga terjadi “kdongprang”! suasana hiruk pikuk, Pak BA yang sedang mengajar di sebelah (kls IIc), segera muncul di kelas saya. Saya tertangkap basah. Dengan ikhlas saya terima hukuman apa yang akan dijatuhkan kepada saya.
Tiga biang kerok, termasuk saya, disuruh berdiri di depan kelas II c, di samping papan tulis, bagai patung selama dua jam pelajaran. Teman-teman lain di kelas saya, IId, boleh pulang setelah menyalin soal aljabar yang diberikan Pak BA. Beliau mampu meberi pelajaran apa saja, termasuk aljabar. Tetapi hukuman untuk kami ewrtiga belum cukup. Pukul empat sore kami disuruh dating ke rumah Pak BA.
Kami dapati Pak BA sedang giat membersihkan lading cabenya di sawah kering tak jauh dari rumahnya.. Tanpa disuruh, kami ikut menyiangi tanaman plawija itu hingga pukul lima. Setelah itu kami dipersilakan naik ke atas rumah. Di sana telah menanti teh panas dan ubi jalar rebus yang disiapkan oleh Bu BA.
Kami bertiga disuruh melihat ke dinding, di sana terpajang sebuah almari panjang bertutup kaca penuh dengan buku. Tiba-tiba suara Pak BA uang berwibawa mengusik keheranan kami.
“Kalian harus baca semua buku di almari itu! Sanggup?”
Kami ketakutan dan terdiam. Saya mendegup air ludah, bahkan takut meminum the yang terhidang di depan saya.
“Kalian cuma membaca saja. Saya tidak suruh kalian mengarang buku sebanyak itu. Tau ndak kalian, orang-orang pintar telah menulis buku-buku. Kita tinggal membaca dan mempelajarinya dan memetik manfaatnya. Nah, kalau orang-oang pintar itu sudah pergi, kalianlah yang harus menulis buku-buku untuk diwariskan kepada generasi berikutnya.”
“Silakan diminum tehnya, nanti keburu dingin,” sela Bu BA.
Lalu, Pak BA mengambil sebuah buku tebal dan memperlihatkan kepada kami judulnya: Di Bawah Bendera Revolusi yang ditulis oleh Soekarno, Presiden RI waktu itu.
“Nah, kalau mau menjadi orang pintar, kalian kelak harus mampu menulis buku setebal ini. Tapi untuk menjadi pengarang buku, harus dimulai dengan banyak membaca. Sekarang, kalian boleh pilih buku untuk dibaca, masing-masing tiga judul. Kalau sekarang hari Sabtu, hari Senin sudah harus dikembalikan kepada saya pada jam istirahat pertama. Syaratnya, kalian harus bisa menceritakan kepada saya dengan ringkas tentang isi buku yang kalian baca. Harus bisa!”
Dalam perjalalan pulang naik sepeda, Fachri dan Arifin bersungut-sungut atas hukuman yang cukup aneh dari Pak BA. Sebaliknya saya justru merasa ini bukan hukuman, malah hadiah untuk membaca buku-buku sastra yang belum pernah saya baca. Saya memilih tiga judul buku, masing-masing: Selamat Jalan anak Kufur, kumpulan cerpen Utuy Tatang Sontani; Di Luar Dugaan, kumpulan cerpen Soewardi Idris; dan Titian Dosa di Atasnya, novel karya Motinggo Busye.
Hari Minggu sore saya sudah menamatkan ketiga buku itu. Tentu saja saya dapat menjawab semua pertanyaan Pak BA dengan baik. Malah saya minta tambah pinjaman buku. Tapi, saya justru ditantang untuk membuka perpustakaan sekolah. Di belakang lokal kami ada bekas gudang yang kosong, di samping kantin, akan dijadikan perpustakaan. Hari Senin pagi diumumkan bahwa semua siswa diwajibkan menyumbang sebuah buku, apapun judul danjenisnya untuk dijadikan koleksi perpustakaan sekolah. Hari Sabtu adalah hari untuk pinjam dan pengembalian buku. Saya ditujuk Pak BA sebagai ketua perpustakaan dibantu oleh Darmaliza, adik kelas saya yang berkacamata.
Saya banyak mendapat manfaat dari keberadaan perpustakaan itu. Saya berkenalan dengan pengarang-pengarang terkenal lewat karya-karyanya seperti Mochtar Lubis, AA Navis, Amir Hamzah, Chairil anwar, Armij Pane, Alex Leo Zulkarnaen. Sesekali Pak BA meminjamkan majalah Sastra kepada saya. Melalui majalah Sastra itulah saya mengenal nama HB Jasin, Mochtar Lubis dan Ajip Rosidi.
Naik kelas 3 STM, saya harus pulang ke Padang karena Buya pensiun dari PNS Kantor Urusan Agama (KUA) Kabupaten Solok. Di Padang, tepatnya di kelurahan Koto Panjang, saya kembali hidup sebagai anak kampung yang tidak punya kamar sendiri di rumah. Rumah hanya untuk ganti pakaian dan makan. Tidur harus di surau, sekalian mengerjakan PR sekolah. Mandi ke sungai lebar penuh bebatuan dan berair jernih, yang tidak jauh dari rumah ibu. Sehabis Subuh dan sarapan, berangkat naik sepeda ke sekolah berombongan dengan teman-teman sekampung menuju sekolah masing-masing. Sekolah saya berjarak 15 kilo dari rumah. Saya merasa tidak jauh, karena suasana bersama lebih membuat perasaan tenteram.
Ketika menjadi calon mahasiswa IKIP Padang 1969, kami dipelonco selama 10 hari. Dari pukul 07.00 berakhir pukul 22.00. Tiap hari, sehabis Magrib, semua regu (tiap regu 20 orang) harus tampil di pentas, memeragakan apa saja yang layak untuk tontonan. Regu saya hampir tiap malam jadi favorit. Akhirnya, saya tampil tunggal, jadi komika, dan sambutan para senior dan sesama cama sangat istimewa. Malah, baru muncul saja saya di atas panggung, semua orang sudah cekikikan tertawa. Sampailah pada saat terakhir, saya terpilih menjadi "King of The King" yang berhak membalaskan tindakan-tindakan senior yang dianggap kejam selama masa pelonco. Tapi, itu hanya simbolis saja, yang penting suasana gembiranya. Acara pelonco ditutup dengan membakar atribut topi dan papan nama sambil menyanyikan "Auld Lang Syne".
Saya sudah terlanjur terkenal di kalangan mahasiswa IKIP Padang pada masa awal saya menjadi mahasiswa jurusan Pendidikan Teknik Arsitektur FKT IKIP Padang itu. Saya ingat perkataan Buya, orang yang didengar suaranya ada 4 macam. Pertama, orang kaya raya yang bisa membayar siapa saja untuk kepentinganya. Kedua, politikus ulung. Ketiga orang cerdik cendekia, atau cendekiawan. Mungkin ia seorang ilmuwan atau guru yang ilmunya tinggi dan dihormati, dan keempat adalah pengarang terkenal. Meski pengarang tidak bertatap muka dengan pembacanya, tapi pembacanya membicarakan namanya dan meresapkan apa yang dikatakan oleh pengarang yang dikaguminya.
Saya merasa mampu menjadi pengarang terkenal. Begitulah setiap pagi, di kantin kampus selalu ada koran Haluan dan selalu ada pembacanya. Diam-diam saya kirim cerpen dan puisi ke koran Haluan yang merupakan koran terbesar di Padang waktu itu. Saya kirim naskah cerpen dan puisi saya ke Haluan melalui pos, meskipun dekat. Saya merasa malu datang ke kantor redaksi mengantarkan karangan kalau-kalau tidak dimuat. Eh, ternyata karangan saya dimuat. Saya terlambung sewaktu ada teman yang memuji cerpen saya.
Akhirnya saya menjadi lelaki muda yang selalu gelisah. Kegelisahan saya adalah kalau saya belum menulis sesuatu untuk saya publikasikan. Boleh dikatakan saya cemburu berat ketika Ashadi Siregar menulis cerbung Cintaku di Kampus Biru. Akhirnya saya juga menulis cerbung berlatar kampus, Setelah Impian Berlalu yang dimuat Haluan, pada 1971. Cerbung itu laris manis dibaca mahasiswa kampus saya. Honorariumnya saya belikan mesin ketik baru. Sebelumnya saya numpang-numpang mengetik di mana saja ada mesin ketik lagi nganggur, termasuk di TU Fakultas.
Kami, penulis-penulis muda Kota Padang punya grup diskusi sastra yang dinamakan “Study Club Sastra Krikil Tajam” yang sesekali mengundang penulis terkenal semisal AA Navis. Tapi, saya dibuat merasa kecut oleh sindiran AA Navis. “Kalau kalian masih menulis untuk lokal Sumatra Barat, itu belum pantas disebut sebagai sastrawan. Kita belum bisa duduk semeja. Baru boleh disebut sebagai penulis pemula, baru belajar menulis.” Lama saya mengidapkannya, tapi akhirnya justru memicu kreativitas saya menulis untuk media nasional seperti koran Kompas, Pelita, Suara Pembaruan, Suara Karya, dan majalah sastra Horison.
Berpegang pada sindiran AA Navis, diam-diam saya mengirim cerpen dan puisi ke media-media nasional itu hingga pada suatu kali cerpen saya dimuat Kompas tanpa sepengetahuan saya. Dari teman-temanlah saya tahu, bahwa cerpen Kompas edisi Minggu dua hari lalu adalah cerpen saya berjudul "Damai". Begitu juga cerpen-cerpen saya yang dimuat koran Suara Pembaruan, dan Pelita, saya ketahui setelah dua hari dimuat. Sementara puisi-puisi saya dimuat majalah sastra Horison dan majalah sastra Basis yang terbit di Surabaya.
Sejak itu, saya berani berhadapan dengan AA Navis. Dia tertawa lebar sambil menepuk-nepuk pundak saya, “Kamu hebat. Kamu termakan sindiran saya. Syukurlah, teman saya sesama sastrawan sudah bertambah seorang lagi, yaitu kamu. Kita sudah bisa duduk semeja.”
Saya merasa terlambung, dan sangat optimis untuk benar-benar menjadi penulis.
Meski begitu, untuk memenuhi tuntutan mata pencaharian yang memadai, saya nyambi menjadi wartawan di sela-sela menjadi pegawai negeri golongan II B dengan ijazah sarjana muda. Maklum, keluarga muda yang nekad menikah meski belum berpenghasilan pantas. Saya menikah dengan pacar saya, Meitra Aziz yang juga sarjana muda pendidikan Bahasa Inggris yang telah menjadi guru PNS.
Saya banyak mendapat kesempatan mengikuti seminar-seminar kebudayaan, terutama kebudayaan Minangkabau, di dalam dan luar negeri. Di mana-mana saya jumpai orang Minang perantau dengan sterotipe yang sama. Betapa pun kerenya seorang perantau Minang di rantau, ia senantiasa tampil keren. Kalau perlu, rantai arlojinya disepuh emas, meski ia hanya seorang pelayan rumah makan atau pedagang kaki lima. Yang paling khas adalah keterampilannya mengota atau bercerita, lebih-lebih kepada orang kampung yang baru datang seperti saya.
Gaya “Si Padang”, begitulah orang luar memanggilnya, rata-rata. Semua itu mencerminkan cara hidup hemat, yang dalam bahasa lainnya “pelit” Semua itu terungkap dala hasil penelitian untuk disertasi Soewarsih Warnaen (1981) tentang orang Minang di rantau yang sempat menghebohkan pemuka-pemuka masyarakat Minang yang merasa kebakaran jenggot.
Cerpen "Si Padang" yang saya tulis 1986 di Kompas adalah cerminan masyarakat Minang yang berusaha mencari nama di rantau dengan cara apa pun untuk dijual di kampung dengan memanfaatkan peluang jadi Bupati atau Gubernur. Pada waktu itu di Sumatra Barat sedang heboh-hebohnya pergantian jabatan Gubernur dan Bupati sehingga banyak perantau yang merasa mampu mencalonkan diri. Seperti halnya hasil penelitian Warnaen, cerpen itu juga banyak mendapat protes pembaca, terutama orang Minang. Beberapa minggu lamanya terjadi polemik di harian Kompas tentang cerpen "Si Padang".
Terlepas dari cerpen sebagai karya fiksi, bagaimanapun ia lahir dari cerminan masyarakatnya. Bagi saya, cerpen dapat dijadikan cermin, betapa pun buramnya manusia dapat melihat dirinya yang benjol-benjol. Begitulah dialektika budaya Minangkabau, selagi adat masih kukuh bertahan, ia merupakan sumber inspirasi anak-anaknya untuk selalu mempertanyakan dan menjinakkan terus menerus konflik-konflik yang timbul sepanjang zaman. Semua sudah tercermin dalam karya-karya Hamka, AA. Navis, Darman Moenir dan seterusnya.
Saya terkurung dalam budaya itu sambil terus menulis untuk melengkapi mata pencaharian saya, menghidupi keluarga, satu istri, Meitra Aziz yang telah menghadiahi saya tiga orang anak, Mohammad Isa Gauitama, Siti Inne Kemala, dan Bayu Ning Larasati yang telah memberi kami tujuh orang cucu. Saya tetap terkurung dalam budaya Minangkabau yang benci: benar-benar cinta! ***
Padang, 2003-2025
Tulisan reflektif ini dibacakan Harris Effendi Thahar saat peringatan 75 tahun usianya pada Sabtu, 4 Januari 2025 di Audiorium Gubernur Sumatera Barat. Kegiatan ini diinisasi Hamas pimpinan Isa Kurniawan.