padang sibusuak
Sijunjung, sumbarsatu.com--Galanggang Arang #5 Sijunjung yang digelar 26-27 Juli 2024 disebar di Stasiun Padang Sibusuk, Stasiun Muaro (Logas), Gedung Joeang 45, Balairuang Lansek Manih, dan Ruang Terbuka Hijau (RTH) Muaro Sijunjung.
Kegiatan tersebut mengangkat tema “WTBOS dalam Ingatan Kolektif Masyarakat Sijunjung: Perjumpaan antara Tradisi, Modernitas, dan Nasionalisme.”
Kurator PIC Galanggang Arang Dede Pramayoza mengatakan Galanggang Arang #5 Sijunjung ini dipusatkan di Nagari Muaro dan Nagari Padang Sibusuak. Pada tahun sebelumnya kegiatan ini dilaksanakan di Nagari Durian Gadang.
Stasiun Padang Sibusuk dan Stasiun Muaro bersama dengan Situs Lokomotif Uap dan Kuburan De Greeve di Nagari Durian Gadang, tentunya merupakan situs-situs yang tidak bisa dilepaskan dari narasi besar WTBOS di Kabupaten Sijunjung.
"Sebagai suatu tinggalan kolonial, berbagai situs WTBOS di Sijunjung diyakini menyimpan banyak kisah sejarah, yang di satu sisi mencerminkan penderitaan dan penindasan yang dialami oleh masyarakat Sijunjung, namun di sisi yang lain adalah penanda penting dari pertemuan masyarakat Sijunjung dengan dunia baru atau dunia modern," ujarnya, Kamis (25/7/2024) di Muaro Sijunjung.
Semua itu, kata Dede, tersimpan dalam memori kolektif atau kumpulan ingatan dan pengalaman bersama masyarakat Sijunjung, diyakini sebagai bagian penting dari identitas kolektif sekaligus sumber solidaritas masyarakat Sijunjung.
"Memori kolektif atas WTBOS itu diharapkan dapat menjadi sumber inspirasi bagi penciptaan produk-produk kreatif dan ekspresi budaya di masa kini. Juga memperkaya ekspresi dari kesenian tradisional yang tumbuh di nagari-nagari di Sijunjung. Tentunya terkait erat dengan budaya, adat istiadat, dan kehidupan sehari-hari masyarakat Sijunjung," ungkapnya.
Lebih lanjut Dede mengatakan apalagi mengingat bahwa sanggar-sanggar seni dan komunitas budaya Sijunjung kini selain memainkan reportoar-reportoar tradisi, juga mulai mengembangkan berbagai bentuk kesenian tradisi modern yang diistilahkan dengan karya kreasi.
Diharapkan berbagai bentuk dan corak kesenian dan ekspresi budaya dalam ekosistem kebudayaan Sijunjung dapat diperkaya dengan narasi WTBOS melalui kegiatan Galanggang Arang ini.
Berbagai situs, atribut, dan properti WTBOS di Kabupaten Sijunjung hendak didorong menjadi hulu untuk memproduksi karya-karya baru, kemudian menghidupkan ekosistem kebudayaan Sijunjung secara luas.
Rangkaian Galangang Arang di Sijunjung
Selama dua hari itu Galangang Arang di Sijunjung diisi dengan pameran, tur kuratorial, story telling, diskusi, napak tilas, musyawarah budaya, lokakarya, seni pertunjukan, pemutaran film, dan pertunjukan.
Pameran artefak budaya akan menampilkan foto-foto, benda-benda bersejarah, dan seni instalasi di Sijunjung sebagai bentuk rekaman memori kolektif masyarakat Sijunjung atas WTBOS. Pameran diikuti dengan tur kuratorial untuk memperdalam pemahaman atas berbagai artefak budaya yang ditampilkan.
Kemudian dilanjutkan dengan napak tilas yang menghubungkan dua situs WTBOS di Kabupaten Sijunjung, yakni Stasiun Padang Sibusuak dan Stasiun Muaro (Logas).
Selepas itu digelar diskusi dengan tema "Masuknya Modernisme dan Kebangkitan Nasionalisme di Sijunjung" untuk memberikan kesempatan bagi pengunjung memperdalam wawasan tentang WTBOS di Sijunjung dan memori kolektif yang menyertainya. Diskusi yang terbuka untuk umum ini dipantik oleh Fikrul Hanif Sufyan dan Deddy Arsya dengan moderator Thendra BP.
Selain itu penampilan cerita (story telling) WTBOS dari dua anak nagari Sijunjung yakni Liswarti (Anak Mandor Dula, Pegawai Stasiun KA Padang Sibusuak) dan Bujang Nasrul (warga sekitar Stasiun Muaro).
Pada malam harinya dilaksanakan pemutaran film bekerjasama dengan Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah III Sumatera Barat di RTH Muaro Sijunjung, yaitu film dokumenter Rimbo Paru Dilingkuang Adat, film drama Mamak jo Kamanakan, dan film dokumenter Kaba Baro.
Pada hari kedua diisi dengan musyawarah budaya yang dirancang untuk membaca ekosistem dan berbagai persoalan pengembangan budaya di Sijunjung hari ini. Peserta musyawarah budaya adalah sanggar-sanggar pelaku kesenian tradisi dengan fasilitator Puji Basuki (Kadis Dikbud), Afrineldi (Kadis Parpora), dan Dede Pramayoza (Kurator Galanggang Arang).
"Melalui musyawarah ini berbagai persoalan diharapkan dapat dicarikan jalan keluar secara bersama untuk menjamin terjadinya pelestarian, pembinaan, dan pengembangan serta pemanfaatan objek pemajuan kebudayaan (OPK) di Sijunjung," terang Dede.
Pada sore harinya, kegiatan dilanjutkan dengan Lokakarya seni pertunjukan mengambil tema: “Warisan Dunia WTBOS Sebagai Sumber Penciptaan Karya Seni Pertunjukan Baru Berbasis Tradisi Sijunjung.” Lokakarya ini mempertemukan kelompok-kelompok kesenian di kabupaten Sijunjung dengan pelaku kesenian modern dan kontemporer, yakni Yola Yulfianti (Institut Kesenian Jakarta/IKJ, Indonesia) dan Claudia Bosse (Translokal Performative Akademy/TPA, Austria).
"Dari lokakarya ini diharapkan akan terbuka berbagai kemungkinan pengembangan kesenian tradisi di Sijunjung," kata Dede.
Kegiatan puncak adalah pertunjukan dari berbagai kelompok atau sanggar kesenian tradisi Sijunjung, yang sekaligus menjadi penutupan rangkaian Galanggang Arang di Kabupaten Sijunjung.
Kegiatan Galanggang Arang #5 Sijunjung ini merupakan bagian dari rangkaian Galanggang Arang yang sebelumnya digelar di Padang, Solok, Sawahlunto, dan Padang Pariaman.
Galanggang Arang merupakan kegiatan aktivasi terhadap Warisan Budaya Dunia WTBOS, yang dikoordinir oleh Direktorat Pengembangan dan Pemanfaatan Kebudayaan (PPK), Direktorat Jenderal Kebudayaan. Kegiatan ini sekaligus adalah wujud kolaborasi Direktorat Jenderal Kebudayaan dengan 8 pemerintah kota dan kabupaten, Pemprov Sumatera Barat, Direktorat Jenderal Perkeretaapian, PT KAI, PT Bukit Asam, dan PT Pelindo. (SSC/Thendra)