Pertunjukan Bala Bhumi: Teater yang Menyebut Manusia sebagai Biang Bencana

SELASA MALAM DI ISI PADANG PANJANG

Minggu, 21/12/2025 00:07 WIB
Proses latihan pertunjukan teater Bala Bhumi naskah dan sutradara Afrizal Harun. foto denny cidaik

Proses latihan pertunjukan teater Bala Bhumi naskah dan sutradara Afrizal Harun. foto denny cidaik

 

Padang Panjang, sumbarsatu.com— Krisis ekologis dan rusaknya bumi yang kian nyata menjadi pijakan lahirnya Bala Bhumi, teater kontemporer garapan Afrizal Harun yang akan dipentaskan di Auditorium Boestanul Arifin Adam, Institut Seni Indonesia Padang Panjang, Selasa malam, 23 Desember 2025.

Proses garapan Bala Bhumi sudah dilakukan sejak Agustus lalu dihadirkan sebagai respons artistik atas kerusakan bumi  yang semakin parah dan tak terbendung. Teater ini menyebut, semua persoalan itu berhulu pada perilaku dan ulah manusia yang merusak ekosistem ekologis. Manusia sebagai biang bencana.

“Bala Bhumi berangkat dari kegelisahan atas bumi yang terus dieksploitasi. Hutan digunduli, laut tercemar, udara kian beracun—petaka yang tak lagi bisa dibaca sebagai metafora,” kata Afrizal Harun, sutradara dan sekalgus penulis naskah kepada sumbarsatu, Sabtu (20/12/2025).  

Bagi Afrizal Harun, bencana ekologis hari ini bukan semata siklus alam, melainkan akibat langsung dari ulah manusia yang menjadikan alam sebagai objek penjarahan. Ambisi ekonomi, kepentingan kekuasaan, dan kerakusan kolektif telah melahirkan kehancuran ekosistem yang dampaknya dirasakan luas oleh masyarakat.

Pertunjukan ini tidak bertumpu pada alur dramatik konvensional. Bala Bhumi dibangun melalui pendekatan teater pascadramatik, di mana tubuh, ruang, bunyi, dan visual menjadi bahasa utama. Tubuh para performer bergerak antara bentuk realistik dan koreografis, kadang distorsif, kadang menyerupai makhluk lain, sebagai metafora relasi manusia dengan alam yang kian timpang. Narasi puitik hadir tidak untuk menjelaskan, melainkan menggugah kesadaran.

Secara estetik, Afrizal menggabungkan konsep pamenan (permainan) dalam adat dan budaya Minangkabau—kekuatan kata, rupa, dan bunyi—dengan eksplorasi multimedia. Pencahayaan, properti, musik ilustrasi, efek bunyi, hingga visual art diperlakukan bukan sebagai pelengkap, melainkan sebagai peristiwa artistik yang berdiri sejajar dengan tubuh performer. Ruang dan waktu dipresentasikan secara simbolik, membuka kemungkinan tafsir yang luas bagi penonton.

Isu yang diangkat Bala Bhumi berkelindan dengan realitas global dan nasional. Kerusakan lingkungan, deforestasi, pencemaran laut, krisis air bersih, hingga polusi udara telah menjadi ancaman serius bagi kehidupan.

Dalam konteks Indonesia, persoalan-persoalan itu bukan lagi wacana, melainkan pengalaman sehari-hari. Melalui panggung, Bala Bhumi menghadirkan refleksi kritis atas situasi tersebut, sekaligus mempertanyakan posisi manusia dalam relasinya dengan alam.

Lebih dari sekadar pertunjukan, Bala Bhumi memosisikan teater sebagai ruang kesadaran. Ia tidak menawarkan solusi instan, tetapi mengajak penonton untuk menyadari bahwa bala yang menimpa bumi adalah cermin dari tindakan manusia sendiri. Dalam sunyi dan hiruk bunyi panggung, tubuh-tubuh performer menjadi saksi sekaligus pengingat: ketika alam dilukai, manusia tak pernah benar-benar berada di luar lingkaran bencana.

Pertunjukan ini diproduksi oleh Rumah Kreatif AFFAN dengan dukungan penuh Komunitas Seni Hitam-Putih Sumatera Barat, LP2M Institut Seni Indonesia Padang Panjang, UPA Ajang Institut Seni Indonesia Padang Panjang, dan Program Studi Seni Teater Institut Seni Indonesia Padang Panjang

Kerja Kolektif

Produksi Bala Bhumi digerakkan oleh kerja kolektif lintas disiplin yang saling menguatkan. Di bawah kepemimpinan produksi Maharani Saputri, seluruh proses kreatif dirajut dengan koordinasi yang rapi, memastikan gagasan artistik dapat terwujud secara utuh di atas panggung.

Peran dramaturg Sahrul N menjadi penopang penting dalam merumuskan struktur pertunjukan, menjaga benang merah gagasan, sekaligus menajamkan konteks tematik yang diusung karya ini.

Afrizal Harun bertindak sebagai sutradara sekaligus penggagas utama Bala Bhumi. Melalui pendekatan teater tubuh dan pascadramatik, ia mengarahkan keseluruhan elemen pertunjukan agar bergerak dalam satu visi: menghadirkan refleksi kritis tentang relasi manusia dan kerusakan lingkungan.

Di atas panggung, sembilan performer—Ahmad Ridwan Fadjri, Faridho Yuda, Trisiyah Wahyuni, Achmad Ghozali Idham Muttakin, Yogi Terta, Rama Herdias, Dewi Safitri, Putry Wulandari, dan Hafizatul Rahmi—menjadi medium utama penyampaian gagasan. Tubuh mereka bekerja sebagai teks, menyuarakan kegelisahan ekologis melalui gestur, ritme, dan intensitas gerak yang terus bertransformasi sepanjang pertunjukan.

Pengawasan artistik berada di tangan Yusril Katil, yang memastikan setiap elemen visual dan performatif tetap berada dalam koridor estetika yang dirancang.

Penataan artistik digarap oleh Puspita Sari, membangun atmosfer panggung yang selaras dengan tema kerusakan lingkungan. Lapisan bunyi dan musik dihadirkan oleh Avant Garde Dewa Gugat, yang meramu komposisi musikal dan efek suara sebagai penanda emosi sekaligus penegas situasi dramatik.

Gerak para performer dirancang secara kolaboratif oleh Dewi Safitri, Achmad Ghozali Idham Muttakin, dan Ahmad Ridwan Fadjri, memadukan ketubuhan teater dengan pendekatan koreografis yang ekspresif.

Tata cahaya karya Dedi Darmadi memainkan peran krusial dalam membangun suasana, menandai perubahan ruang dan emosi, serta memperkuat simbol-simbol visual di atas panggung.

Eksplorasi visual art ditangani oleh Renaldis Fazriansyah melalui pemanfaatan multimedia yang merespons isu ekologis secara kontekstual. Identitas visual pertunjukan diperkuat melalui desain publikasi oleh Yudi Leo, sementara keseluruhan proses dan momen penting pementasan diabadikan oleh Denny Cidaik dan Yudhi Prima melalui dokumentasi.

“Keseluruhan tim ini bekerja sebagai satu kesatuan, menjadikan Bala Bhumi bukan sekadar hasil kerja individu, melainkan peristiwa artistik kolektif yang lahir dari kesadaran bersama atas krisis lingkungan yang dihadapi hari ini,” jelas Maharani Saputri, pemimpin produksi. ssc/mn



BACA JUGA