Jembatan Melaka–Dumai: Jalan Pintas Pembangunan atau Jebakan Oligarki?

Minggu, 28/12/2025 10:05 WIB

OLEH Bobby Ciputra – Ketua AMSI – Angkatan Muda Sosialis Indonesia

APAKAH jembatan Melaka–Dumai yang akan dibangun benar-benar bertujuan mendekatkan rakyat, atau justru mendekatkan modal demi keuntungan oligarki?

Pertanyaan ini penting, sebab rencana pembangunan jembatan yang menghubungkan Melaka di Malaysia dengan Dumai di Sumatra, Indonesia, akan menyentuh jantung Selat Malaka—salah satu jalur pelayaran terpenting di dunia—serta membawa implikasi politik, ekonomi, dan geopolitik yang jauh melampaui jarak fisiknya.

Kegagalan Melaka Gateway dan Ambisi Politik Melaka

Mengapa sebuah negara bagian kecil di Malaysia, yang tenggelam dalam utang federal, tiba-tiba bermimpi membangun jembatan sepanjang 47 kilometer melintasi salah satu jalur pelayaran tersibuk di dunia?

Pada November 2020, Melaka mengubur Melaka Gateway, proyek pelabuhan senilai 10,5 miliar dolar AS yang didukung Tiongkok. Tiga pulau buatan, pelabuhan laut dalam, hotel mewah, dan bianglala raksasa dirancang untuk menantang dominasi maritim Singapura.

Namun, proyek tersebut runtuh di bawah pengawasan Perdana Menteri Mahathir Mohamad, yang secara blak-blakan menyatakan, “Kami tidak membutuhkan pelabuhan lagi.” Di balik skeptisisme itu tersimpan kekhawatiran yang lebih dalam: Malaysia menggadaikan kedaulatannya demi Belt and Road Initiative (BRI) Tiongkok.

Hari ini, Melaka terjepit. Di utara terdapat Kuala Lumpur dan Port Klang, di selatan Johor dan Singapura. Melaka tertinggal dan kehilangan peran strategisnya sebagai simpul perdagangan global seperti pada era Kesultanan dahulu. Empat tahun kemudian, Ketua Menteri Melaka, Ab Rauf Yusoh, menghidupkan kembali ambisi serupa dengan wajah berbeda: bukan pulau buatan, melainkan jembatan menuju Dumai, Indonesia.

Ab Rauf bukan politisi biasa. Seorang fisikawan yang mendirikan Asia Lab Malaysia Sdn. Bhd. pada 1985—laboratorium riset nuklir swasta pertama di Malaysia—ia berpindah mulus dari dunia laboratorium ke ruang rapat korporasi: Europlus Berhad, konsultan IBM, World Trade Centre Kuala Lumpur, hingga akhirnya masuk ke mesin politik UMNO. Sebagai Ketua Investasi dan Industri, ia berhasil mendatangkan investasi semikonduktor Infineon Technologies senilai 3,5 miliar dolar AS ke Melaka.

Dalam politik Malaysia, proyek raksasa kerap menjadi alat legitimasi. Mahathir memiliki Putrajaya, Najib Razak memiliki Iskandar Malaysia. Kini, Ab Rauf tampaknya ingin dikenang melalui jembatan lintas negara. Ia memahami bahwa dalam politik modern, infrastruktur sering kali identik dengan warisan kekuasaan.

Namun, proposal jembatan ini tidak dapat dilepaskan dari kegagalan Melaka Gateway. Proyek tersebut diinisiasi Najib Razak pada 2014 dan didukung PowerChina serta perusahaan milik negara Tiongkok lainnya. KAJ Development, pengembang lokal, menjanjikan 45.000 lapangan kerja dan 2,5 juta wisatawan.

Yang terjadi justru kehancuran lingkungan, sedimentasi masif yang mengancam Permukiman Portugis, serta meningkatnya kemarahan publik. Ketika Mahathir kembali berkuasa pada 2018, ia mencabut izin operasi proyek tersebut. Setelah melalui pertarungan hukum, izin sempat dikembalikan, namun akhirnya proyek dihentikan pada 2020 karena “gagal menyelesaikan proyek”.

Mahathir melihat sesuatu yang luput dari perhatian publik. Melaka Gateway bukan soal kepentingan rakyat Malaysia, melainkan respons terhadap Malacca Dilemma yang menghantui Tiongkok. Sekitar 80 persen impor minyak Tiongkok melewati selat sempit selebar 2,8 kilometer ini—jalur yang sangat rentan terhadap blokade Angkatan Laut Amerika Serikat jika konflik Taiwan pecah.

Dengan mendorong investasi dan kontrol Tiongkok melalui Melaka Gateway, Mahathir menilai Malaysia berisiko menjadi pion dalam papan catur persaingan kekuatan besar dunia, bukan lagi negara berdaulat yang menentukan arah strategisnya sendiri.

Permainan yang Sama dengan Papan Baru

Jembatan Melaka–Dumai menghidupkan kembali logika geopolitik lama dengan kemasan baru. Ab Rauf secara eksplisit menyebut “Satu Sabuk, Satu Jalan”—terminologi resmi BRI Tiongkok—yang menandakan bahwa proyek ini bukan sekadar infrastruktur bilateral.

Dengan estimasi biaya 15–20 miliar dolar AS, Melaka bahkan telah menganggarkan RM500.000 untuk studi kelayakan yang dijadwalkan berlangsung pada Januari 2026. Padahal, pembangunan negara bagian ini masih bergantung pada hibah federal, bahkan untuk memperbaiki jalan lokal, sebagaimana disoroti pemimpin oposisi Yadzil Yaakub. Pertanyaannya: siapa yang akan membiayai megaproyek ini?

Polanya familiar dalam proyek-proyek BRI di Asia. Pertama, konsorsium swasta mengusulkan proyek. Kedua, pemerintah tuan rumah menandatangani perjanjian. Ketiga, bank-bank Tiongkok menyediakan pinjaman.

Keempat, kontraktor Tiongkok membangun infrastruktur. Negara tuan rumah kemudian mewarisi utang. Ketika proyek gagal secara komersial, pemerintah dihadapkan pada pilihan pahit: gagal bayar dan kehilangan aset—seperti Pelabuhan Hambantota di Sri Lanka—atau membebani pembayar pajak dengan dana talangan.

Ab Rauf menyebut proposal jembatan ini berasal dari “sektor swasta”. Dalam ekonomi politik Malaysia, frasa tersebut sering kali menjadi kode. “Sektor swasta” dapat berarti konglomerat terkait UMNO, raksasa konstruksi seperti MMC Corporation atau Gamuda yang diuntungkan oleh konsesi pemerintah.

Bisa pula berarti investor Tiongkok yang mencari pijakan strategis. Proses tender berpotensi tidak transparan, dengan kepentingan elite lebih dominan dibanding kepentingan publik.

Dari pihak Melaka, ilusi ekonomi terus dijual: waktu tempuh Malaysia–Indonesia dipangkas menjadi 40 menit, perdagangan meningkat, 20.000–50.000 lapangan kerja tercipta, serta pembangunan zona industri seluas 5.000 hektare di Masjid Tanah. Dumai diklaim akan menjadi gerbang bagi 60 juta penduduk Sumatra, sementara Melaka merebut kembali peran historisnya sebagai pusat perdagangan.

Namun, realitasnya berbicara lain. Total perdagangan bilateral Malaysia–Indonesia hanya berkisar 12–15 miliar dolar AS per tahun, jauh di bawah perdagangan Malaysia–Tiongkok yang mencapai 212 miliar dolar AS. Dumai, dengan populasi sekitar 300.000 jiwa, bukan Jakarta atau Surabaya. Kota ini belum memiliki basis industri kuat, tenaga kerja terampil, maupun infrastruktur logistik yang memadai untuk menopang sebuah megajembatan.

Kondisi jalan Dumai–Pekanbaru bahkan dikenal sebagai salah satu jalan provinsi terburuk. Perjalanan yang seharusnya memakan waktu dua jam kerap membengkak hingga lima jam.

Agar proyek jembatan Melaka–Dumai layak secara ekonomi, Indonesia harus lebih dahulu membangun fondasi konektivitas internal Sumatra: jaringan jalan tol, pelabuhan terpadu, rel kereta logistik, serta kawasan industri bernilai tambah. Tanpa fondasi ini, jembatan hanya akan memindahkan kemacetan dari laut ke darat, bukan menciptakan pertumbuhan yang berkeadilan.

Dalam skenario terburuk, barang manufaktur Malaysia akan membanjiri pasar Riau, sementara industri lokal terdesak sebelum sempat tumbuh. Pada saat yang sama, komoditas mentah Indonesia—seperti minyak sawit mentah, karet, dan batu bara—akan terus mengalir ke utara untuk diolah di pabrik-pabrik Malaysia, memperpanjang pola lama ekonomi ekstraktif.

Pembangunan di Riau seharusnya bergerak menuju kedaulatan ekonomi yang berkeadilan. Riau harus bertransformasi menjadi pusat industri regional, bukan terjebak selamanya sebagai wilayah penyangga pemasok bahan mentah. *


 



BACA JUGA