Zatako, Wartawan Olahraga yang Unik

-

Senin, 06/11/2023 12:01 WIB
Zainuddin Tamir Koto alias Zatako

Zainuddin Tamir Koto alias Zatako

PENAMPILAN eksentrik. Di bahu kiri tersandang tas besar. Isinya pakaian, foto-foto hasil cetakan dan beberapa koran. Di dada tergantung kamera foto merek Pentax. Kepalanya selalu tertutup topi atau peci. Sementara jari jemarinya dipenuhi cincin batu akik, di pergelangan kanan ada gelang dari kayu laut akar bahar.

Bagi kalangan yang sering menonton pertan­dingan bola era Perserikatan dan Galatama, tahun 1980-an hingga tahun 2000, sosok lelaki ini sudah tidak asing lagi. Ia senantiasa terlihat di berbagai lapangan pertandingan sepakbola.

Nama lengkapnya Zainuddin Tamir Koto, biasa disingkat dan akrab dipanggil Zatako. Lebih dikenal sebagai wartawan olahraga. Padahal asalnya dia seniman tulen.

Zainuddin alias Zatako lahir di Gasan Ketek, Tiku, Agam, tapi selalu mengaku orang Pariaman, Sumatera Barat, 14 Desember 1941, dan wafat di Medan tahun 2011 dalam usia 70 tahun.

Zatako tinggal Medan sejak usia 5 tahun setelah ayahnya  merantau ke kota itu. Ia mendapatkan pendidikan SD di Jalan Japaris Medan, SMP Negeri 4 Medan dan SMA Negeri V Medan Bagian A (kebudayaan). Setamat SMA, Zatako sempat menjadi mahasiswa di Fakultas  Hukum Universitas Pancabudi Medan, namun tidak selesai karena lebih menikmati diri sebagai penyair.

Konon, nama Zatako merupakan nama pena pemberian Bundo Ani Idrus, Pemimpin Umum dan Pemimpin Redaksi Harian Waspada pada 3 Mei 1964. Alkisah, saat itu Zatako mengirim beberapa puisinya ke Harian Waspada dengan nama pencipta Zainuddin Tamir Koto. Tapi oleh Bundo Ani, namanya disingkat menjadi Zatako ketika puisinya diterbitkan. Mungkin agar terdengar unik dan komersial. Zainuddin menyukai nama itu, terus ia pakai selanjutnya.

Zatako mulai menulis puisi sejak SMP. Puisi pertamanya berjudul Berjasa dan diterbitkan di Mingguan Patriot tahun 1958. Semenjak puisi itu dimuat dia semakin bersemangat menulis puisi. Keasyikan­nya di dunia sastra membuat dia tidak meneruskan pendidikannya di Fakultas Hukum Universitas Pancabudi Medan tetapi secara oto­di­dak dia mempelajari sastra dengan tekun.

Puisi-puisi lepasnya juga banyak dimuat di Majalah Basis Yogyakarta, Majalah Zaman, Horison, Selecta, dan Violeta yang terbit di Jakarta.

Kumpulan puisinya Bayonet, Mesranya Kata Merdunya Suara, dan Matahari, diterbitkan oleh penerbit di Jakarta. Sedangkan antologi puisinya Angku Gadang diterbitkan PT Sinar Agung Medan. Selain menulis puisi, Zatako juga menulis cerita pendek dan novel. Kumpulan cerpennya yang telah diterbitkan adalah Air Zam-zam, sedangkan  novelnya berjudul Hastatie Menteng.

Selain penyair, Zatako dikenal sebagai wartawan olahraga tapi ia  juga pernah main film layar lebar yang berjudul “Kutukan Nyi Roro Kidul” di mana ia berperan sebagai dukun.

Sebagai wartawan, Zatako memilih bidang liputan olahraga. Selain berbagai iven olahraga dalam negeri, ia juga aktif meliput SEA Games d Kuala Lumpur Malaysia, dan mendapat  Anugerah Pin Emas dari panitianya. Ia juga meliput SEA Games di Vietnam.

Sebagai wartawan olahraga, Zatako mengantongi kartu identitas (ID) Asociation Internasional Press Sportive ( AIPS) atau kartu wartawan olah raga internasional.

Selain aktif meliput seluruh iven SEA Games dan Asian Games, Zatako juga pernah  meliput iven Olimpaide dan Piala Dunia di Argentina dan di Jerman Barat.

Sedangkan di Indonesia, hampir tidak ada lapangan sepakbola yang tidak dia datangi. Ada cerita lucu tapi menyedihan sepanjang Zatako menjalankan tugas liputan sebagai wartawan olah raga. Ia sempat dihajar masa supporter kesebelasan PSIS Semarang di stadion Semarang. Pasalnya, karena penampilannya yang unik, Zatako disangka dukun oleh supporter fanatik PSIS saat laga PSIS versus Semen Padang.

Waktu itu, Zatako berdoa untuk pemain Semen Padang yang akan mengambil ancar-ancar melakukan tendangan penalti. Karena itu, ia disangka supporter PSIS adalah dukun PS Semen Padang. Ia pun dihajar ramai-ramai sampai nyaris babak belur.

Sebagai orang Minang, Zatako memang fanatis dengan klub kampung halamannya. Pada masa aktifnya sebagai wartawan, ke mana pun PS Semen Padang bertanding, dia selalu hadir meliput sekaligus supporter. Tapi jelas bukan sebagai dukun. Hal yang sama juga ia lakukan ketika PSP Padang jaya-jayanya dan berlaga di Divisi Utama PSSI.

Aktivitasnya sebagai wartawan olahraga ia jalani sampai akhir hayatnya. Zatako meninggal akibat menderita penyakin ginjal dan diabetes. Tapi dua minggu sebelum meninggal, wartawan yang selalu mengenakan rompi dan topi baret itu masih aktif berburu berita dan menjalani rutinitas sebagai wartawan olahraga. Zatako jatuh pingsan pada saat melakukan tugas liputannya, lalu diantar pulang oleh rekan-rekan wartawan. 

Mulanya ia hanya beristrahat di rumah dan berobat jalan ke dokter. Tapi keadaan fisik Zatako yang mulai melemah membuat keluarganya segera membawanya ke rumah sakit. Zatako sempat dirawat sehari di rumah sakit H. Adam Malik Medan,  dan meninggal pada 10 Desember 2011 dalam usia 70 tahun.

Kurang tiga pekan setelah kematiannya, Zatako mendapat pengharagaan kesetiaan kepada profesi dari Pemerintah Provinsi Sumatera Utara yang diserahkan kepaa keluarganya oleh Gubernur Gatot Pujo Nugroho pada tanggal 29 Desember 2011 kepada putra bungsunya  Muhammad Laksamana Mahardika Zatako. (Indra Sakti Nauli)

 

Disadur dari buku 121 Wartawan Hebat dari Ranah Minang & Sejumlah Jubir Rumah Bagonjong (2018)

 



BACA JUGA