mitos-ibu-hamil-korea
OLEH Ivan Adilla (Dosen Jurusan Sastra Indonesia FIB Unand)
Kampung di dekat kampus kami punya cara yang unik untuk merayu orang agar mau punya anak. Pemerintah membangun jogging track untuk ibu hamil. Jalurnya berupa jalan setapak sepanjang seribu meter, diselingi jembatan kayu yang kuat dekat tebing berpanorama indah. Sepajang jalur ini dihiasi gambar-gambar tentang proses jabang bayi dalam perut ibunya. Juga petunjuk penting sekitar kehamilan.
Hampir setiap minggu, saya dan Iwan, teman asal Malaysia, melewati jalur ini untuk berolah raga. Meskipun kami tidak (mungkin) hamil, tapi tidak ada yang memprotes kenapa kami memakai jalur khusus itu. Lagi pula, tak pernah kami bertemu dengan ibu hamil yang berolahraga di sana.
Pengguna terbanyak adalah wanita sepuh yang memang suka jogging di daerah ini. Mereka berolahraga dengan dandanan lengkap dan rapi. Memakai barang dan alat olahraga model terbaru. Namun begitu, tentu saja nenek-nenek itu tak mungkin hamil. Jadi, keberadaan jalur ibu hamil di tengah hutan ini sungguh mengherankan.
“Saya juga tak mengerti kenapa ada jalur ibu hamil di hutan dekat kampus,” jawab Bu Song, ketua Jurusan Indonesia, ketika saya bertanya tentang hal itu. Jawaban serupa kami terima dari kolega lain, maupun mahasiswa. Gagal menemukan jawaban yang memuaskan, sahabat saya asal Malaysia, membuat perkiraan jawaban sendiri. “Mungkin untuk membujuk orang Korea agar menikah dan segera hamil,” katanya.
Kota Changwon, di Provinsi Gyeongsang Selatan, punya cara yang lebih menggiurkan. Pemerintah kota itu akan memberikan pinjaman sebesar 100 juta KW, sekitar 12 miliar rupiah, untuk semua pasangan yang menikah dan tinggal di kota itu. Jika pasangan baru itu punya anak pertama, maka ia dibebaskan dari bunga pinjaman. Jika lahir anak yang kedua, maka pinjaman itu dipotong tiga puluh persen. Jika punya tiga anak, maka pinjaman itu dianggap hibah alias tidak perlu dibayar.
Orang Korea punya cara unik dalam menghitung usia. Dalam tradisi di Korea, usia manusia dihitung sejak dia berada dalam kandungan ibunya.
“Masa kehamilan dihitung satu tahun, meski ibu saya hanya hamil selama sembilan bulan saja,” jelas Ji-Hyan. Jadi begitu sang bayi lahir, umurnya dihitung satu tahun.
Setelah bayi lahir, tentu sang jabang bayi perlu diberi nama. Ada dua bagian nama. Pertama adalah nama keluarga atau marga, seperti Lee, Kim, Song, Park dan lainnya. Kedua adalah nama kecil seperti Jiwon, Seung, Hyen, Hok Jin, dan sebagainya.
“Begitu saya lahir, ibu bercerita, kakek saya segera menemui seorang tua yang membuka jasa pemberian nama dekat istana Gyeobuk-gong. Pulang dari sana kakek membawa tiga daftar nama. Dan orang tua saya memilih nama ini dengan harapan saya akan menjadi intelektual di masa dating,” ujar Jooyeon.
Rupanya ada ‘orang pintar’ yang profesional yang keahliannya membei nama anak. Mereka dipercaya memiliki kemampuan spiritual untuk mengetahui bakat dan masa depan sang bayi. Untuk memilihkan nama bayi, ia hanya perlu informasi tentang marga, hari dan jam lahir, dan serta ciri khusus.
“Kadang mereka menggunakan kartu taroot untuk menentukan nama yang cocok. Pada umumnya nama di Korea sesuai dengan harapan sang orang tua,” jelas Jooyeon.
Orang Korea suka sekali dengan anak-anak. Jika ketemu anak-anak, siapa saja suka memberi hadiah. Entah biskuit, permen, buah, atau mainan. Beda dengan kita di Indonesia yang suka memberi uang, di Korea anak-anak tidak pernah diberi uang oleh orang dewasa.
Anak juga amat dilindungi dan diberi prioritas. Siapa pun dilarang mengambil foto anak tanpa izin orang tua. Di bus umum, anak dan orang tua selalu mendapat prioritas. Jika kursi penumpang penuh, misalnya, maka penumpang remaja akan berdiri dan memberikan tempat duduknya pada anak-anak yang baru naik. Jika ada anak atau orang tua yang berdiri, maka sopir akan meminta penumpang lain memberi tempat duduk untuk mereka. Jangan harap menemukan anak-anak yang mengeluarkan kepala atau tangan di jendela mobil. Apalagi bergelayutan di pintu mobil atau duduk ramai-ramai di atap mobil sepulang sekolah.
Aturan lainnya yang agak unik; polisi dilarang menangkap orang tua yang sedang bersama dengan anaknya.
“Menurut orang Korea, penangkapan di depan anak dapat menimbulkan trauma dalam diri anak,” jelas Wahid, pekerja asal Jawa Tengah.
Terkait aturan demikian, ada kisah menarik dari Anik, seorang pekerja asal Sragen, Jawa Tengah.
Kata Anik, ada seorang wanita asal dari Kota Padang Panjang, Sumatra Barat. Upik, sebut saja begitu, awalnya datang dan bekerja di Korea sebagi pekerja legal. Beberapa tahun bekerja, ia ketemu jodoh dengan laki-laki asal Sumatra juga. Namun pernikahan mereka tak bertahan lama, dan punya seorang anak laki-laki. Sejak itu Upik menjadi orang tua tunggal di rantau.
Setelah masa izin tinggalnya habis, Upik bekerja sebagai penyalur rokok kretek yang didapatnya secara ilegal melalui pekerja, wisatawan, bahkan pramugara yang datang ke Korea. Rokok kretek asal Indonesia itu kemudian disalurkannya ke toko-toko kecil di sekitar wilayah tempat tinggalnya.
Sebagai overstayed, Upik harus berhati-hati keluar rumah agar tak ditangkap petugas. Maka ia menjadikan anak semata wayangnya sebagai tameng untuk melindugi diri. Upik hanya keluar rumah kalau anaknya pulang sekolah sore hari. Bersama anaknya, Upik leluasa mengantarkan barang dagangannya ke toko toko langganannya. Dari usaha menyalurkan rokok ilegal itu, Upik mendapat keuntungan amat lumayan.
“Katanya, ia bisa dapat lima puluh juta sebulan,” ujar Anik, wanita pekerja yang mengenal baik Upik.
Menjelang anaknya berusia remaja, Upik memutuskan untuk pulang kampung dan memulai usaha dari hasil tabungannya selama di Korea. Nasib baik berpihak pada Upik. Sampai akhirnya dia pulang ke Indonesia, ia tak pernah ditangkap. (ivan adilla)