abarr
Abrar Yusra lahir di Agam, Sumatera Barat, 28 Maret 1943 dan meninggal di Bogor, Jawa Barat, 28 Agustus 2015 pada umur 72 tahun adalah seorang wartawan dan penulis biografi Indonesia yang produktif.
Setelah menjadi wartawan dengan puncak karier sebagai Managing Editor Harian Singgalang selama sembilan tahun, Abrar Yusra menulis banyak buku biografi para tokoh Indonesia. Buku biografi itu antara lain biografi Selo Soemardjan, Azwar Anas, Amir Hamzah, A.A. Navis, serta biografi Hoegeng yang ia tulis bersama Ramadhan K.H., dan biografi tokoh-tokoh Indonesia lainnya.
Tokoh ini menghabiskan masa kecil di kampung halamannya, pendidikan SMP di Bukittinggi, dan melanjutkan ke Sekolah Guru Atas (SGA) di Payakumbuh sebelum akhirnya memilih jalan sebagai sastrawan, lalu wartawan, dan akhirnya menjadi penulis biografi orang-orang terkenal.
Sebagai wartawan dan pengendali redaksi media, ia punya cara yang khas dalam mengasuh dan mengasah para wartawan di bawahnya. Simaklah misalnya pengalaman Eko Yanche Edrie, ketika dipanggil untuk suatu peneguasan menulis feature. Ia memulai dari cerita kampungnya, Puncak Lawang, di Kabupaten Agam, yang kelak menjadi kawasan wisata yang hebat.
“Di situ kampung ambo, Bung, kini banyak turis ka situ. Pai makan sate nan didagang pakai katidiang tu, (Di situ kampung saya, Bung, kini banyak turis ke sana untuk makan sate tradisional yang dipikul pakai bakul),” katanya memulai pembicaraan.
Biasanya masih akan ditambah dengan sejumlah pengantar kata lagi baru sampai kepada apa yang akan ditugaskannya kepada sang wartawan. “Di Padang Panjang masih ado sate nan didagang pakai katidiang tu?” tanya Abrar kepada wartawan Eko Yanche Edrie yang waktu itu Redaktur Harian Singgalang.
“Masih, Bang,” jawab Eko yang mencatat dalam hati perihal Puncak Lawang tadi.
“Rancak ditulis feature nyo mah, cubo Bung garap yo, untuak edisi Minggu,” katanya dengan kepala mengangguk-angguk.
Rupanya di sini pokok masalahnya. Abrar ingin menugasi Eko menulis feature tentang penjual sate yang pakai pikulan karena kini sudah hampir punah lantaran orang jual sate sudah pakai gerobak. Untuk itu Abrar memutar dulu ke Lawang agar sampai di Padang Panjang.
Begitulah cara Abrar memberi penugasan kepada wartawannya. Tidak langsung saja. Mengenai gaya yang khas ini, ia punya kiat sendiri. “Bukalah cakrawala dulu, baru tukikkan pandangan,” itu jawab Abrar. Artinya ia ingin mengajak para wartawan memahami dulu latar belakang masalah, petunjuk-petunjuk, rujukan dan seterusnya. Kesimpulan kaji, seperti acap dia sampaikan kepada para wartawan, jangan berburu dulu jika peluru tidak cukup.
Abrar Yusra tidak saja dikenal sebagai wartawan tetapi ia seorang sastrawan. Ia menulis sajak, menulis cerpen, menulis novel, dan esai. Di era Abrar menjadi wartawan itu, media memang tempat paling penting sebagai persemaian seniman. Koran-koran memberi tempat yang luas untuk kesenian terutama sastra.
Harian Singgalang yang diasuhnya termasuk yang menjadi kiblat para seniman, apalagi Basril Djabar, Pemimpin Umum Singgalang dikenal sebagai orang yang amat peduli dengan dunia seniman ini. Ada dua nama yang memiliki kepedulian seperti itu, yang pertama adalah Rustam Anwar seorang pengusaha hotel dan satu lagi adalah Basril Djabar. Bahkan Basril Djabar memberi tempat seluas-luasnya kepada para seniman untuk bekerja di Singgalang, salah satunya adalah Abrar Yusra.
Tetapi siapapun tahu, bahwa tak mungkin mengekang seorang seniman yang biasanya berjiwa bebas dalam sebuah korporasi. Abrar tahan selama sembilan tahun dalam pusaran manajemen koran di Harian Singgalang. Setelah itu, jiwanya resah dan ia memutuskan merantau ke Jakarta, kembali ke dunia kesenian, dan fokus sebagai penulis biografi.
Meskipun sudah berhenti jadi wartawan dalam pengertian mengurus surat kabar, namun tetap di jalur tulis-menulis. Tempo-tempo dia tetap mengirimkan berita atau tulisan apapun ke Harian Singgalang dari Jakarta. Tapi hari-harinya memang lebih disibukkan menulis sejumlah otobiografi orang penting.
Bersama Hasril Chaniago ia menulis buku Catatan Seorang Pamong: Memoar Hasan Basri Durin, Gubernur Sumatera Barat 1987-1997. Dalam buku Catatan Seorang Pamong itu, Abrar menemukan nama Selo Soemardjan, Azwar Anas dan AA Navis. Ini menjadi inspirasinya untuk menggarap biografi tokoh-tokoh itu. Maka kemudian lahirlah buku biografi Komat Kamit Selo Soemardjan. Lalu bersama Ramadhan KH, ia tulis buku biografi Hoegeng, Polisi Idaman dan Kenyataan.
Setelah itu ia tulis buku biografi sahabat seniornya A.A. Navis berjudul A.A. Navis, Satiris dan Suara Kritis dari Daerah. Menyusul setelah itu biografi Harun Zain Tokoh Berhati Rakyat, dan Memoar Seorang Sosialis (memoar politik Djoeir Moehamad), juga buku otobiografi Basril Djabar: Sekali di Daerah Tetap di Daerah.
Kebahagiaannya adalah ketika novelnya paling spektakuler Tanah Ombak mendapat penghargaan dari Masyarakat Sastra Asia Tenggara (Mastera). Penghargaan itu ia terima di Kuala Lumpur Malaysia pada 2002. Novel tersebut pernah dimuat sebagai cerita bersambung di Harian Kompas, lebih merupakan refleksi pengalamannya sebagai wartawan.
Sebagai sastrawan, tulisan-tulisannya dimuat di majalah Basis, Horison, dan di berbagai koran, Singgalang, Kompas, Haluan, Suara Pembaruan, dan Republika. Bersama dengan sejumlah penyair Abrar menghasilkan juga buku bunga rampai, seperti Laut Biru Langit Biru (Ajip Rosidi), Tonggak (Linus Suryadi A.G.), dan Puisi Nusantara (Kemala).
Setelah hijrah ke Jakarta, ia memang lebih dekat pula ke dunia kesenian. Selain bergaul luas dengan rekan-rekan sesama seniman, dia juga pernah menjadi Anggota Dewan Kesenian Jakarta (DKJ).
Sebagai penulis biografi, menjelang akhir hayatnya dia kayaikan juga menulis memoar sahabat senior sekaligus orang sekampungnya, wartawan old crack Marthias Doeski Pandoe yang diluncurkan pada peringatan rangkaian Hari Pers Nasional 2015 di Hotel Pangerans Beach Padang.
Di samping itu, ia juga meninggalkan naskah biografi H. Nasrul Siddik, wartawan pendiri Harian Singgalang. Naskah itu kemudian diselesaikan oleh Azizah Etek dan M. Nazif Etek Siddik, dan telah terbit menjadi sebuah buku akhir tahun 2017 silam.
Itu adalah karya terakhir Abrar Yusra. Setelah itu kesehatannya menurun dan beberapa kali ia jatuh sakit. Tetapi seperti biasa, lelaki Lawang ini memang keras hati, semangat hidupnya tinggi, sakit itu diabaikannya saja meskipun anak dan istrinya sudah berkali-kali memintanya untuk beristirahat.
Pada minggu kedua Agustus 2015, kondisi kesehatannya kian memburuk. Ia diserang stroke dan dilarikan ke Rumah Sakit Umum Daerah Bogor. Para sahabat berdatangan membesuknya dan ia masih mencoba tersenyum. Tetapi akhirnya seperti pekerjaan wartawan yang harus tunduk pada deadline, maka Abrar pun menyerah pada “deadline” yang sudah ditentukan Sang Maha Pencipta.
Pada Jumat 28 Agustus 2015 dalam usia 72 tahun, Abrar Yusra berpulang. Ia meninggalkan 3 orang putra, 1 putri, dan 5 cucu. Jenazahnya dimakamkan di pandam pekuburan keluarga di Lawang, Kabupaten Agam, Sumatera Barat.
Abrar Yusra Berpulang
Masyarakat Indonesia berduka. Sastrawan Abrar Yusra berpulang ke Rahmatullah pada Jumat (28/8/2015) pukul 07.50 WIB di RSUD Kota Bogor, Jawa Barat. Abrar Yusra meninggal dalam usia 72 tahun.
“Ya, ayah berpulang tadi pagi sekitar pukul delapan kurang di Rumah Sakit Daerah Bogor. Sekarang lagi mengurus keperluan administrasi di rumah sakit,” kata Zam, anaknya, Jumat (28/8/2015).
Abrar Yusra mememiliki 4 anak, tiga perempuan 1 laki-laki.
“Hari ini juga ayah akan dikebumikan di kampung halamannya di Lawang, Agam, Sumatera Barat," kata Zam lagi.
Abrar Yusra, jurnalis asal Ranah Minang ini dirawat sejak mendapat musibah serangan stroke pada Senin (24/8/2015).
“Abrar Yusra mengalami stroke dan infeksi paru,” kata Dr.Yoeswar Darisan yang langsung menanganinya.
Abrar Yusra lahir di Lawang Agam, Sumatera Barat, 28 Maret 1943 adalah seorang wartawan dan penulis biografi Indonesia. Dia telah menulis banyak buku biografi para tokoh Indonesia, di antaranya biografi Selo Soemardjan, Azwar Anas, Amir Hamzah, A.A. Navis serta biografi Hoegeng yang dia tulis bersama Ramadhan K.H. dan biografi tokoh-tokoh Indonesia lainnya.
Sebelum menjadi penulis biografi, Abrar dikenal sebagai jurnalis. Ia pernah jadi managing editor selama 9 tahun di Harian Singgalang yang terbit di Padang, Sumatera Barat. Dia juga pernah menjadi guru di sekolah INS Kayutanam, Sumatera Barat, sebelum menjadi wartawan.
Novelnya yang berjudul Tanah Ombak (2002) meraih penghargaan Hadiah Sastra Mastera (Masyarakat Sastra Asia Tenggara) kategori Karya Kreatif di Kuala Lumpur, Malaysia pada tahun 2003.
Dikebumikan di Kampung Halaman
Jenazah almarhum sastrawan Abrar Yusra telah mendarat dengan selamat di Bandara Internasional Minangkabau (BIM), Jumat (28/8/2015) sekitar pukul 20.00 WIB.
Jenazah dibawa dengan penerbanganan komersil Lion Air dari Bandara Soerkarno-Hatta sekitar pukul 17.50 WIB. Sesampai di BIM, anak almarhum Zam Abrar bersama dengan dua orang keluarga lainnya, sudah menanti di bagian kargo. Zam Abrar terlihat tegar kendati terlihat menahan sedih.
Tak banyak keluarga menyambut kedatangan sosok yang tegas ini. Begitu juga dengan sahabat-sahabat almarhum di Padang, juga tak terlihat. Padahal semasa hidupnya, Abrar Yusra eksis sebagai jurnalis, sastrawan, dan budayawan, serta penulis buku yang berkualitas.
Zam dengan sigap mengurus berbagai hal bagian administrasi kargo bandara. Tak lama. Jenazah pun diangkat ke kendaraan ambulan yang terlihat sederhana. Tampak Indra Sakti Nauli, “murid” Abrar Yusra semasa ia bekerja di Harian Singgalang, membantu menaikkan peti jenazah ke atas kendaraan.
Di ruang tunggu kargo, istrinya, Risda Abrar (67), duduk terhenyak di bangku plastik.
“Maafkan almarhum ya. Selama hidupnya Bang Abrar keras dan tegas. Mungkin banyak yang tak bisa menerima. Maafkan Bang Abrar ya,” kata Risda dengan suara berat kepada sumbarsatu.com dengan mengulang kata “maaf” berkali-kali.
Risda mengatakan, Edy Utama ikut melepas almarhum menuju Padang, sedangkan Leon Agustu berselisih jalan.
“Tadi Edy Utama ikut melepas di rumah. Bang Leon agak terlambat,” katanya.
Risda bersama anak bungsunya Haikal, keduanya ikut menyertai jenazah orang yang dicintai ini sejak dari Bogor.
“Papa besok pagi (Sabtu) diselenggarakan. Dikebumikan di pandam pekuburan keluarga di Lawang, Agam,” tambah Zam.
Sastrawan Abrar Yusra berpulang ke Rahmatullah pada Jumat (28/8/2015) pukul 07.50 WIB di RSUD Kota Bogor, Jawa Barat. Abrar Yusra meninggal dalam usia 72 tahun.
Abrar Yusra, jurnalis asal Ranah Minang ini dirawat sejak mendapat musibah serangan stroke pada Senin (24/8/2015).
Abrar Yusra lahir di Agam, Sumatera Barat, 28 Maret 1943 adalah seorang wartawan dan penulis biografi Indonesia. Abrar Yusra telah menulis banyak buku biografi para tokoh Indonesia, di antaranya biografi Selo Soemardjan, Azwar Anas, Amir Hamzah, A.A. Navis serta biografi Hoegeng yang dia tulis bersama Ramadhan K.H. dan biografi tokoh-tokoh Indonesia lainnya.
Sebelum menjadi penulis biografi, Abrar dikenal sebagai jurnalis. Ia pernah jadi managing editor selama 9 tahun di Harian Singgalang yang terbit di Padang, Sumatera Barat. Dia juga pernah menjadi guru di sekolah INS Kayutanam, Sumatera Barat, sebelum menjadi wartawan.
Novelnya yang berjudul Tanah Ombak (2002) meraih penghargaan Hadiah Sastra Mastera (Masyarakat Sastra Asia Tenggara) kategori Karya Kreatif di Kuala Lumpur, Malaysia pada tahun 2003.
Almarhum meninggal dikarunianya 3 putra dan 1 putri, serta 5 orang cucu. Anak tertua Gafrian Abrar berusia 42 tahun, dan yang bungsu berusia 33 tahun.
“Papa sangat sayang pada Khesya, cucu tertua yang sudah berusia 12 tahun,” kata Zam.
Penulis Eko Yanche Edrie dan Nasrul Azwar