Dekker, Nasionalisme, Kopiah Beludru, dan Cinta Tulus Si Indo yang Ditolak

REFKLEKSI KEBANGSAAN

Jum'at, 30/12/2022 22:31 WIB
Ernest Francois Eugene Douwes Dekker

Ernest Francois Eugene Douwes Dekker

OLEH Suryadi (Universitas Leiden, Belanda)

Ernest François Eugène Douwes Dekker, baik dari segi fisik maupun mental, adalah refleksi dari pembentukan sekaligus entitas yang rumit dari sebuah negara-bangsa (nation-state) yang bernama Indonesia. Dengan kopiah beludru yang bertengger di kepalanya—kepala yang ditopang oleh sebuah tubuh yang dihidupkan oleh campuran darah Eropa dan Asia—ia tampak hampir sama tampannya dengan Soekarno di usia yang kurang lebih sama (sekitar 70 tahun). Tapi bukan soal ketampanan Dekker dan kehenseman Soekarno yang ingin saya bicarakan di sini.

Si Indo E.F.E. Douwes Dekker yang lahir di Pasuruan (tanah Jawa yang hangat dan kerto raharjo) pada 8 Oktober 1879 dan wafat di Bandung (alam Priangan nan jelita) pada 29 Agustus 1950 adalah representasi yang nyaris komplit tentang kompleksitas kebangsaan yang bernama "Indonesia". Kakeknya, Jan Douwes Dekker, adalah saudara laki-laki Eduard Douwes Dekker, si pengarang novel Multatuli yang kecintatulusannya kapada Indonesia masih saja diragukan oleh rakyat Republik itu sampai hari ini, sebuah kenyataan yang isyaratnya sebenarnya sudah dia terima ketika kasih tulusnya kepada seorang gadis Melayu di Barus dengan ombak Samudera Hindia-nya yang merayau sampai ke ujung Benua Afrika (sebagaimana ditulisnya dalam sebuah sajaknya tentang Natal) ditolak oleh orang tua si gadis. Ibunya, Louise Margaretha Neuwmann, adalah seorang wanita Indo campuran Jerman-Jawa dari keluarga vulkanolog Maur Neuwmann yang pernah lama tinggal di Padang.

Entah karena turunan darah atau karena kebetulan semata, E.F.E. Douwes Dekker juga mencintai Indonesia seperti saudara kakeknya, si pengarang Multatuli itu. Namun, sang cucu bergerak lebih jauh: ia menggelorakan semangat di kalangaan kaum Indo untuk mencintai Hindia Belanda dan menolak kolonialisme Belanda di pulau-pulau ‘Evenaar’ (‘Khatulistiwa’), satu pemikiran yang tentunya dilihat sebagai sebuah penyimpangan (deviant) oleh mayoritas kaum Indo di Hindia Belanda pada masa itu (awal abad ke-20). Dari Bandung, 'Paris van Java', Dekker menggerakkan kaum intelektual, khususnya di kalangan Indo, antara lain dengan menerbitkan majalah Tijdschrift yang dieditorinya sendiri, dengan mengundang para penulis mancanegara.

Salah satu puncak dari wujud kecintaan Dekker kepada tanah kelahirannya (walaupun darahnya tidak 'murni' ) ialah dengan keputusannya mendirikan De Indische Partij di Bandung pada 25 Desember 1912, dengan menggandeng Tjipto Mangoensoemo dan Ki Hadjar Dewantara, kombinasi tiga orang yang seakan merefleksikan keinginan tulus antara kaum Indo dan ‘Pribumi' untuk bergandeng tangan dan saling bahu-membahu memerdekakan dan membangun Hindia. Belakangan bergabung pula J.R. Agerbeek, J.G.van Ham, G.P. Carli, dan J.D. Brunsveld van Hulten.

Sebagaimana dapat dibaca dalam buku De Indische Partij, Haar Wezen En Haar Doel  (De Indische Partij, Esensi dan Tujuannya). Tujuan didirikannya partai ini adalah untuk memikirkan dan mengikhtiarkan kemerdekaan Indonesia yang lepas dari penjajahan Belanda dan mengajak Kaum Indo, tapi juga tidak membatasi kaum-kaum yang lain untuk berpartisipasi dan menjadi anggotanya (lihat: Paul W. van Veur, 2006: 207-219). Tak ayal, otoritas Kolonial Hindia Belanda merasa khawatir dan langsung memata-matai setiap kegiatan Dekker dan kawan-kawan, dan aktivitas-aktivitas De Indische Partij. Catatatan rahasia PID/Politieke Inlichtingen Dienst (kepolisian) dan mata-mata Pemerintah terhadap Dekker dan kawan-kawan/De Indische Partij itu dapat dibaca kini dalam bundel Bescheidenbetreffende de vereeniging “De Indische Partij”: Geheime en zeer geheime stukken van diverse autoriteiten omtrent De Indische Partij en haar oprichter Douwes Dekker oleh [Nederlands-Indië Autoriteiten] (Batavia: Landsdrukkerij, 1913).

Akhirnya, sebagaimana sudah sama kita ketahui, bayi merah De Indische Partij yang kuat dan dan bersemangat itu langsung 'dibunuh' oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda; partai yang dianggap sangat revolusioner yang masih berusia setahun jagung dan berdarah setampuk pinang itu dibubarkan Pemerintah pada 4 Maret 1913. Dekker dan dua sahabatnya disuruh memilih: mau dibuang ke tempat becek yang penuh nyamuk atau dengan sukarela mau pergi 'mengasingkan diri' ke Belanda ('Tanah Dingin')?

Sebagaimana sudah sama kita ketahui, tiga serangkai itu mengambil pilihan kedua. Kapal api Melchior Treub memisahkan mereka dengan dermaga Tanjong Priok pada 6 September 1913, membawa tiga sekawan yang 'membahayakan' rasa nikmat 'the white ruling class' penguasa di Hindia Belanda itu jauh ke utara. Ketiganya (di)turun(kan) di Genoa, kemudian mereka melanjutkan perjalanan ke Negeri Belanda lewat jalan darat. Dekker, Tjipto dan Ki Hadjar sampai di 's-Gravenhage pada 3 Oktober dan disambut dengan lagu mars' De Indische Partij' oleh saudara perempuannya dan para simpatisan partai itu, termasuk orang-orang Sociaal-Democratische Arbeiders-Partij (SDAP) dan wartawan media simpatisannya, koran Het Volk, yang beroposisi dalam Pemerintahan Belanda dan bersimpati kepada rakyat Indonesia.

Tentunya tidak semua hal tentang bagaimana perjuangan ketiga sahabat itu selama berada di Belanda bisa ditulis dengan lengkap dan detil di sini. Kiranya, pembaca yang ingin mengetahui trah keluarga, intelektualisme, dan aktivitas politik E.F.E. Douwes Dekker, buku Paul W. Van Der Leur, The Lion and The Gadfly: Dutch colonialism and the spirit of E.F.E. Douwes Dekker (Singa dan Pengganggu: Kolonialisme Belanda dan semangat E.F.E. Douwes Dekker) [Leiden: KITLV Press, 2006; VKI 228) adalah buku yang terbaik untuk dibaca.

Menapaktilasi jalan hidup E.F.E. Douwes Dekker, saya berefleksi: kecintaan kepada Indonesia rupanya datang dari berbagai tubuh kasar dengan kandungan 'kemurnian' darah yang berbeda. Akan tetapi pada akhirnya, karena eforia revolusi yang mendidihgilakan otak dan hati, tidak semuanya dapat ditampung oleh sebuah 'republik' yang kemudian cenderung membangun dirinya dengan konsep: 'kami' versus 'kamu', 'asli' versus 'liyan'/'asing', 'autochtoon' versus 'allochtoon', 'pribumi' versus 'non-pribumi'.

Sejurus setelah 'Dwi Tunggal' membacakan teks pendek di selembar kertas yang bersejarah itu, kaum Indo seolah sudah jelas nasibnya, dan hal itu semakin terang pada hari-hari berikutnya: di seantero pulau-pulau bernyiur melambai itu mereka dipersekusi, diusir, bahkan ada yang dibunuh oleh tangan-tangan yang sudah lama menyimpan rasa benci, irihati, dan kesumat yang tetiba meluap karena telah terlalu lama mendekam dalam jiwa yang tertindas oleh penjajahan selama bertahun-tahun. Berbondong-bondong kaum Indo berlayar ke Belanda, dalam gegas, panik, cemas, dan tergesa-gesa, membawa apa-apa yang dapat dibawa. Sebagian kecil memutuskan untuk tinggal di 'Mooie Indie' dengan menahan rasa takut.

Ernest François Eugène Douwes Dekker, sekali..., telah pernah berusaha menyatukan rasa dan asa di antara si 'darah murni' dan si 'darah campuran' untuk hidup bersama di sebuah rangkaian kepulauan yang merdeka dan selalu hangat oleh siraman sang surya. Ia mencoba menyakinkan semua pihak, dengan nama 'Danudirdja Setiabudi'-nya, dengan kopiah beludrunya,...., dengan keputusannya menjadi mualaf. Tapi semua itu tidak mampu meyakinkan si 'darah murni', dan juga mayoritas si 'darah campuran' yang coba dia ajak untuk hidup berdampingan dalam cinta dan damai...

Dekker, si Indo-Muslim-berkopiah beludru-tampan, pencinta tulus Indonesia itu diambil Allah pada hari Selasa, 29 Agustus 1950, pukul 3:50 dihihari di Bandung, kota yang telah menjadi bagian dari dirinya, 12 hari setelah Presiden Soekarno menyatakan Indonesia kembali ke negara kesatuan. Jenazah si Indo ganteng  sahabat kaum pergerakan itu dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Cikutra Bandung.

Arwahnya, jika memang dapat melihat yang hidup, sebagaimana diyakini oleh orang Indonesia yang beragama apapun, mungkin pilu melihat suasana kesengsaraan dan keadaan kacau-balau yang dialami kaum Indo di hari-hari menjelang dan setelah kematiannya.

Dekker gagal....... (andai tidak, mungkin hari ini kita akan menikmati wajah-wajah Indo yang cantik-cantik dan ganteng-tampan berseliweran di mal-mal Jakarta sampai Banda Aceh dan Jayapura, di layar TV dan di lapangan sepakbola, tanpa perlu melalui proses naturalisasi). Tapi dia sudah berusaha...dengan sepenuh hati dan jiwanya. Dan...membaca kisah hidupnya sampai pada detik-detik kematiannya, tampaknya Dekker tidak menyesali keputusan dan pilihan hidupnya.

Leiden, Rabu 28 Desember 2022

 



BACA JUGA