“Policy Paradox”, Antara Sekolah Daring atau Luring

-

Rabu, 06/10/2021 18:00 WIB
-

-

OLEH Ka’Bati (Jurnalis)

Paradoks adalah masalah yang melanggar prinsip
logika paling mendasar; dua interpretasi yang kontradiktif
tidak mungkin keduanya benar.
Hanya dalam kehidupan politik,
ketidakmungkinan itu menjadi mungkin.

Di Pasar Belimbing, Rabu (6/10/2021) pagi terjadi hiruk pikuk yang agak berbeda temanya  dari biasa. Kalau sebelumnya perkara naik turun harga barang ‘mudo’ yang jadi masalah, tapi pagi tadi perkara kebijakan pemerintah tentang proses pembelajaran di sekolah masa pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) Level 4 yang jadi obrolan sengit.

Kebijakan itu dinilai paradoks dan memusingkan. Saya tiap pagi melewati pasar yang berlokasi di Kelurahan Kuranji ini. Sepulang mengantar anak sekolah, saya biasa singgah membeli kebutuhan harian di pasar inpres yang baru selesai di renovasi tersebut.

Sementara, pada malam ketika ‘policy paradox’ itu keluar, ratusan mungkin ribuan pelajar tampak memenuhi kafe, trotoar dan lapangan terbuka di kawasan Taman Budaya Sumatera Barat. Kebetulan malam itu, Selasa (5/9/2021) adalah malam penutupan Pekan Kebudayaan Daerah (PKD) Sumatra Barat 2021.

Para pelajar tersebut tampak cerah ceria, asik menyaksikan atraksi kesenian dan pameran lukisan. Di kafe-kafe gelak tawa juga terdengar bergemuruh. Tempat parkir di kafe-kafe seantero kota penuh oleh kendaraan bermotor. Mereka sepertinya tidak hirau, apakah akan belajar luring atau daring bahkan mungkin juga tidak hirau akan ijazah dan gelar akademik yang akan didapat dari sekolah-sekolah.

Saya melintasi Jalan Khatib Sulaiman tepat pukul 23.00, dan suasana masih terlihat ramai. Anak-anak sekolah duduk bercengkerama. Ketika sekelompok orang dari mereka saya tanya pandangan mereka soal kebijakan itu, mereka bilang: Santai aja. Justru kondisi chaos ini bagi anak-anak muda tersebut menjadi sebuah peluang. Berbeda dengan pandangan-pandangan yang tertangkap dari obrolan di Pasar Belimbing.

“Masa dalam sehari berubah sampai tiga kali aturannya. Pertama boleh tatap muka. Ndak lama keluar aturan tak boleh tatap muka. Ee menjelang tengah malam keluar lagi aturan boleh tatap muka tapi anak-anak disuruh pakai pakaian bebas. Tentu tujuannya agar…”

Bermacam-macam opini yang berkembang. Ada yang menganjurkan untuk melihat sisi positif dari aturan itu tetapi sebagian besar bernada mencurigai pemerintah, mengutuk dan bahkan terdengar juga narasi-narasi yang mengarah pada perbuatan makar. Ada yang menyalahkan Menteri Pendidikan, ada yang sinis terhadap Dinas Pendidikan Kota dan Provinsi, ada yang mentertawakan Wali Kota Padang. Mencemooh Gubernur Sumbar dan pada akhirnya Presiden Jokowi juga salah.

Ada yang membela guru dan sekolah tetapi tentu juga mereka dapat bagian kesalahan. Yang tidak terdengar adalah menyalahkan diri sendiri, mungkin lupa atau bisa juga, mungkin-mungkin ini semacam ‘kepengecutan moral’ (own moral cowardice)  dari kelompok orang yang tidak berdaya. Mereka sebagai masyarakat sipil harusnya terlibat aktif tidak hanya pasrah berada di luar sistem.

Kegaduhan tentang aturan sekolah di masa PPKM Level 4 di Kota Padang ini tidak hanya terjadi di Pasar Belimbing, di grup-grup WhatsApp pun semenjak peraturan itu keluar tadi malam, tak henti-henti dibahas soal ini.

Ada warga yang mengeluhkan sudah terlanjut membeli materai sepuluh ribu rupiah dan menyerahkan surat persetujuan belajar luring ke sekolah. Ada juga yang mengeluhkan perkara baju, sepatu dan perlengkapan sekolah yang sudah terlanjur ‘dikejarkan’ dibeli. Ada juga yang mengeluhkan efek kelamaan belajar di rumah terhadap kecerdasan anak. Dan tak sedikit yang mengkhawatirkan persoalan moral dan mental anak didik karena peraturan yang paradoks ini.

Grup yang heboh itupun beragam anggotanya, tidak saja grup yang dihuni oleh para orang tua dengan profesi yang berbeda-beda tetapi juga grup yang diisi oleh kalangan politisi dan pejabat negara.

Penghuni grupnya berbeda namun perspektif mereka dalam memandang persoalan, sejauh yang saya amati dari komentar-komentar yang berseliweran sama saja, hitung-hitungan untung rugi.

Makanya saya memulai tulisan ini dengan mengambil komentar orang balai (pasar) Belimbing saja, perspektif ekonominya kuat. Dalam perspektif ekonomi, masyarakat itu bak pasar. Hubungan sosial yang terjadi adalah sebuah transaksi. Walaupun mereka berhimpun bersama, namun itu bukan perwujudan sebuah komunitas. Mereka berkumpul dan terlihat bersama di permukaan tapi hakikatnya masing-masing individu di pasar itu sedang memikirkan bagaimana dagangan mereka laku dan kesejahteraan mereka secara individu terpenuhi.

Hal ini jauh berbeda dengan prinsip hidup komunitas, dimana yang ada dalam bayangan mereka dan yang mereka perjuangkan adalah kepentingan publik, kaum atau orang banyak dimana mereka (individu) adalah bagian di dalamnya.

Anak-anak muda dan pelajar yang saya temui di taman Budaya dan di Jalan Khatib Sulaiman malam tadi justru ada di posisi sebaliknya dari kelompok ini dimana mereka mengedepankan kesetiakawanan, kekompakan, merancang aktivitas bersama yang tidak melulu mempersoalankan untung rugi.

Perspektif rasional juga sangat menonjol dalam masyarakat kita terkait masalah paradoks dan ambiguitas peraturan Kemendikbud, Pemkot dan Diknas ini. Bagi individu yang mengedepankan rasionalitas murni, rasional itu harus ditegakkan, dimana salah satu cirinya adalah ketika menganalisis dan menilai sesuatu mereka butuh satu tolak ukur yang sama. Penyebutnya harus sama, timbangannya sama, segala sesuatu hanya satu dan hanya memiliki satu makna yang jelas. Kalau tidak tinggi, rendah, kalau tidak kaya, miskin, kalau tidak pintar bodoh, kalau tidak saya, dia, kalau tidak untung rugi, dan seterusnya.

Akibat cara pandang seperti ini, mereka orang-orang seperti itu tidak bisa hidup dalam kondisi paradoks dan ambiguitas. Mereka cenderung mencari si terdakwa, kambing hitam dan sebagainya. Justru karena cara pandang seperti inilah makanya hal-hal menjadi paradoks. Paradoks bisa dilahirkan oleh para pembuat kebijakan bisa juga menjebak masyarakat dalam sistemnya. Padahal sesungguhnya hal ini bisa dihindari dengan cara keluar dari satu cara pandang yang mengukung.

Deborah Stone dalam bukunya The Art of Political Decision Making menawarkan lewat jalur politik.

Perspektif politik menurut Stone (2002) bisa membantu masyarakat keluar dari kukungan kebijakan yang paradoks karena sejatinya politik adalah cara kita saling membantu melihat dunia dari cara pandang yang berbeda. Hidup bersama dan masalah dihadapi bersama, bukan dengan mencari siapa yang salah siapa yang malang saja. Dalam kondisi seperti ini yang diutamakan adalah solidaritas.

Taroklah dalam kasus aturan bersekolah di Kota Padang dengan PPKM Level 4 ini. Peraturan yang dikeluarkan sebagai berikut:

Dengan ini disampaikan bahwa, Surat Edaran Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Padang No. 421.1/6985/Dikbud/Dikdas.01/2021 tgl. 5 Okt 2021 tentang Penundaan Pelaksanaan Pembelajaran Tatap Muka Semester Ganjil  TP. 2021/2022 Di Masa Pandemi Covid-19 dinyatakan belum diberlakukan.

Untuk itu, mulai besok tgl.6 Okt 2021 Pembelajaran Tatap Muka tetap dilaksanakan.Siswa datang ke sekolah tidak memakai pakaian seragam sekolah (menggunakan baju bebas tapi sopan)

Demikian kami sampaikan, atas perhatiannya diucapkan terima kasih.

TTD

Kadisdikbud

Dalam peraturan itu tergambar bahwa yang jadi masalah adalah siswa, yang kena peraturan adalah siswa dan yang mengeluarkan peraturan dan yang tidak bersalah adalah Kadisdikbud Kota Padang. Pelajaran tatap muka ditiadakan tetapi siswa tetap saja harus dating ke sekolah.

Kebijakan-kebijakan publik yang dibuat secara paradoks seperti ini ketika dipahami oleh masyarakat yang berspektif pasar, rasional murni dan mengedepankan untung rugi, akibatnya justru menimbulkan frustrasi dan kegelisahaan. Mereka merasa terancam, cemas dan bisa jadi memberontak karena melihat ‘kekuasaan’ pemerintah yang rapuh. Tetapi justru dalam perspektif politis, kondisi ini bisa melahirkan daya kreativitas yang berbeda, seperti yang tergambar pada siswa-siswa di kafe-kafe dan di jalan-jalan itu.

Ternyata, hal paradoks bisa menghasilkan realitas yang justru tidak melulu paradoks. Agaknya benar yang dikatakan Stone, paradoks adalah masalah yang melanggar prinsip logika paling mendasar; dua interpretasi yang kontradiktif tidak mungkin keduanya benar. Hanya dalam kehidupan politik, ketidakmungkinan itu menjadi mungkin.

Bagaimanapun, dalam menyusun sebuah kebijakan berkaitan dengan publik hal-hal umum seperti  menetapkan tujuan, mendefinisikan masalah,menilai solusi dan terstruktur secara politis, perlu untuk diperhatikan. Sehingga ketetapan yang dihasilkan tidak hanya bisa menyelesaikan problem sosial yang ada tetapi juga mendorong proses demokrasi, perwujudan keadilan dan kesejahteraan bersama.

Untuk sampai ke kondisi seperti ini, keterlibatan keikutsertaan lembaga swadaya masyarakat, media, lembaga penelitian maupun berbagai organisasi nonprofit menjadi sangat penting, sebagai kekuatan sosial ketiga.

Hal inilah yang belum tampak oleh saya wujudnya di grup-grup WhatsApp terTop di daerah ini maupun di Pasar Belimbing. Padahal konon orang Padang itu bukan hanya pandai berdagang, tetapi juga hebat berpolitik. Konon. *



BACA JUGA