Guru yang Merintis Muatan BAM di Sumatra Barat

ZULKARNAINI

Sabtu, 11/01/2020 17:27 WIB
Zulkarnaini Mamak

Zulkarnaini Mamak

sumbarsatu membuka rubrik JANO, dalam bahasa Minangkabau berarti pikiran, pangana seseorang tentang sesuatu yang didalaminya,atau profesinya. Rubrik ini membentangkan secara panjang lebar dan mendalam jano seseorang sesuai dengan latar dan kompetensinya. Penulisannya bisa dengan bentuk wawancara atau deskripsi-naratif. Kehadiran sosok yang ditampilkan tidak berkala. Ia bisa hadir kapan saja. Yang ditonjolkan kepermukaan ialah pikiran ata janonya. Untuk pertama ini, JANO menampilkan Zulkarnaini "Mamak" sosok guru dan pengamat pendidikan. Selamat membaca. Semoga bermanfaat. Redaksi

Tersebab minimnya buku-buku ajar bermuatan lokal Budaya Alam Minangkabau (BAM)—sebagai seorang pendidik— ia merasa bertanggung jawab untuk penyediaan buku-buku BAM, terutama untuk jenjang pendidikan SD dan SLTP sebagai buku ajar untuk anak didik.

“Menulis buku BAM saya lakukan karena rasa tanggung jawab moral,” kata Zulkarnaini, sosok bersahaja  yang saya wawancarai beberapa waktu lalu.

Menurut putra Nagari Maek ini, tujuan mengajarkan BAM itu terlihat sederhana tetapi dampaknya besar terhadap pengembangan karakter peserta didik. Hadirnya mata pelajaran BAM agar anak didik mengenal, memahami, menghayati, mengapresiasi, dan menerapkan nilai-nilai budaya alam Minangkabau dalam kehidupan sehari-hari.

Terkait dengan buku-buku BAM untuk anak didik, Zulkarnaini bisa disebut sebagai perintis hadirnya muatan lokal BAM di dunia pendidikan Sumatra Barat. Tapi membaca kondisi pendidikan hari ini, ia kecewa karena muatan lokal BAM tidak diperhatikan serius institusi terkait.

Terus Berbagi Ilmu di Masa Pensiun

Zulkarnaini, anak ketiga dari tiga bersaudara. Lahir 19 Januari 1952 di Nagari Mahat (Maek), Kecamatan Bukik Barisan, Limapuluh Kota, Sumatra Barat. Menikah dengan Wirnahayati (guru SMP 2 Padang, kini pensiun) 4 Januari 1979. Dikarunia lima empat orang putra dan satu putri serta 8 orang cucu.

Mengikuti Pendidikan Guru Sekolah Lanjutan Pertama, IKIP Padang. Menyelesaikan Strata Satau Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Pernah kuliah di Pascasarjana IKIP Padang (kini: Universitas Negeri Padang). Pengalaman Kerja sebagai guru SMP 1978 – 1993, guru SMA 1994 – 1998, Pengawas Sekolah 1998 – 2003, Widyaiswara Pendidikan di LPMP Sumatra Barat 2004 – 2012. Januari 2012 purnatugas sebagai Pegawai Negeri Sipil  atau ASN, dan sampai kini masih tetap menjadi narasumber berbagai kegiatan kependidikan dan tulis-menulis.

Bidang lain yang digeluti adalah Guru Inti Mata Pelajarana Bahasa Indonesia, Instruktur Daerah Mata Pelajaran Bahasa Indonesia, Instruktur Nasional Muatan Lokal, anggota Tim Perekayasa Kurikulum (TPK) Kanwil Dikbud Sumabar, Instruktur Calon dan Kepala Sekolah, Instruktur Calon dan Pengawas Sekolah, Instruktur Menulis Ilmiah untuk Remaja, Guru, kepala Sekolah, dan Pengawas Sekolah, Instruktur Manajemen Sekolah, pengajar di Diklat Prajabatan Calon PNS, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan,  dosen luar biasa di perguruan tinggi swasta Sumatra Barat.

Selain bergelut di bidang pendidikan, juga pernah menjadi wartawan pada Harian Haluan dan menjadi anggota PWI. Menulis artikel pendidikan, pengajaran, budaya, dan generasi muda di berbagai surat kabar dan majalah.

Hobi  saya membaca, menulis, dan fotografi. Kegemaran lain berolahraga sepeda. Olahraga lain seperti silat, tinju, tenis meja, tenis, dan yang berat-berat lainnya sudah saya tinggalkan sejak memasuki masa pensiun.

Pulang kampung sangat insidental, hanya jika ada keperluan saja. Tidak ada lagi pulang ke kampung secara rutin sejak ibu bapak dan ibu bapak mertua meninggal. Kini menetap di Padang. *

Berikut wawancara mendalam Nasrul Azwar yang dilakukan beberapa waktu lalu. Selamat membaca.

Bisa Anda ceritakan di mana masa sekolah (SD, SMP, dan SMA) dan remaja dihabiskan, dan apa yang capaian paling mengesankan saat itu?

Masa Sekolah Dasar (SD) (dulu: Sekolah Rakyat (SR) dihabiskan di Mahat (Maek), Kecamatan Suliki Gunung Mas (kini: Kecamatan Bukik Barisan) tahun 1959-1965. Tepatnya di SR 04 Mahat. Ruang belajar sangat sederhana. Atapnya daun kelapa yang dianyam, dindingnya tadia atau bambu anyaman. Selama di SR/SD (kelas 1-5 dibimbing oleh guru yang hanya berijazah setingkat SLTP, ketika dikenal dengan guru SGB atau Sekolah Guru B. Pembelajaran berlangsung apa adanya tetapi tetap mengasyikkan.

Sekolah dipusatkan di Jorong Ronah, sedangkan saya tinggal di Jorong Koto Tinggi. Jarak tempuh lebih kurang 4 km. Jalan itu ditempuh berjalan kaki tanpa sandal dan sepatu. Saat itu tidak terasa sebagai penderitaan karena semua orang seperti itu. Meratalah nasib yang dialami anak seusia saya. Jika dikomparasi dengan anak-anak seusia saya zaman ini, di kampung yang sama, saya merasa cemburu pada mereka. Soalnya, mereka kelas (1-6 SD) saat ini di kampung saya, menggunakan sepeda motor ke sekolah. Walaupun sekolahnya cukup dekat dari rumah. Masyaallah.

Dari SD/SR 04 Mahat yang ikut ujian negara (ujian akhir sekolah) ada 12 orang. Ternyata yang lulus hanya dua orang. Saya dan sepupu  (anak mamak). Ujian itu berlangsung pada bulan Mei 1965. Bermodalkan tanda lulus itulah saya melanjutkan ke SMP. Anak-anak Kecamatan Suliki, Gunung Mas, dapat memilih tiga SLTP di lokasi berbeda. Pertama SMEP (Sekolah Menengah Ekonomi Pertama) di Limbanang, kedua ST (Sekolah Teknik) berlokasi di Suliki, dan ketiga SMP (Sekolah Menengan Pertama) di Koto Tinggi (lokasi Monas PDRI sekarang). Saya dan sepupu yang dinyatakan lulus memilih masuk SMP di Koto Tinggi. Bulan Juli 1965 tercatatlah sebagai murid di sekolah itu.

Perjuangan mahapahit pun dimulai. Jarak antara kampung Maek dengang Koto Tinggi lebih kurang 24 km. Jarak itu harus ditaklukkan dengan berjalan kaki, tidak ada kenderaan apapun. Berpisah dengan kedua orang tua pada usia itu adalah penderitaan yang amat dalam. Sejak diterima di SMP harus tinggal di Koto Tinggi (menyewa rumah), dan harus belajar mengurus diri sendiri mulai dari A sampai Z. Mulai belajar memasak nasi, sambal, mencuci pakaian, dan segala hal yang biasa dibantu oleh orang tua. Berjuang, itulah barangkali kata yang cocok.

Akibat peristiwa G30S PKI, tahun pelajaran diperpanjang selama enam bulan. SMP saya tamatkan selama 3.5 tahun. Saat menyelesaikan SMP kehidupan ekonomi benar-benar  susah. Di kampung, jangan untuk bersekolah, biaya hidup sehari-hari pun sangat susah. Semua orang mengalami hal yang sama. Saat itulah kembali dirasakan bahwa hidup itu memang perjuangan. Ada niat untuk melanjutkan ke SLTA, tetapi tidak mungkin. Pasalnya ketiadaan biaya hidup.

Keputusan untuk tidak melanjutkan ke SLTA segera saya ambil. Saat itu kedua orang tua benar-benar meneteskan air mata. Keduanya terus menyemangati. Bahkan keduanya mau mennggadaikan sawah dan menjual dua ekor sapi untuk biaya. Saya berpikir, sawah dan sapi itu adalah modal kedua orang tua, jika itu dilepas tak mungkin untuk melanjutkan kehidupan. Inisiatif yang saya ambil ialah mencari uang. Salah satu upaya mencari urang yang agak ringan ialah menyadap karet di hutan.

Itulah yang saya lakukan, menjadi penyadap karet. Intinya untuk mendapat uang. Jika uang di dapat baru melanjutkan ke SLTA atau SMA. Begitulah saya tekuni menjadi penyadap karet hampir tiga bulan. Sementara teman-teman yang ekonominya agak bagus sudah mulai bersekolah di SLTA pilihannya. Sepupu saya itu misalnya, melanjutkan ke SPMA (Sekolah Pertanian Menengah Atas) di Padang Mangeteh, Payakumbuh. Sementara saya harus bermukim di hutan untuk menyadap karet mengumpulkan uang untuk bersekolah. Itu usia saya baru tamat SMP.

Setelah persekolahan berlangsung tiga bulan, saya baru dapat mengumpulkan uang ala kadarnya. Akhirnya dengan bantuan mamak dan kakak saya “saparuik” yang bertugas di Jakarta, saya dapat diterima di SMA 2 Payakumbuh di Limbanang. Begitu saya masuk langsung diterima dan hari keduanya saya masuk kelas, ternyata ujian caturwulan sudah dimulai. Masyaallah saya ikut langsung ujian tanpa modal belajar dan tampa modal membaca.

Ini mengesankan bagi saya. Hari pertama ujian mata pelajaran Agama Islam, Bahasa Indoensia, dan Sastra Indonesia. Rasanya semua soal ujian dapat saya jawab. Saya menjawab dengan mudah semua soal itu. Saya benar-benar dapat menjawabnya. Soalnya pelajaran ini sudah ada sejak di SMP walaupun tidak persis sama. Besoknya lembar ujian dibagikan oleh guru. Alhamdulillah nilai Agama saya 8, nilai Bahasa Indonesia 8, dan nilai Sastra 7. Luar biasa. Inilah yang sangat mengesankan dan memotivasi saya untuk belajar. Tidak belajar pun hasilnya sudah begini, apalagi kalau ikut belajar sejak awal.

Hari-hari berikutnya kembali mengikuti ujian. Kekecewaan-demi kekecewaan mulai dirasakan. Fasalnya mata ujian adalah mata pelajaran yang belum pernah ada di SMP. Kimia, Biologi, Fisika, Aljabar Analit, Ilmu Ukur Ruang, Mekanika dan lain-lain tidak pernah ada di SMP, tentulah perolehan nilainya selalu di bawah standar. Kisaran dari angka 3 sampai dengan angka 5. Ini juga mengesankan, karena kesannya yang dapat dimaknai. Jangan harapkan hasil baik dari sesuatu yang tidak diketahui dan dipahami. Kira-kira begitu. Begitulah bergelut di SMA 2 Payakumbuh di Limbanang selamai 3 tahun (1968-1971).

Jika masa di SMP dan SMA disebut masa remaja, maka masa remaja lebih banyak dihabiskan di dua daerah itu yakni Koto Tinggi dan Limbanang. Rentangan waktu hampir tujuah tahun itu tentu banyak yang mengesankan. Akan tetapi, yang paling tercatat dalam memori adalah bahwa tidak akan pernah diperoleh sesuatu tanpa usaha sungguh-sungguh. Itu barangkali.

Setelah menamatkan SMA dan tidak dapat melanjutkan ke APDN apa yang Anda lakukan?  Apakah memang menjadi guru itu sudah pilihan akhir?

Setamat SMA cita-cita ingin masuk sekolah camat, melanjutkan ke APDN di Bukititnggi. Dorongan untuk menjadi camat sangat besar. Pasalnya, para camat waktu itu mendapat mobil dinas  VW warna kuning. Hebatnya. Akan tetapi impian itu kandas. Saat itu APDN tidak lagi menerima mahasiswa lepas-langsung dari SLTA. Mereka hanya menerima pegawai pemda atau sekurangnya pegawai honor di pemda. Atas inisiatif, saya melamar bekerja di Kantor Gubernur Sumbar. Nasib lagi baik, saya diterima sebagai pegawai suka rela. Tapi kepegawaian itu tidak jadi saya jalani karena gaji akan diterima tidak cukup untuk biaya hidup di Padang. Kandas sudah untuk masuk APDN menjadi camat.

Saya meninggal Padang. Kota Jakarta adalah rantau yang dituju, rantau impian dan rantau perjuangan. Rantau itu adalah ibu kota RI, Jakarta. Layaknya anak Minangkabau, di rantau ada tiga hal yang diupayakan. Pertama berjuang untuk hidup, kedua untuk ilmu, dan ketiga untuk pengalaman. Ketiga hal itu landasan bagi perantau Minangkabau untuk meraih kesuksesan di rantau.

Untuk hidup di Jakarta, saya belajar menjadi pedagang kaki lima. Ternyata tidak terlalu lama untuk mendapatkan pengalaman “basorak” di kaki lima itu. Uang pun mengalir, biaya hidup cukup, bahkan bisa menabung. Berdagang berpindah-pindah dari suatu daerah ke daerah lain di bumi ibu kota, menjadikan peta Kota Jakarta ada di kepala saya. Tiap hari peta itu dibaca untuk berdagang. Alhamdulillah sukses sebagai pedagang kaki lima di Jakarta. Dengan modal sedikit uang dan pengalaman hidup itu, akhirnya mendaftar sebagai mahasiswa di perguruan tinggi terkenal (tidak disebutkan karena tidak memperoleh ijzah di sini). Tercatat sebagai mahasiswa hampir tiga tahun. Dilanda oleh peristiwa sejarah Malari, akhirnya saya tidak tamat di perguruan tinggi itu.

Akhir 1974, Kota Jakarta ditinggalkan. Alasannya sederhana, yaitu tidak aman lagi untuk pedagang kaki lima dan adanya peristiwa bersejarah Malari (Malapetaka 15 Januari) 1974. Kota yang dituju adalah Padang, Sumatra Barat. Di kota ini nasib diadu. Saya bekerja sebagai Konsultan Asuransi Jiwa Bumi Asih Jaya. Di perusahaan inilah kehidupan dijalani sampai awal tahun 1977.

Saat itu pula, Indonesia kekurangan guru. Program darurat mencetak guru pun dibuat. Program itu bernama Proyek Pendidikan Guru Sekolah Lanjutan Umum (PGSLU) yang terdiri dari dua subprogram, yakni Pendidikan Guru Sekolah Lanjutan Atas (PGSLA) dan Pendidikan Guru Sekolah Lanjutan Pertama (PGSLP). Program ini dilaksanakan oleh IKIP Padang.

Begitulah saya ikut tes dan dinyatakan lulus. Untuk menjadi mahasiswa guru darurat itu, diperoleh Tunjangan Ikatan Dinas (TID) sebesar Rp12.500 per bulan. Jaminannya ialah begitu tamat dan dinyatakan lulus langsung diangkat sebagai Calon Pegawan Negeris Sipil (CPNS). Dengan modal ijazah PGSLP inilah saya memasuki gerbang profesi guru bulan Maret 1978 dan bertuags di SMP Standar IV Angkat Candung, Balai Gurah, Agam.

Intinya, saya menjadi guru bukan karena pilihan hati tetapi menjadi guru karena desakan keluarga untuk menjadi PNS. Itu saja. Soalnya tidak banyak yang dapat diharap dari PNS golongan dua saat itu. Gaji pertama saya sebagai CPNS hanya lebih kurang Rp16 ribu per bulan. Sementara gaji pokok yang saya tinggalkan di perusahaan tempat saya bekerja lebih dari Rp70 ribu per bulan. Atas desakan keluarga besar saya, akhirnya saya pilih menjadi guru.

Setelah menyelesaikan Strata 1, melanjutkan ke Pascasarjana IKIP Padang, pengalaman apa yang paling menarik saat kuliah itu? Apakah saat kuliah mendapatkan beasiswa?

Strata 1 (S1) saya selesaikan di STKIP Ahlussunnah Bukititnggi. Saya kuliah sambil bekerja. Mulai masuk kuliah tahun 1987, tampat tahun 1990 dan diwisuda 1991. Tahun 1998 saya mendaftar di Pascasarjana IKIP Padang. Saat itu masih tahap awal Jurusan Pendidikan Bahasa. Belum ada konsentrasi keilmuan, namanya “Jurusan Pendidikan Bahasa”. Semua bahasa terdaftar di situ. Ada Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan Bahasa Arab. Di situlah saya bergabung. Oleh karena kesibukan sebagai pengawas sekolah, instruktur kepala sekolah, instruktur pengawas, tim pengembang kurikulum, instruktur muatan lokal di nasional, dan kegiatan lain, saya tidak dapat menyelesaikan kuliah di pasca ini.

Anda pernah juga berkecimpung dalam dunia kewartawanan, bisa dikisahkan perjalanan dunia jurnalististik itu? Apakah bekerja sebagai wartawan itu saat sedang kuliah atau setelah tamat?      

Dunia jurnalisik adalah dunia menarik saat itu. Selain namanya yang keren, juga dapat menambah penghasilan. Ketika di Jakarta 1971-1974, selain berdagang kaki lima dan kuliah, saya juga menyenangi fotografi. Saat itu saya memiliki kamera Yasica yang saat itu cukup bagus dan harganya cukup mahal. Kesenangan itu saya salurkan pada waktu senggang. Begitulah, mengambil banyak momen seperti tabrakan di jalan raya, penggusuran pedagang kaki lima, dan lain-lain peristiwa sempat saya rekam. Saya pikir itu bernilai berita. Akhirnya foto hitam putih itupun saya cetak dan saya antarkan ke salah satu harian ibu kota Pos Kota yang berkantor di Proyek Senen. Itu terjadi kira-kira akhir  tahun 1972

Foto itu layak menjadi berita. Redakturnya mengarahkan saya untuk membuat keterangan gambar dan menulis sedikit berita. Sejak itu saya rajin membuat foto peristiwa dan berita. Katanya redakturnya, saya dijadikan sebagai koresponden lepas. Artinya, ada foto dan berita dapat honor, tidak ada keduanya tidak dapat apa-apa. Di situlah awalnya saya mengenal dunia jurnalistik yang sangat “bergezah dan berwiabawa”. Menarik, tetapi penghasilan sebagai pedagang kaki lima jauh lebih menjanjikan dibandingkan dengan menjadi koresponden surat kabar.

Ketika menjadi guru di Agam, Harian Haluan memiliki satu penerbitan tiap minggu, yakni Koran Masuk Desa (KMD). Berniat untuk menyalurkan bakat menulis sebagai guru bahasa Indonesia dan menambah penghasilan, saya mulai memperlajari pola penulisan KMD dan artikel opini Harian Haluan. Beruntung waktu itu, Kepala Perwakilan Haluan adalah juga guru, yaitu Yalfema Miaz, guru SPG di Bukititnggi. Saya bergabung di situ dan mendapat arahan serta bimbingan dari Yalfema Miaz (kini Guru Besar di UNP).

Hampir setahun sejak 1979, awal tahun 80-an saya mendapat legalitas sebagai wartawan Haluan. Saya diberi tugas sebagai wartawan lepas, artinya bukan sebagai wartawan dan karyawan. Penghasilan saya tergantung kepada berita, foto, dan artikel opini yang saya tulis. Tahun itu juga saya ikut seleksi untuk menjadi anggota PWI, ternyata lulus, jadilah saya anggota muda. Sejak itu saya lebih dkenal sebagai wartawan daripada sebagai guru SMP. Namun saya tetap menekuni pekerjaan guru.

Enaknya menjadi penulis dan wartawan mulai dirasakan. (Uraian lebih rinci dalam judul “Belajar Menulis dengan Menulis” di http://zulkarnaini.my.id). Saya merasa benar-benar menikmati. Saya juga menulis di Harian Singgalang dan Semangat. Di harian yang dua ini saya menggunakan mama samaran, tidak etis kalau dibuat nama sebenarnya. Saat itu hanya ada tiga surat kabar terbiatan Padang, namun yang beroplah paling besar ada Haluan.

Dari menjadi wartawan dan penulis saya mendapat banyak keuntungan. Di antaranya penghasilan sebulan melebihi gaji saya sebagai PNS. Saya dapat nama dan merasa disegani di kalangan birokrat, terutama birokrat pendidikan. Selain itu, saya selalu dilibatkan dalam berbagai kegiatan sosial dan kemasyarakatan. Sebagai individu, saya merasa lebih bermartabat ketika menjadang predikat “wartawan dan penulis”, dikenal, disegani, dan dilibatkan dalam berbagai kegiatan.

Lalu sejak kapan mengawali karier sebagai guru, dan pengalaman apa yang paling berkesan selama menjadi guru?

Pengangkatan sebagai guru di SMP Negeri 4, Balaigurah, Agam, Sumbar terhitung 1 Maret 1978 sebagai CPNS. Selain mengajar di sekolah itu, saya juga menjadi guru di SMA Taman Dewasa Raya (TDR) Bukitinggi (kini telah tiada), Madrasah Dinniyah Pasir IV Angkat Candung, SMP Muhammadiyah Tanjuang Medan, IV Angkat Candung (kini telah tiada), dan dosen luar biasa di Fakultas Syariah, IAIN Iman Bonjol, Bukititnggi. Sebagai guru negeri dan guru tetap di SMP Negeri IV Angkat saya tekuni sampai tahun 1993. Tahun 1994 saya dimutasikan ke SMA 1 Baso, Agam. Saya melaksanakan tugas di SMA ini sampai tahun 1998. Tahun 1998 saya dipromosikan sebagai Pengawas Sekolah di Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Provinsi Sumatra Barat.

Pengalaman yang mengesankan sebagai guru tentu banyak. Pengalaman itu dapat diformulasikan atas tiga bagian. Pertama, pengalaman berinteraksi dengan peserta didik. Interkasi saya selalau saya jaga dalam bentuk yang manusiawi, berdisiplin, tegas, dan konsisten. Manusiawi yang dimaksud adalah berlandaskan nilai-nilai kemanusiaan yang universal, disipilin maksudnya memelihara ketaatan kepada ketentuan dan ksepekatan konvensional, tegas artinya tidak tiak pandang bulu dalam berindak, dan konsisten berarti taat asas kapan dan di manapun. Pengalaman berinterkasi dengan landasan itulah yang membuat saya nikmat menggeluti profesi ini.

Kedua pengalaman berinteraksi dengan sejawat guru, kepala sekolah, dan tata usaha sekolah. Landasan saya tetap sama, yakni manusiawi, disiplin, tegas, dan konsisten. Ketiga pengalaman berinteraksi dengan orang tua murid dan masyarakat. Hal ini menjadikan saya “merasa” sangat dipercaya oleh masyarakat dan orang tua. Contoh sederhana, misalnya ada kegiatan luar sekolah. Orang tua akan bertanya kepada anak-anaknya, guru pembimbingnya siapa. Jika ada nama Zulkarnaini, pastilah anak diizinkan untuk ikut. Itu perasaan saya. (ini juga ddapat dibaca di “Jalan Berliku Menuju Panggung Nasional” di http://zulkarnaini.my.id)

Bisa juga Anda ceritakan tentang terpilih sebagai guru teladan?

Penilaian guru teladan dilakukan setiap tahun. Penilaian dilaksanakan secara berjenjang. Untuk tingkat SLTP seleksi dimulai dari kabupaten/kota, provinsi, dan nasional. Saya diutus oleh sekolah untuk seleksi di tingkat Kabupaten Agam. Sebelum mengikuti seleksi, saya mencari informasi tentang hal-hal yang dinilai. Semua keperluan saya siapkan. Ternyata dugaan saya tidak meleset. Saya menjadi wakil Agam untuk tingkat SLTP menuju Provinsi Sumatra Barat.

Penilaian untuk guru teladan ini sepertinya sangat objektif. Sekurangnya itu yang saya rasakan. Untuk ke provinsi persiapan saya lebih lengkap lagi. Saya tetap berpedoman kepada buku pedoman penilaian guru teladan yang diterbitkan secara nasional. Hal yang paling tinggi nilainya adalah portofolio guru. Isinya meliputi karya tulis, sertifikat, piagam-piagam, dan keterangan lain. Hal ini saya kumpulkan semua dalam bentuk file. Kedua yang paling menguntungkan adalah wawasan tentang pendidikan. Saya memiliki itu karena selain menulis artikel opini tentang pendidikan, juga selalu memperkaya diri dengan bacaan-bacaan mutakhir tentang perkembangan pendidikan. Dua hal itu saya yakini, bahwa saya dapat menyingkirkan rival saya dari kabupaten kota lain.

Begitulah saya melenggang ke tingkat nasional. Untuk ke nasional persiapan lebih sempurna, lebih lengkap, dan lebih tertata. Di nasional, kami dikumpulkan di hotel berbintang di Jalan Moh. Husni Thamrin Jakarta. Sesampai di hotel saya mulai memperlajari kondisi rival saya dari provinsi lain. Saingan saya kelihatannya hanya Jawa Timur, tetapi saya menang di portofolio, terutama untuk karya tulis. Portofolio saya selain dilengkapi dengan karya wajib, juga dilampiri dengan ratusan artikel pendidikan yang terpublikasi di surat kabar. Akhirnya, predikasi saya benar. Saya dinobatkan sebagai guru teladan satu nasional tingkat SLTP tahun 1992.

Moto saya untuk menjadi guru teladan adalah “jadilah diri sendiri dalam kondisi apapun”. Operasional dari moto itu adalah “bersungguh-sungguhlah melakukan sesuatu karena akan dipertanggungjawabkan kepada Sang Khalik”. Moto dan operasionalnya itulah yang saya emban.  (ini juga ddapat dibaca di “Jalan Berliku Menuju Panggung Nasional” di http://zulkarnaini.my.id)

Sebagai seorang guru, apa pandangan Anda terkait dengan dunia pendidikan saat itu dan bagaimana pula soal kurikulum yang terkesan ganti menteri ganti kurikulum?

Pandangan saya tentang pendidikan saat itu adalah bahwa pendidikan bertujuan untuk mencerdaskan anak bangsa. Konsep cerdas harus seimbang dalam tiga ranah, yakni kognitif, afektif, dan psikomotor. Untuk mencapai ketiga hal itu guru harus paiawai dalam tiga hal pula yakni mendidik, mengajar, dan melatih (dikjartih). Jika guru mendidik, orientasinya adalah ranah afektif, mengajar orientsinya ranah kognitif, dan melatih orientasinya ranah psikomotorik. Ketiga ranah itu harus seimbang yang dinekal dengan cerdas “konferehensif”. Cerdas konferehnsif inialah yang kemudian dijabarkan menjadi “cerdas spiritual, intelektual, emosiaonal, dan kinestetik”.

Untuk mencapai kecerdasan spiritual operasional pendidikannya olah hati, emosional operasional pendidikannya olah rasa, intelektual operasional pendidikannya olah pikir, kinestetik opersional pendidikannya olah raga. Hal inilah yang sebenarnya yang menjadi roh dari Kurikulum 2013 atau kurikulum terakhir kini yang dipakai di Indoensia. Persoalannya adalah, pengambil kebijakan mulai dari pusat sampai ke daerah, sampai ke tataran sekolah, tidak atau kurang mampu menangkap “roh” kurikulum itu, sehingga guru disbukkan oleh hal-hal yang “remeh-temeh”. Akhirnya, ya seperti terlihat sekarang.

Kesan masyarakat ganti menteri ganti kurikulum tidak dapat dimungkiri. Itu kesan. Pada hakikatnya tidaklah seperti itu. Kurikulum itu disusun berdasarkan keadaan, kebutuhan, dan perkembangan ilmu. Selain itu, kurikulum disusun secara berkelanjutan. Kurikulum yang ada sekarang kelanjutan dari kurikulum sebelumnya. Jika kebetulan menterinya berganti, dan waktu penggantian kurikulum pun tiba saatnya, di sinilah kesan itu muncul. Wajarlah masyarakat beropini seperti itu.

Anda juga terkenal sebagai penulis buku ajar bermuatan lokal (Minangkabau) dan buku yang Anda tulis sekarang melegendaris, apa yang ingin dikatakan tentang muatan lokal (BAM) di semua jenjang pandidikan di Sumatra Barat?

Menulis buku BAM (Minangkabau Ranah Nan Elok untuk SD 4 jilid, Minangkabau Ranah Nan Den Cinto 3 jilid) saya lakukan karena rasa tanggung jawab moral. Maksudnya begini. Tahun 1992 sesuai dengan regulasi yang berlaku, tiap Kanwil Depdikbud harus memiliki Tim Perekayasa Kurikulum (TPK). Tugasnya adalah menyusun kurikulum muatan lokal, membina dan menilai pelaksanaan kurikulum muatan lokal, dan menilai keterlaksanaan kurikulum nasional. Untuk petugas itu dilakukan rekrut dari tenaga guru, pengawas sekolah, dan pejabat struktural. Rekrut dilaksnakan secara bertahap yang meliputi seleksi administrasi, seleksi akademik, pendidikan dan latihan, dan seleksi kompetensi akhir pelatihan.

Saya salah seorang yang dinyatakan lulus dan bertugas sebagai anggota TPK. Jumlah yang lulus 35 orang dari lebih kurang 300 yang ikut seleksi. Tim ini berkantor di Kanwil Depdikbud Sumbar, Jl. Sudirman 52 Padang. Di dalam tim saya ditetapkan sebagai koordinator untuk menyusun kurikulum mata pelajaran Budaya Alam Minangkabau. Oleh karena saya adalah koordinatornya, tentu secara moral saya bertanggung jawab menulis bukunya. Hal itu juga diiringi dengan perintah Kakanwil Depdikbud waktu itu Drs. H. Ismed Syarif. “Kurikulumnya ada, bukunya wajib Kamu buat!” begitu kira-kira kalimat “cambuk” yang saya terima dari orang nomor satu di dunia pendidikan  Sumbar itu. Itulah makanya saya sebut tanggung jawab moral dalam melahirkan tujuh buku itu dalam tempo satu tahun. (dapat dibaca di http://zulkarnaini.my.id di bawah judul “Dari Artikel Surat Kabar ke Buku”.

Hal yang diinginkan dengan kurikulum mata pelajaran buku BAM itu sangat sederhana, tetapi berdampak besar terhadap pengembangan karakter peserta didik bila dilaksanakan dengan konsisten. Hal yang diingingkan adalah mata pelajaran budaya alam Minangkabau bertujuan agar peserta mengenal, memahami, menghayati, mengapresiasi, dan menerapkan nilai-nilai budaya Alam Minangkabau dalam kehidupan sehari-hari. Itu yang diharapkan dari kurikulum dan buku yang saya tulis. Tercapaikah? Ini mungkin perlu diskusi lebih lanjut karena banyak variabel yang berpengaruh.

Buku-buku apa saja yang Bapak tulis yang bermuatan lokal (Minangkabau) dan bagaimana jalan ceritanya bisa menjadi penulis buku tersebut?

Buku muatan lokal yang saya tulis: (1) Minangkabau Ranah Nan Elok, Buku Pelajaran Muatan Lokal Budaya Alam Minangkabau Sekolah Dasar (empat jilid), Penerbit CV Usaha Ikhlas Bukittinggi, Sumatra Barat (2) Minangkabau Ranah Nan Den Cinto, Buku Pelajaran Muatan Lokal Budaya Alam Minangkabau SLTP (tiga jilid), Penerbit CV Usaha Ikhlas Bukittinggi dan CV Jasa Surya, Padang, Sumatra Barat.

Lalu, bagaimana pedapat dan pandangan Anda terkait dengan pola ajar dan implementasi muatan lokal saat kini?

Pola ajar dan implementasi muatan lokal ditentukan oleh tiga hal penting. Ketiga hal itu adalah kurikulum, guru, dan buku ajar. Kini, mulai dari SD sampai SLTA, tidak ada kurikulum khusus muatan lokal. Semua kontens lokal diupayakan untuk mengintegrasikan ke mata pelajaran tertentu. Jadi, jika ketiga komponen itu tidak lengkap dan padu, tentu saja sulit dikomentari pola ajar dan implementasi muatan lokal.

Beberapa waktu lalu guru-guru BAM mendatangi DPRD Sumbar. Mereka  mengeluhkan mata pelajaran tersebut tidak memiliki kedudukan yang jelas pada kurikulum 2013. Bagaimana pendapat Anda?

Guru BAM SMP dulu datang ke DPRD Provinsi Sumbar mengadukan nasibnya. Kedatangannya untuk dua hal, yaitu untuk kepastian keberadaan mata pelajaran BAM dan kepastian kebraradaan guru BAM. Hal itu ternyata tidak menemukan solusi. Guru pulang dengan tangan hampa. Soalnya di DPRD itu tidak ada yang berpikir untuk ini, orang yang mengingatkan pun juga tidak ada. “Pembisik” atau konsultan teknis bidang pendidikan di DPRD itu diambil dari perguruan tinggi. Orang-orang perguruan tinggi hanya mengenal pendidikan dasar dan menengah secara teoretis dan yuridis saja, mereka tidak mengenal wilayah itu secara praktis dan teknis. Makanya, guru-guru pulang dengan tangan kosong.

Masalah lain adalah, masyarakat Sumbar, pemprov, pemkab dan pemko tidak  bersungguh-sungguh untuk mengurus mata pelajaran Budaya Alam Minangkabau ini. Ketika beberapa kali dilaksanakan diskusi fokus tentang itu, jawabannya adalah “tidak ada anggaran” untuk menjadikan BAM sebagai mata pelajaran di sekolah. Kalau anggaran tidak ada, seharusnya diadakan. Jika tidak diadakan ya, tidak mungkin ada. Anggaran yang dibutuhkan tentu cukup besar. Ada tiga kegunaan anggaran, yakni biaya untuk merevisi atau menyusun kurikulum, biaya operasional dan monev, dan biaya untuk tunjangan profesional guru (TPG). Biaya paling besar tentu untuk TPG.

Berdasarkan itu, tidak ada keberanian pemerintah untuk membuat perda atau pergub. Ujung dan konsekuensi logis dari regulasi itu tentu anggaran biaya. Inilah masalahnya. Katanya kuncinya apa, “masyarakat dan pemda tidak bersungguh-sungguh”. Ketidakbersungguh-sungguhan masyarakat dan pemda itu mungkin perlu didiskusikan lagi.

Sebagai seorang guru, sejauh ini, bagaimana dengan perilaku siswa saat ini, apa yang perlu dibenahi, dan perubahan apa yang sedang terjadi sehingga perilaku tawuran antarsiswa kerap terjadi di Padang?

Perilaku siswa saat ini dapat didekati dari berbagai sudut. Jika didekati dengan teori “kurva normal” Bloom, maka perilaku “menyimpang” siswa (tawuran, kenakalan, dan sebagainya) itu termasuk kategori normal. Teori itu mengatakan normal karena jika di jumlahkan siswa di kota Padang, yang berperilaku menyimpang itu tidak sampai 20%, jadi masih di bawah normal. Biasalah, begitu. Pola kurva normal itu adalah ekstrim kiri lebih kurang 20%, ektrem kanan lebih kurang 20%, dan normal lebih kurang 60%. Jika penyimpangan dianggap ekstrem kiri dengan angka 20%, itu masih normal.

Pendekatan lain dengan pola asuh ayah-bunda. Penyimpangan perilaku anak atau istilah lain pembelokan perilaku itu terjadi karena sangat banyak ayah-bunda yang tidak “melunasi” kewajibannya kepada anak. Kewajiban itu dalam teori pendidikan Islam meliputi tarbiyah, ta’dip, dan ta’lim. Tarbiyah adalah tugas ayah-bunda mengidentifikasi, menumbuhkembangkan, dan membina fitrah umum dan fitrah khusus anak secara kontiniu. Ta’dip adalah menanam, menumbuhkan, dan mengendalikan penerapan adab (akhlak, budi pekerti) dalam keseharian ini menuju manusia yang beradap. Ta’lim adalah pemberian atau pembekalan masalah hidup dan kehidupan kepada anak melalui pengalaman, pengetahuan, pemahaman, kearifan, dan tindakan. Jadi ayah bunda berkewajiban mengarahkan anak dalam bentuk mengubah pengalaman menjadi pengetahuan, pengetahuan menjadi pemahaman, pemahaman menjadi kearifan, dan kearifan menjadi tindakan.

Kini banyak ayah-bunda yang mewakilkan kepada orang lain atau institusi lain perihal tanggung jawabnya ini. Orang atau institusi yang diwakilkan itu, ternyata tidak dapat menggantikan peran ayah-bunda. Otomatis utang ayah-bunda tidak lunas kepada anak-anaknya. Terjadilah penyimpangan perilaku dengan segala dimensinya.

Pendekatan lain adalah pendekatan seperti yang terutang salam Undang-Undang Sisdiknas Nomor 20/2003. Tanggung jawab pendidikan ada di tangan keluarga, masyarakat, dan pemerintah. Ketiga penanggung jawab ini harus satu niat, satu bahasa, dan satu tindak dalam mendidik generasi. Kini terjadi ketimpangan luar biasa di antara ketiganya. Dapat dilihat dalam kenyataan sehari-hari. Sekolah mengatakan putih, orang tua menganggap abu-abu, dan masyarakat mencontohkan warna lain lagi. Ini dilema yang perlu dikaji.

Sekurang-kurangnnya yang harus dibenahi adalah ketiga institusi itu. Peran keluarga ayah-bunda dikembalikan, peran masyarakat dioptimalkan, dan peran pemerintah (sekolah) hendaklah berorientasi kepada keempat kecerdasan (spiritual, intelektual, emosional, dan kinestetik) secara seimbang. Hal penting adalah kesamaan niatan, bahasa, dan tindakan dari ketiga institusi itu. Tentu peran Pemda sangatlah dibutuhkan dalam konteks intervensi kebijakan, pembinaan, dan anggaran.

Selanjutnya, bagaimana Anda menilai tentang dunia pendidikan, pengajaran, budaya, dan generasi muda saat ini?

Saya melihat, bangsa ini sedang diseksistensi dan dialokasi. Kita sedang galau tentang keberadaan kita dan tempat kita dalam berbudaya. Ini karena kita tidak bersungguh-sungguh mendalami dan menangkap nilai-nilai budaya kita. Katakanlah etnis Minangkabau, kita tidak ajeg, konsisten, dan baku dalam mendelegasikan nilai-nilai budaya kepada generrasi kita. Proses regenerasi pada hakikatnya adalah proses pelimpahan nilai-nilai, kini dilai-nilai itu kabur, tak jelas, dan takkunjung terumuskan. Nah, ini masalahnya. Maka saya berpendapat, pendidikan budaya kita adalah pendidikan mengikuti aliran air ke hilir saja. Begitu.

Lalu bagaimana dengan tingkat kemampuan menulis para guru saat ini?

Rata-rata kemampuan menulis guru kita masih perlu ditingkatkan. Meskipun akhir-akhir ini ada eUforia “satu guru satu buku”, yang disponsori oleh suatu lembaga, namun kemampuan menulis guru belum berkemajuan secara signifikan. Soalnya, untuk dapat menulis dengan baik dan benar, kan tidak dapat dengan cara “karbitan”, harus melalui proses yang panjang dan terus-menerus tak henti-henti.

Kini guru berlomba-lomba menulis buku dengan motivasi institusi tertentu. Ini awal yang baik. Guru jangan terlena dengan judul buku yang cantik, kemudian diterbitkan lima atau sepuluh eksemplar, diserahkan kepada pejabat dalam satu acara, dipublikasi di media sosial. Jangan terlena karena itu. Mulailah menulis dengan dua kacamata. Kacamata pertama untuk memperlihatkan ‘inilah saya” dan kacamata kedua “dengan ini saya sejahtera”. Ada prestasi dan prestise serta finansial dalam buku. Begitu.

Apa yang ingin Anda katakan terkait dengan pendidikan Sumatra Barat secara umum?

Pendidikan Sumbar secara umum baguslah. Bisa kompetitif dengan daerah lain. Khusus pada pendidikan dasar dan menengah, kita sangat kompetitif. Tentu itu bukan berarti kita puas dengan hasil yang ada. Masih ada yang perlu ditingkatkan. Selama ini kita puas dengan hasil pendidikan, lupa dengan proses. Oleh karena itu, seyogyanya “pengampu” pendidikan di daerah ini perlu kembali melihat “potret diri” berdasarkan “delapan standar nasional pendidikan”. Dari delapan standar itu, sisi mana sajakah yang perlu menjadi perhatian khusus. Ini perlu kajian.

Pendidikan tinggi kita? Wah… saya berat untuk berkomentar. Soalnya, selain tidak banyak berkecimpung di situ, juga banyak keluhan mahasiswa. Misalnya mahasiswa yang akan menyelesaikan tugas akhir skripsi, tesis, dan disertasi. Mereka mengeluh karena sulitnya menemui “pembimbing”. Bahkan untuk mencari pembimbing skiripsi saja, mahasiswa terpaksa menambah perkuliahan satu sampai tiga semester. Hal itu telah berlangsung bertahun-tahun, sepertinya tidak ada perubahan. Dari segi pelayanan seperti ini saja bisa diperbaiki oleh perguruan tinggi kita, itu sudah ada kemajuan luar biasa.

Selama lima tahun Anda pernah menjadi pengawas sekolah, apa yang Bapak temukan terkait dunia pendidikan Sumbar? Apa saja sebenarnya yang diawasi?

Saya diangkat menjadi Pengawas Sekolah tahun 1998. Jabatan itu saya emban atas Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Ketika saya menjadi pengawas sekolah, jabatan itu masih dalam masa peralihan atau transisi. Kalau ketentuan sebelumnya pengawas sekolah itu adalah jabatan “banci”. Artinya, dua jabatan sekaligus yakni struktural dan fungsional. Seorang pengawas sekolah ya berjabatan struktural dan ya berjabatan fungsional. Saat itu yang menonjol adalah strukturalnya. Ketika saya masuk menjadi pengawas, jabatan itu berubah menjadi jabatan fungsional penuh sesuai regulasi yang ada.

Tugas fungsional pengawas sekolah itu hanya dua yakni menilai dan membina. Hal yang dinilai adalah teknis edukatif dan teknis administratif. Sasaran pembinaan adalah guru, kepala sekolah, dan tenaga tatausaha sekolah. Menilai berarti mengumpulkan informasi atau data tentang teknis edukatif dari guru dan teknis adminstratif dari kepala sekolah dan pegawai tata usaha. Setelah data terkmpul dilakukan pengolahan, penafsiran, dan pemaknaan. Atas dasar itu akan ada tindakan selanjutnya yakni pembinaan, perbaikan, dan peningkatan. Jadi kerja pengawas itu adalah semacam siklus yang bertujuan untuk meningkatkan mutu proses dan hasil belajar serta mutu dan proses pengelolaan administrasi sekolah. Itu saja.

Jabatan pengawas sekolah saya mban selama enam tahun yakni 1998-2004. Pertengahan tahun 2004 saya pindah dari pegawai daerah menjadi pegawai pusat Kementerian Pendidikan Nasional. Saat itu saya diajak oleh Kepala Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) Sumbar untuk menjadi widyaiswara. Melalui seleksi dan diklat di Lembaga Administrasi Negara (LAN), saya mendapat rekomendasi untuk pindah ke LPMP sebagai widyaiswara dengan jabatan madya. Sesuai dengan regulasi yang berlaku, saya pensiun atau purnatugas sebagai PNS-ASN bulan Februari 2012. Sebagai widyaaiswara saya tidak pernah pensiun. Sampai kini masih berbagi ilmu dan keterampilan kepada sejawat guru, kepala sekolah, dan pengawas sekolah.

Ada yang menilai untuk pemerataan pendidikan, pemerintah daerah hanya mengutamakan pembangunan, dan perbaikan sarana dan prasarana fisik, sementara bidang SDM diabaikan. Bagaimana penilaian Anda?

Bisa jadi ya, bisa pula tidak. Pemerintah daerah itu kadang-kadang tak ubah seperti “polongan asok” belaka. Kalau ada dari pusat disalurkan. Khusus untuk peningkatan SDM yang berciri khas etnis kedaerahan itu untuk pendidikan hampir tidak ada. Pemda hanya melaksanakan apa yang ada dari pusat. Lihatlah kebijakan apa yang dilahirkan untuk menggali nilai-nilai keminangkabauan dalam berbagai diemensi misalnya. Ya, itu bisa ya bisa tidak.

Peringkat pendidikan Sumbar secara umum berada urutan lima nasional

Ukuran peringkat pendidikan yang ada hanya sisi yang amat tipis, yakni siswa hasil ujian akhir. Berdasarkan hasil itu dibuat peringkat. Mestinya, ukurannya tidak hanya itu, harus masuk ke delapan standar nasional pendidikan. Mulai dari standar proses sampai ke standar sarana dan prasarana. Kalau dari hasil ya, baguslah di peringkat lima itu. Itu pun kan hanya rata-rata bukan pemerataan hasil. 

Sekilas Tentang  Zulkarnaini

Keluarga besar pasangan Zulkarnaini dengan Wirnahayati berkumpul saat Lebaran

Zulkarnaini, anak ketiga dari tiga bersaudara. Lahir 19 Januari 1952 di Nagari Mahat (Maek), Kecamatan Suliki Gunung Mas (kini: Kecamatan Bukik Barisan, Limapuluh Kota, Sumatra Barat.

Menikah dengan Wirnahayati (guru SMP 2 Padang, kini pensiun) 4 Januari 1979. Dikaruniai lima empat orang putra dan satu putri. Putra pertama Edla Di Seda Zul (39), tamat Sekolah Tinggi Pariwisata AMPTA, Yogyakarta,  tinggal di Semarang bersama istri dan satu anak, bekerja di perusahaan swasta.

Putra kedua Idra Zul (37), tamat Fakultas Ekonomi Universitas Bung Hatta, Padang, tinggal di Batam bersama istri dan satu anak, bekerja di perusahaan swasta.

Anak ketiga satu-satunya putri, Esa Puti Setia Zul tamat Akademi Repraksi Optisi, Padang tinggal di Kota Manna, Bengkulu Selatan, Provinsi Bengkulu dengan suami dan satu anak, bekerja sebagai ASN kesehatan. Putra ketiga Udlil Iman Zul tamat Fakultas Teknik, Jurusan Arsitek, Universitas Bung Batta Padang tinggal di Padang dengan istri dan tiga orang anak, bekerja sebagai ASN di Pemda Provinsi Sumbar.

Putra keempat Muhammad Ihsan Zul tamat pascasarjana UGM, tinggal di Pakanbaru dengan istri dan dua anak, bekerja sebagai dosen di Politeknik Caltex Riau.

Bila dapat dikatakan sebagai hobi, hobi  saya membaca, menulis, dan fotografi. Saya berupaya menjadikan hobi itu sebagai penambahan penghasilan. Alhamdulillah, Allah memberikan hasil untuk itu. Hobi lain di bidang olah raga, kini saya tekuni tiap hari bersepeda. Olahraga lain seperti silat, tinju, tenis meja, tenis, dan yang berat-berat lainnya sudah saya tinggalkan sejak memasuki masa pensiun.

Kegiatan sehari-hari di samping sebagai trainer dan pemerhati pendidikan, juga menulis buku dan menulis opini untuk surat kabar. Kini sedang menyelesaikan sejumlah buku yang terbengkalai sejak lama. Mudah-mudahan dengan terus membaca dan menulis, tingkat kepikunan akan tertunda. Alhamdulillah, sampai memasuki usia ke-68 tahun, masih kuat “mangayuah” sepeda 30 km setiap hari.

Pulang kampung sangat insidental, hanya jika ada keperluan saja. Tidak ada lagi pulang ke kampung secara rutin sejak ibu bapak dan ibu bapak mertua meninggal. Kini menetap di Padang di Jl. Golf 26, Rt 03, Rw 13, Keluarahan Batipuah Panjang, Koto Tangah, Padang. *

Pewawancara Nasrul Azwar

 



BACA JUGA