Syafri Segeh
PERJALANAN Syafri Segeh menjadi wartawan terbilang unik. Setamat SMA, ia tidak tahu mau jadi apa. Cita-cita sebagai anak muda yang terdidik hanya untuk mengabdi bagi masyarakat. Berguna bagi orang lain.
Syafri Segeh bergelar Sutan Rajo Pangeran adalah putra Parupuk Tabing, Kecamatan Koto Tangah (dulu masuk wilayah Kabupaten Padang Pariaman, sejak 1981 jadi daerah Kota Padang). Lahir di Tabing, 10 April 1935, ia mendapat pendidikan SD hingga SMA di Padang.
Bagi tamatan SMA masa pertengahan tahun 1950-an itu tidaklah susah mencari pekerjaan. Mau jadi pegawai, kesempatan terbuka lebar. Karena belum banyak orang yang bersekolah hingga SMA ketika itu. Tamat SMP saja sudah hebat. Hanya dengan motivasi untuk mengabdi kepada masyarakat, ia akhirnya memilih jadi pegawai Kantor Jawatan Penerangan (Japen, belakangan jadi Depen) Kota Padang sejak pertengahan tahun 1950-an.
Di Jawatan Penerangan, Syafri ditempatkan di Bagian Pers dan Publisitas. Tugasnya adalah menghimpun dan mengolah laporan dari para juru penerangan (Jupen) Kecamatan untuk dijadikan berita (siaran pers) lalu dikirim ke surat kabar. Waktu itu di Kota Padang ada dua surat kabar harian, Res Publika dan Suara Persatuan. Jadi, praktis tugas Syafri mirip seorang redaktur, mengolah laporan jadi berita walaupun namanya siaran pers.
Bertugas sebagai jupen di bagian pers dan publisitas, dirinya otomatis bergaul dengan para wartawan, tak kecuali dengan para wartawan muda seperti Nasrul Siddik atau Nazif Basir yang bekerja di Res Publika waktu itu.
Lama-lama bergaul dengan wartawan, muncul keinginan jadi wartawan pula. Apalagi ia sudah biasa dan terbiasa menulis berita. Makanya, ketika datang tawaran padanya ikut menerbitkan Mingguan Fakta Minggu, di Padang, ia tidak menampik. Bekerja di surat kabar itu, kini tugasnya tidak hanya mengolah laporan jadi berita di belakang meja. Tapi harus pula turun ke lapangan, mencari berita, walaupun ia resminya adalah seorang redaktur. Tapi begitulah kerja wartawan masa itu. Semuanya serba dirangkap. Redaktur iya, reporter juga, bahkan merangkap pula sebagai korektor.
Awal tahun 1960-an, terbitlah Harian Aman Makmur di Kota Padang, dipimpin Marthias Doesky Pandoe, Saifullah Alimin, dan Darmalis. Banyak wartawan muda bergabung ke sana, antara lain Zuiyen Rais, Radjalis Kamil, dan A. Pasni Sata. Syafri yang sudah kepincut jadi wartawan pun ikut bergabung. Kepalang basah, status sebagai pegawai negeri di Japen ia tinggalkan. Syafri terjun benar menjadi wartawan.
Tapi belum dua tahun terbit dan dapat sambutan luas di masyarakat Sumatera Barat, Aman Makmur kena breidel bersama puluhan surat kabar lain di Indonesia. Pasalnya, koran ini termasuk koran BPS (Badan Pendukung Soekarniosme) yang antikomunis. Ketika itu, PKI mulai berkuasa.
Setelah Aman Makmur berhenti terbit, Syafri Segeh kemudian pindah ke Harian Umum Tri Ubaya Sakti yang penerbitannya didukung oleh Kodam 17 Agustus. Koran ini kemudian berganti nama menjadi Warta Yudha, lalu Angkatan Bersenjata (AB) Edisi Padang, terakhir menjadi Harian Semangat.
Setelah pemberontakan G30S/PKI, Harian Aman Makmur kembali terbit. Maka Syafri Segeh pun kembali ke surat kabar anti-PKI itu. Waktu itu ia juga merangkap wartawan LKBN Antara yang juga baru dibersihkan dari unsur-unsur komunis yang sempat menguasai kantor berita milik negara itu. Ketika itulah ia sempat menulis buku berjudul Subandrio, Durno Terbesar Abad XX (1966).
Pada tahun 1969, Harian Haluan yang dilarang terbit sejak pergolakan PRRI (1958), kembali diizinkan terbit oleh penguasa militer. Tapi ada syarat, nama Kasoema sebagai pendiri dan pemimpin umum, serta wartawan muda Annas Lubuk tidak boleh tercantum di sana, karena dulu terlibat PRRI dan pernah ditahan. Namun secara de facto Kasoema tetap sebagai pimpinan dan mengelola bidang usaha. Akhirnya SIT (Surat Izin Terbit) Haluan diberikan Kodam 17 Agustus atas nama Chairul Harun. Chairul pun mengajak sejumlah wartawan muda untuk membangkitkan kembali Haluan. Termasuk Syafri Segeh dan A. Pasni Sata. Syafri Segeh sendiri menjadi wakil pemimpin redaksi.
Setahun kemudian Chairul Harun mundur dari Haluan. Syafri Segeh naik menggantikannya sebagai pemimpin redaksi. Waktu itu, Haluan yang sudah punya nama sejak zaman perang kemerdekaan mendapat sambutan luas dari masyarakat Sumatera Barat dan Riau. Di Riau waktu itu kebetulan belum ada koran harian.
Melihat peluang terbuka di Riau, pada tahun 1972 Syafri Segeh ditugaskan Kasoema untuk mengembangkan Haluan dan diangkat sebagai kepala perwakilan di Pekanbaru. Sedangkan pemimpin redaksi, ia digantikan oleh Rivai Marlaut, wartawan senior segenerasi dengan Kasoema.
Di bawah Syafri Segeh sebagai kepala perwakilan dan koordinator wartawan, Haluan menjadi bacaan utama masyarakat Riau. Oplahnya berkembang karena berita-beritanya digemari oleh masyarakat. Di Pekanbaru Syafri diperkuat oleh sejumlah wartawan, termasuk Moeslim Kawi yang seangkatan dengannya.
Di Riau nama Syafri Segeh tercatat sebagai wartawan perintis yang mengembangkan pers di daerah itu. Sebagai anggota PWI, ia pun ikut membesarkan PWI di Riau. Selama bertugas di Pekanbaru lebih kurang sebilan tahun, Syafri Segeh dua periode menjadi Wakil Ketua PWI Riau, dan satu periode sebagai Bendahara.
Pertengahan tahun 1980-an Syafri Segeh kembali ditarik ke Padang dengan tugas baru sebagai kepala biro penelitian dan pemasaran, suatu tugas yang strategis karena menjembatani antara redaksi dengan perusahaan (pemasaran). Tugas tersebut ia emban sampai pensiun dari Haluan tahun 1999.
Sebenarnya tidak ada kata pensiun untuk wartawan. Apalagi cita-cita Syafri Segeh adalah untuk mengabdi masyarakat. Makanya, setelah tidak lagi bekerja di Haluan, ia tetap mengabdikan dirinya untuk kepentingan masyarakat. Di masa tuanya, Syafri tetap aktif dengan berbagai kegiatan sosial dan kemasyarakatan. Di lingkungan tempat tinggalnya di Jalan Flamboyan, Padang Barat, ia pernah menjadi sekretaris kemudian menjadi Ketua LKMD Kelurahan Flamboyan. Ia juga dipercaya masyarakat menjadi Ketua Forum Komunikasi Asosiasi Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) Kelurahan se-Kecamatan Padang Barat.
Sebagai warga Kota Padang, Syafri pernah menjadi Tim Perumus Penetapan Hari Jadi Kota Padang. Selama kariernya sebagai wartawan, ia juga menulis beberapa buku. Selain buku Subandrio Durno Terbesar Abad XX (1966), ia juga menulis buku Padang Kota Perjuangan (1997). Syafri Segeh meninggal dunia dalam usia 81 tahun pada 1 Juni 2016 di Padang. (Firdaus Abie)
Sumber: 121 Wartawan Hebat dari Ranah Minang & Sejumlah Jubir Rumah Bagonjong (2018)