Arby Samah, Pelopor Seni Patung Abstrak Indonesia

Senin, 14/10/2024 11:45 WIB
H. ARBY SAMAH Datuak Majo Indo (1933-2017)

H. ARBY SAMAH Datuak Majo Indo (1933-2017)

H. ARBY SAMAH Datuak Majo Indo (1933-2017) dikenal sebagai pelopor karya seni patung abstrak Indonesia. Kepeloporannya itu semenjak ia masih kuliah di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI)—kini ISI—Yogyakarta pada tahun 1957.

Semasa itu, ia masih berusia 24 tahun dan telah melahirkan karya seni patung nonfiguratif yang dinilai baru, inovatif dan diluar dari “pakem”  karya-karya pematung lainnya. Media cetak yang berpengaruh menurunkan beritanya soal terobosan yang diciptakan Arby Samah. Karya patung abstraknya pada saat itu memicu “reaksi” dari pelbagai kalangan, terutama perupa Indonesia.

Dalam sejarah seni rupa di Indonesia, mungkin hanya seniman Arby Samah yang berpameran dikunjungi dua Presiden Republik Indonesia, yakni Soekarno dan Soeharto. Kendati kedua orang nomor satu di Indonesia itu kurang tertarik dengan karya-karya Arby Samah. “Puji-pujian itu hanya untuk Tuhan,” kata Arby Samah suatu ketika dalam sebuah wawancara.

Arby Samah lahir di Nagari Pandai Sikek, Tanah Datar, Sumatra Barat, 1 April 1933 dari pasangan Abu Samah-Siti Jalilah. Masyarakat Nagari Pandai Sikek memiliki tradisi kerajinan ukiran kayu seak dulunya. Ia anak bungsu dari tiga bersaudara kandung: Arbay Samah dan Asmara. Sedangkan saudara yang sebapak di antaranya Ayunis Samah (istri Arbi Sanit, pengajar di UI), Ayernis Samah, Asmaedy Samah dan Asma Elly Samah. Arby Samah bersuku Tanjung.

Arby Samah menyelesaikan pendidikan SD tahun 1945 dan SMP (1948) di INS Kayutanam, Padang Pariaman, dan (ASRI) Yogyakarta pada tahun 1957. Saat Agresi Belanda II tahun 1948, ia bergabung dengan tentara pelajar Devisi INS Kayutanam (1948-1950). Setamat INS Kayutaman, ia menjadi guru di sekolah agama di Bukittinggi dan Padang Panjang yang juga sekaligus sebagai tenaga sukarela di Gedung Kebudayaan Sumatra Tengah di Padang Panjang. Setelah menyelesaikan pendidikan seni rupa di ASRI Yogyakarta, ia bekerja antara lain pada Museum Angkatan Darat di Yogyakarta, dan di Direktorat Jenderal Kebudayaan Depdikbud di Jakarta. Pada tahun 1970-an, ia pindah ke Padang, Sumatra Barat.

Di Sumatra Barat, Arby Samah menjabat sebagai Kepala Bidang Kesenian di Kanwil Depdikbud Sumbar (1971-1989), Kepala SMSR Negeri Padang (1989-1993). Tahun 1993, suami Murtina ini, pensiun sebagai pegawai negeri. 

Sepnjang karier dan perjalanannya sebagai seniman patung, Arby Samah telah melahirkan 250 karya patung dan lukisan. Karya patung abstraknya yang fenomenal dalam seni perpatungan berjudul “Sujud” berbahan kayu pada tahun 1960. Dua tahun jelang pensiun,ia juga menciptakan karya patung yang berbahan kayu berjudul “Ibu” pada tahun 1991.

Selain patung, ia juga banyak menghasilkan karya momumen-monumen sejarah yang dalam bentuk realis, antara lain  “Monumen Bagindo Aziz Chan”, di kawasan Taman Melati Kota Padang pada tahun 1975. Pada tahun yang sama, Arby Samah membuat monumen “Pejuang Revolusi” di Sungai Buluh, Batang Anai, Padang Pariaman.

Sebagai pejabat di Kanwil Dekdibud, tak membuat dirinya berhenti berkarya kendati pernah “vakum” karena rutinitas pekerjaan kantor. Arby Samah beberapa kali menggelar berpameran tunggal karya patungnya di Taman Budaya Sumatra Barat, antara lain “Seni Patung Arby Samah Mengangkat Batang Terendam” (1994), di Galeri Lontar Jakarta, Duta Fine Art Foundation, dan Galeri Nasional Indonesia. Salah satu karya lukisnya berjudul “Minangkabau” (1959) dikoleksi Galeri Nasional Indonesia. Saat di ASRI Yogyakarta, Arby Samah sempat belajar melukis dan sketsa kepada Hendra Gunawan, S. Soedjojono, Widayat, dan Trubus.

Kehadiran Taman Budaya Sumatra Barat sebagai ruang aktivitas dan ekspresi seniman, juga tak lepas dari peran dan kontribusi Arby Samah. Sebelumnya, kawasan ini bernama Lapangan Dipo atau Pusat Kesenian Padang. Ia ikut terlibat langsung merintis hadirnya salah satu unit pelaksana teknis (UPT) di bidang seni dan pengembangan budaya ini.

Selain itu, Arby juga ikut menyumbangkan tenaga dan pikirannya dalam proses pengusulan Bagindo Aziz Chan, Wali Kota Padang kedua untuk ditetapkan pemerintah sebagai Pahlawan Nasional, yang akhirnya diputuskan pada 9 November 2005. Arby Samah termasuk 15 seniman patung Indonesia yang terkenal dan berpengaruh. Pada tahun 2005, Dewan Kesenian Sumatra Barat menganugerahinya sebagai maestro patung abstrak Indonesia.  

Pada 1 Oktober 2022, Arby Samah menerima Anugerah Kebudayaan dari Pemerintah Provinsi Sumatra Barat atas kontribusinya terhadap pemajuaan seni dan kebudayaan yang diserahkan kepada ahli waris saat perayaan Hari Jadi ke-77 Provinsi Sumatra Barat pada 1 Oktober 2022.  

Pernikahannya dengan Murtina diberi lima orang anak, yaitu Aurora Murnayati, Anita Dikarina, Lenggo Geni, Nurkesuma, dan Adek Sukma Murti, serta 8 orang cucu. Arby Samah meninggal dunia pada Rabu 6 September 2017 dalam usia 84 tahun di Kota Padang dan dikebumikan di pandam pekuburan masyarakat Tanah Datar di Kelurahan Banuaran Nan XX (Banuaran), Kecamatan Lubuk Begalung, Kota Padang. (Nasrul Azwar) 

 

 

 

Sumber: Wawancara dengan keluarga Bapak Arby Samah



BACA JUGA