RUPTL 2025–2034, Cermin Kebijakan Sesat Kementerian ESDM dalam Transisi Energi

Kamis, 05/06/2025 20:52 WIB

Padang, sumbarsatu.com—Konsorsium Sumatera Terang untuk Energi Bersih (STuEB) menilai dokumen Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025–2034 yang dipublikasikan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada 26 Mei 2025 mencerminkan kegagalan total kementerian tersebut dalam menjalankan komitmen transisi energi yang berkeadilan.

Dalam dokumen tersebut, Pulau Sumatera masih menjadi pusat pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batubara dengan rencana penambahan kapasitas sebesar 3,3 Giga Watt (GW) dari total 6,3 GW PLTU baru yang akan dibangun di Indonesia.

Kebijakan ini jelas bertentangan dengan prinsip transisi energi nasional. Padahal, Indonesia telah berkomitmen mencapai puncak emisi sektor ketenagalistrikan pada tahun 2030 dan Net Zero Emission (NZE) pada tahun 2060. Dalam jangka menengah, target bauran energi baru dan terbarukan (EBT) sebesar 23% pada tahun 2025 dan 34% pada 2030 seharusnya menjadi prioritas utama.

PLTU Baru: Bukti Kegagalan ESDM

Ali Akbar, Konsolidator STuEB dari Bengkulu, menyebut bahwa pembangunan PLTU baru merupakan bentuk manipulasi kebijakan untuk memperpanjang usia energi kotor.

“Kami telah menyerukan penghentian operasional PLTU batubara dengan kapasitas 6,2 GW selama delapan tahun terakhir, namun belum terealisasi. Kini, malah direncanakan pembangunan PLTU baru. Ini jelas kebijakan yang absurd,” tegas Ali.

Menurutnya, Hari Lingkungan Hidup Sedunia harus dijadikan refleksi bahwa pencemaran udara, air, dan tanah dari PLTU adalah ancaman nyata bagi kehidupan.

Rahmad Syukur, Direktur Apel Green Aceh, menyebut pembangunan PLTU baru di Aceh sebagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia (HAM):

“Pemerintah berbicara transisi energi, namun terus menjadikan Aceh sebagai basis ekspansi batubara. Ini bukan transisi, melainkan kejahatan struktural terhadap rakyat dan alam Aceh,” ujarnya.

PLTU: Sumber Krisis dan Ketimpangan

Sumiati Surbakti, Direktur Srikandi Lestari (Sumatera Utara), menyoroti keberadaan PLTU Pangkalan Susu sebagai simbol kontradiksi dalam kebijakan transisi energi:

“RUPTL ini inkonsisten. PLTU tetap dipertahankan di tengah krisis iklim. Kebijakan ini merusak kredibilitas Indonesia di mata internasional dan menghambat transformasi energi berkelanjutan,” ujarnya.

Wilton Panggabean dari LBH Pekanbaru menambahkan bahwa RUPTL terbaru menegaskan ketidaksungguhan pemerintah menekan emisi karbon:

“Cita-cita swasembada energi di bawah pemerintahan Prabowo hanyalah dalih untuk melegitimasi eksploitasi lingkungan yang ugal-ugalan,” katanya.

Ia juga melaporkan pengaduan warga Tenayan Raya, Pekanbaru, tentang tumpukan limbah FABA setinggi 15 meter yang telah merusak rumah dan lahan warga akibat longsoran limbah.

Diki Rafiki, Direktur LBH Padang, menyatakan bahwa Sumatera tidak hanya menjadi korban pencemaran, tetapi juga pelanggaran HAM:

“Transisi energi yang tetap menjadikan Sumatera sebagai pusat tambang dan pembakaran batubara adalah kejahatan struktural, bukan perubahan ke arah yang lebih baik,” ujarnya.

Boni Bangen, Direktur Perkumpulan Sumsel Bersih, mengungkap bahwa Sumatera Selatan saat ini mengalami surplus listrik sebesar 2.207,08 MW dari 16 PLTU yang ada, namun pemerintah justru menambah PLTU baru.

“Transisi energi telah menjadi bahan candaan. Yang diutamakan bukan keselamatan rakyat, tapi royalti dan dana bagi hasil sektor minerba,” tegasnya.

Melia Satry, Manajer Kampanye Yayasan Anak Padi (Lahat), menyebut bahwa Kecamatan Merapi sudah dikepung polusi berat.

“Kami sesak napas karena PLTU batubara dan angkutan batubara. Tambahan PLTU baru bukan hanya menyiksa kami—tapi seperti ingin membunuh kami,” ujarnya.

Deri Sopian, Manajer Kampanye Lembaga Tiga Beradik (Jambi), mengungkap bahwa kerugian akibat industri ekstraktif batubara di Jambi mencapai Rp17 triliun.

“Kerusakan ekosistem, pencemaran sungai, dan ancaman terhadap situs budaya seperti Candi Muaro Jambi menunjukkan dampak sistemik industri ini. Pembangunan PLTU-MT Jambi 1 dan 2 akan memperburuk semuanya,” katanya.

Lampung: Ekosistem Pesisir Terancam

Prabowo Pamungkas, Kepala Divisi Advokasi LBH Lampung, menjelaskan bahwa PLTU Sebalang dan Tarahan telah menimbulkan polusi serius di lingkungan dan laut.

“Polusi abu dan pembuangan limbah ke laut telah merusak ekosistem pesisir dan mengancam nelayan. Prinsip polluter pays harus ditegakkan. Pemerintah wajib memastikan pelaku pencemaran bertanggung jawab,” tegasnya.

Hari Lingkungan Hidup Sedunia 2025 seharusnya menjadi momen penting untuk memperkuat komitmen terhadap transisi energi yang berkeadilan dan berkelanjutan. Namun, RUPTL 2025–2034 justru mencederai semangat tersebut dan menjadi bukti bahwa pemerintah, khususnya Kementerian ESDM, telah gagal menjalankan mandat transisi energi yang sejati. ssc/rel



BACA JUGA