
Harry Wibowo
OBITUARI: Harry Wibowo Memimpikan Barça dalam Politik Indonesia
OLEH A.S. Laksana (Jurnalis)
IA menulis status Facebook terakhirnya, pada 27 April 2025, ringkas saja: “3:2 = Konde”. Itu skor kemenangan Barcelona atas Real Madrid dalam El Clásico yang harus dikabarkan. Dan harus dirayakan.
Ia mencintai Barcelona karena pada klub itu ia melihat bentuk nyata dari sesuatu yang ia impikan, dan kemenangan Barça atas Madrid, baginya, selalu mewakili kemenangan rakyat atas kekuasaan. Barcelona adalah kolektivitas dan kedaulatan rakyat; klub ini dimiliki oleh para socios, dengan satu orang satu suara, tanpa oligark di balik layar. Sementara Real Madrid adalah lambang kekuasaan dan patronase; ia klub elite yang dalam sejarahnya pernah didukung oleh rezim diktator Franco.
Maka, ketika ia merayakan kemenangan Barcelona atas Madrid, ia sedang merayakan kemenangan imajinasi kolektif atas struktur kuasa yang mapan. Konon, ia salah satu socios, anggota klub yang resmi terdaftar dan ikut memiliki klub secara kolektif, dan ia punya hak suara. Dan status terakhirnya itu menjadi suatu pernyataan kecil tentang harapan yang selalu ia rawat, ialah bahwa kekuasaan bisa didistribusikan, kemenangan tidak memerlukan oligarki, dan politik bisa dibayangkan ulang dari lapangan sepak bola.
*
Pada akhir 1980-an, setelah beberapa tahun dibungkam oleh kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK), para aktivis mahasiswa mulai turun ke jalan lagi. Di Jogja, mereka memulai dengan demo menolak NKK/BKK dan selanjutnya demo antikekerasan. Di samping kelompok aktivis jalanan ini ada kelompok diskusi, dan di antara keduanya ada kelompok pers mahasiswa. Salah satu dedengkot jalanan adalah M. Thoriq, dan ia juga aktivis pers mahasiswa. Pada fase ini pula John Tobing melahirkan lagu masterpiece-nya “Darah Juang”, yang secara alami kemudian menjadi himne gerakan mahasiswa.
Setelah itu jaringan aktivis jalanan meluas—para aktivis jalanan seperti Agus Lennon dan Amir Daulay dan lain-lain rajin keluar masuk kampus, sampai sejauh-jauhnya—dan demo-demo mahasiswa menjadi pemandangan umum. Aktivis dari kelompok diskusi membicarakan Marx, Gramsci, Paulo Freire, Gunnar Myrdal, dan mengaitkannya dengan situasi Indonesia. Pemerintah merespons melalui aparat keamanan yang bertindak brutal terhadap para demonstran dan melakukan penangkapan terhadap aktivis kelompok diskusi.
Har Wib (Harry Wibowo), mahasiswa arsitektur ITB, ada di barisan kelompok diskusi, berjaga di garis belakang, dan dari sana ia mengasah sikap kritisnya terhadap represi dan kekerasan negara. Dan ia terus melakukannya, dengan sikap kritis yang ia perluas tidak hanya kepada negara, tetapi juga kepada pemikiran-pemikiran yang berseliweran di ruang publik, dan kepada teman-temannya sendiri.
Ia mengkritik seruan Farid Gaban di masa-masa kampanye pemilihan presiden 2024 karena, dalam pandangannya, Farid masih berharap pada negara dan masih menilai kandidat berdasarkan “yang paling tidak buruk”. Har Wib menolak “demokrasi patronase berbasis oligarki ekstraktif”, frase yang sering ia ulang-ulang untuk mengingatkan bahayanya. Sistem politik ini hanya tampak demokratis secara formal, tetapi sesungguhnya dikendalikan oleh para bohir yang menjarah melalui tambang, sawit, dan sumber daya alam lain. Mereka membiayai partai dan para kandidat demi menjaga kepentingan bisnis mereka, kekuasaan politik dijalankan melalui relasi patron-klien, dan pemilu hanya menjadi ajang bagi elite untuk saling bertukar jasa. Dan rakyat? Mereka dijadikan objek transaksional, bukan subjek kedaulatan.
Dengan alasan apa pun, ia menolak menjadi bagian dari sistem itu dan memilih mempertahankan kesetiaannya kepada suara-suara yang tidak diberi tempat dalam demokrasi formalitas, kepada para korban 1965 yang terus diusir dari sejarah, kepada rakyat Papua yang tak diberi hak menentukan nasibnya sendiri, dan kepada ideologi yang tersingkir karena tak menghasilkan klik dan tayangan.
Pada kesempatan lain, ia menyanggah pernyataan Bivitri Susanti dalam film Dirty Vote: “Untuk menyusun dan menjalankan skenario kotor seperti ini tidak perlu kepintaran atau kecerdasan, yang diperlukan cuma dua, mental culas dan tahan malu.”
Pernyataan semacam itu, meskipun terdengar kuat secara retoris dan mudah menyentuh emosi publik, baginya tidak cukup punya makna. Bivitri tetap menempatkan masalah pada karakter elite, bukan pada mesin politik yang melahirkan dan membesarkan mereka.
Dalam pemikirannya, yang lebih diperlukan adalah kedalaman yang sanggup menggoyang sistem, sebab “demokrasi patronase berbasis oligarki ekstraktif” tidak bisa sekadar ditangkal gejalanya. Sentilannya kepada teman-teman adalah cara ia mengingatkan bahwa kekuasaan yang lahir dari sistem itu harus dicegah agar jangan sampai menyusup ke dalam cara kita berpikir dan cara kita membayangkan perubahan.
“Politik itu suatu teknik menggalang kuasa impersonal,” katanya. Dengan itu, ia ingin menegaskan bahwa politik bukan urusan pribadi, bukan tentang siapa “baik” dan siapa “jahat”, dan tentu saja bukan tentang siapa yang paling sedikit keburukannya. Politik adalah soal siapa berkuasa dan untuk tujuan apa kuasa itu digalang. Namun, Indonesia pasca-1999, katanya, mengalami “pereduksian paling dangkal” dengan menggeser urusan struktur kuasa menjadi urusan karakter, moralitas, dan drama personal para elite.
Reduksi semacam itu memberi kita banjir konten politik yang dikemas dengan logika infotainment. Ia melihat bahwa “komunikasi politik” sebagai ilmu terapan, yang didorong oleh logika kampanye dan pengemasan pesan, telah menggusur ilmu politik yang sebenarnya, ilmu politik yang menggali struktur kelas, distribusi ekonomi, dan sistem representasi.
Dalam caranya menyindir, ia seperti sedang mengungkapkan bahwa politisi kita, media kita, dan bahkan ilmuwan kita, sadar atau tidak telah berselingkuh dengan mesin kapitalisme. Algoritma menggantikan penalaran, dan pilihan politik diarahkan bukan oleh kesadaran, tetapi oleh manipulasi statistik dan ilusi keterwakilan. Itu membawanya pada kesimpulan bahwa “Di zaman media digital kini, demokrasi membusuk, jadi bangkai.”
Bangkai, kita tahu, adalah tubuh yang sudah mati, tubuh yang kehilangan fungsinya dan tak lagi bisa diberi makna. Demokrasi Indonesia, yang sudah menjadi bangkai, tidak mungkin menjalankan fungsinya sebagai sistem perwakilan rakyat, dan pemikiran-pemikiran yang berkembang di ruang publik saat ini hanyalah alat untuk menyuplai data, klik, dan impresi ke mesin kapitalisme digital.
*
“Tanpa membongkar kontradiksi kapitalisme di Indonesia terkini, ya berilusi lah..."
Dengan pernyataan itu, ia seperti sedang menaruh papan pengumuman di tengah keriuhan wacana publik kita, untuk membuat orang menyadari satu hal: “Kalau kamu tidak bicara tentang struktur kapitalisme, kamu sedang berilusi, kamu hanya ikut terhanyut dalam karnaval kebingungan.”
Itu pengumuman serius, sebab ilusi tidak bersifat netral. Ia meninabobokan, ia mengalihkan, dan ia menghambat. Bagi Har Wib, semua yang tidak membongkar kontradiksi kapitalisme, yakni pertentangan antara akumulasi laba dan kesejahteraan rakyat, itu hanya akan memperpanjang usia penindasan.
Dalam cara berpikirnya, jika kamu bicara tentang demokrasi tapi tidak menyentuh siapa yang membiayai kampanye dan siapa yang mengatur distribusi tanah dan sumber daya, kamu sedang berilusi. Jika kamu bicara tentang pemberantasan korupsi tanpa membongkar bagaimana rente diproduksi melalui regulasi yang dibuat untuk dilanggar, kamu sedang berilusi. Dan jika kamu hanya mempersoalkan orang tanpa melihat sistem yang membentuk dan menopang naiknya orang itu, kamu sedang berilusi. Tanpa membongkar struktur, kamu hanya sibuk mengganti pemain di panggung yang rusak, dan itu bukan perubahan—itu ilusi perubahan.
*
Melalui pemikiran dan apa saja yang telah ia lakukan, di antaranya sebagai aktivis hak asasi manusia (ia salah satu koordinator perhimpunan International People’s Tribunal 1965), kita tahu bahwa ia berdiri tegak dalam tradisi pemikiran kiri, sambil menjaga diri agar tidak terpeleset menjadi dogmatis, dan ia jelas menolak sentimentalitas dan melodrama. Karena itu, ia mencoba mengingatkan apa yang keliru pada moralisasi dan personifikasi dalam perlawanan.
Ketika teman-temannya resah terhadap dukungan Jokowi kepada pasangan Prabowo-Gibran, ia berkeras mempertahankan sikapnya melalui tagar “Golput Alus” dan “Golput Bersatu Tak Bisa Disalahkan”. Ia tidak ingin terlibat dalam skenario palsu; ia menginginkan rakyat membangun kekuatan sendiri dan mewujudkan kedaulatannya.
Di situlah koperasi masuk. Di situ pula ia jatuh cinta pada Barcelona. Ia meyakini bahwa koperasi adalah dasar bagi pembebasan politik, sebuah ruang di mana rakyat bisa berdaulat atas hidupnya sendiri. Ia tidak membayangkan koperasi melulu sebagai organisasi simpan pinjam atau penyelamat UMKM; ia melihatnya sebagai basis kekuasaan alternatif. Jika negara dikuasai oligarki, dan partai menjadi pintu masuk bagi para pemilik modal untuk mengacak-acak demokrasi, koperasi seharusnya menjadi tempat rakyat belajar tentang kepemilikan bersama, pengambilan keputusan bersama, dan solidaritas yang sebenar-benarnya.
Ia ingin koperasi dikembalikan ke panggung politik, bukan dipahami semata-mata sebagai lembaga ekonomi.
Maka, ia mengajak orang kembali membaca Hatta, tapi juga mengkritik kemenangan cara berpikir teknokratik Hatta yang tak dibarengi daya ledak ideologis sebagaimana Soekarno. Dan ia sempat memikirkan pengelolaan Jurnal Prisma—ia pemimpin redaksi jurnal itu—dalam cara seperti Barcelona dikelola: sebagai kepemilikan bersama, melalui socios, melalui kekuatan kolektif. Tetapi ia tak punya waktu untuk mewujudkan mimpinya.
Har Wib meninggal pada 19 Mei 2025, di usia 64.[]
Dikutip dari akun Facebook A.S Laksana