ISKAK: Ikutlah Saranku, Kau Kutinggal

DRAMA PEMBERHENTIAN MENTERI ESDM ARCANDRA TAHAR

Rabu, 17/08/2016 07:45 WIB
Arcandra Tahar dan Sudirman Said saat serah terima jabatan

Arcandra Tahar dan Sudirman Said saat serah terima jabatan

OLEH Akmal Nasery Basral

Drama pemberhentian dengan hormat Menteri Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arcandra Tahar mungkin salah satu tayangan televisi yang paling banyak ditonton masyarakat semalam.

Dengan sedikit imajinasi, ingatan saya melesat pada film Asrul Sani "Kejarlah Daku Kau Kutangkap" (1985). Dengan mengambil spirit judul film tersebut, sekiranya kumpulan peristiwa selama 20 hari Arcandra Tahar menjadi Menteri ESDM dipindahkan ke layar perak, salah satu judul yang sesuai saya kira mestilah "Ikutlah Saranku, Kau Kutinggal" (ISKAK).

Sebab entah bagaimana awalnya dan siapa yang memulai inisiatif, yang jelas Arcandra Tahar yang sudah lama tinggal di Amerika Serikat (AS) tentu tak pernah mengajukan diri untuk menjadi menteri. Pasti ada seseorang yang lebih dulu melobinya, memintanya untuk menjadi pembantu presiden, meyakinkan Arcandra Tahar dengan sangat serius, lalu setelah berapa pertemuan yang berapa kali entah, akhirnya Arcandra Tahar memutuskan bersedia menjadi pengganti Sudirman Said dalam Reshuffle yang diumumkan 27 Juli.

Siapa yang pertama kali menyarankan agar Arcandra Tahar mau menerima jabatan menteri? Ini bakal menjadi bagian investigasi tersendiri yang akan sangat menarik untuk ditelisik. Tetapi bukan fokus tulisan pendek ini.

Yang lebih menarik bagi saya adalah begitu Arcandra Tahar terungkap memiliki problem kewarganegaraan, sang pemberi saran (atau bisa kita sebut juga "Sponsor"), akhirnya memilih lepas tangan, ketimbang berusaha membela Arcandra Tahar yang sudah telanjur melepaskan kehidupannya di AS demi memenuhi sebuah "saran" untuk berbakti bagi Ibu Pertiwi.

ISKAK ternyata bukan hanya dialami Arcandra Tahar sebagai petinggi dalam sebuah drama politik. ISKAK juga terjadi dalam kejadian sehari-hari yang sama sekali tak bermuatan politik. Tak ada nuansa bisnis, apalagi indikasi politik bisnis atau bisnis politik. Maka saya pun teringat pada seorang teman -- sebut saja namanya Edin -- ketika awal tahun ini datang dengan wajah keruh.

"Bang, saya lagi kesal dengan seorang teman, yang saya kira selama ini kawan akrab, tetapi ternyata parah attitudenya," katanya memulai pembicaraan.

"Siapa kawanmu itu, Din?" ujar saya, "Apakah seseorang yang saya kenal?"

"Mungkin tidak, Bang. Kita sebut saja namanya modus. Yang penting yang saya mau curhat ke abang adalah soal kelakuannya, bukan siapa orangnya."

"Oh ok, lanjut!" jawab saya sambil membuka kedua telinga lebar-lebar.

"Jadi intinya gini, Bang. Si Modus ini seringkali menyarankan saya agar melakukan sesuatu yang menurut dia bagus, tapi kemudian setelah saya ikuti sarannya, eh, ujug-ujug dia malah tidak melakukannya lagi. Abang paham maksud saya?"

"Belum," jawab saya terus terang. "Kasih contoh sajalah biar saya tidak menduga-duga."

"Ada beberapa contoh bang …"

"Beberapa contoh?" potong saya terkejut. "Maksudmu kejadian yang dilakukan Si Modus ini lebih dari satu?"

"Iya, Bang. Akan saya ceritakan tiga contoh agar Abang nilai sendiri karakter Modus itu seperti apa sebenarnya."

"Oke. Siap menyimak," ujar saya.

"Pertama, saya dan Modus berkawan sejak kami remaja, Bang, sejak kami masih tinggal di rumah orang tua masing-masing, yang jaraknya berjauhan. Lalu setelah kami masing-masing berkeluarga, Si Modus pindah ke satu komplek perumahan. Dipujinya komplek perumahan itu setinggi langit, bahkan disarankannya saya juga pindah ke komplek itu. Karena sarannya sangat meyakinkan, akhirnya saya pun bersedia pindah ke komplek yang sama. Bayangan saya, enak nih punya orang yang sudah saya kenal dekat di komplek baru. Ternyata bang, begitu proses KPR saya dikabulkan bank, si Modus baru bilang bahwa dia BATAL mengambil rumah di komplek itu dan sedang mengurus pembelian rumah di komplek lain …"

"Lho, kok begitu?" Saya mulai bingung. "Alasannya apa dia pindah mendadak tanpa mengabarimu lebih dulu."

"Nggak tahu saya," jawab Edin angkat bahu. "Saya abaikan saja masalah itu karena komplek rumah saya yang baru itu ternyata tetangganya ramah, oke, friendly. Menyenangkan. Jadi kekesalan saya terhadap Si Modus bisa tergantikan. Tapi saya merasa, Si Modus itu membatalkan karena melihat peluang untuk ambil rumah di komplek lain yang menurut dia lebih prestisius, lebih bergengsi, dan letaknya tak jauh dari komplek rumah saya."

"Ok, lalu contoh selanjutnya apa, Din?"

"Nah, contoh yang kedua ini lebih konyol, dan herannya waktu itu saya masih juga jadi korbannya karena kenaifan saya. Contoh kedua ini adalah Si Modus menyekolahkan anak-anaknya di Sekolah XYZ yang lagi-lagi dipujinya setinggi langit, dan saya pun disarankan agar menyekolahkan anak saya di sekolah XYZ itu. Karena saya kira sarannya tulus, saya ikuti dengan senang hati dengan ikut juga menyekolahkan anak saya di sekolah XYZ itu. Abang tahu apa yang terjadi setelah itu?"

"Hmm, apa ya?" Saya mencoba menerka arah pembicaraan Edin. "Mungkin setelah anakmu di sekolah yang sama, si Modus itu memindahkan anaknya ke sekolah lain lagi seperti dia lakukan soal rumah?" lanjut saya menebak sekenanya.

"Abang betul, 100! Itulah yang dilakukannya?" ujar Edin dengan suara tegas. "Sontoloyo nggak, Bang?"

"Hah? Betul begitu?" Saya masih tidak yakin dengan jawaban Edin. "Masak sih ada teman yang sampai begitu kelakuannya?"

"Aduh Abang, ini true story, bukan saya lagi ngarang. Ini kenyataan, Bang. Lagi-lagi tanpa merasa perlu menjelaskan kepada saya, Si Modus ini tahu-tahu -- beberapa bulan setelah anak saya masuk ke sekolah XYZ -- bilang bahwa dia sudah memindahkan anaknya ke sekolah MNOP yang bayarannya lebih mahal, dan, ya mungkin, menurutnya lebih prestisius. Padahal jarak sekolah MNOP dengan rumah si Modus itu jauh banget lho bang …"

"Ah, kamu serius nih Din?" ulang saya masih tak percaya. "Masa sih ada temen yang kayak begitu?"

"Ya Allah, Bang, masa saya bohong ke Abang. Lebih konyol lagi, setelah anaknya di sekolah MNOP itu, saya lagi-lagi disarankan agar memindahkan anak saya juga ke sekolah MNOP. Tapi kali ini saya nggak ikuti sarannya. Dan tahu apa yang terjadi, Bang?"

"Apa?"

"Sekolah MNOP yang tadinya dipuji setinggi langit oleh si Modus itu sebagai sekolah terbaik buat anak-anaknya, kemudian dijelek-jelekkannya sebagai sekolah mahal, penghisap biaya, yang hanya bisa dipenuhi oleh orang-orang kaya seperti karyawan oil company, dll. Pokoknya habis deh sekolah MNOP itu dilucuti, dan akhirnya …"

"… anaknya pun dikeluarkan dari Sekolah MNOP?" tebak saya kembali dengan tidak yakin.

"Persis, Bang! Aneh kan? Saya jadi berpikir jangan-jangan Si Modus ini sebetulnya selalu merasa dirinya lebih tahu sesuatu dari soal rumah sampai sekolah, dan selalu ingin menunjukkan dirinya SELANGKAH LEBIH MAJU dari saya. Saya heran mengapa dirinya menjadikan ini seperti kompetisi personal. Bagaimana menurut Abang?" tanya Edin.

"Saya belum bisa berpendapat, Din. Saat ini kamu curhat saja agar beban hatimu lebih ringan," jawab saya. "Eh, tapi tadi kamu bilang ada tiga contoh. Lalu apa contoh yang ketiga?"

"Nah, contoh yang ketiga ini lebih absurd, Bang," ujar Edin. "Bertahun-tahun setelah dua contoh di atas berlalu, lalu belum lama ini saya, si Modus, dan beberapa kawan lain sepakat untuk membuat sebuah kelompok lebih formal agar lebih sering bertemu. Pada pertemuan pertama di rumah kawan kami yang lain, seluruh yang hadir sepakat meminta saya yang menjadi ketua perkumpulan. Pertemuan bulanan pun digelar, dan alhamdulillah lancar sampai menjelang ulang tahun perkumpulan yang pertama … "

"Apa yang terjadi menjelag ulang tahun perkumpulan yang pertama?" Saya makin tertarik mendengar penjelasan Edin. "Si Modus mulai menghilang?"

"Tidak persis begitu. Awalnya dia menyarankan di depan seluruh pendiri perkumpulan agar ketua perkumpulan diganti agar terjadi penyegaran. Saya sih setuju saja, karena kesibukan saya juga lumayan banyak. Sepanjang perkumpulan kami berjalan aktif, siapa pun yang menjadi ketua dari para pendiri, menurut saya tidak masalah," papar Edin.

"Lalu si Modus itu menjadi ketua baru?" tebak saya lagi.
"Tidak, Bang. Teman-teman pendiri yang lain tetap mempercayakan saya sebagai ketua, kesepakatan bulat," ungkap Edin. "Hanya Si Modus dan saya saja yang setuju ada pergantian ketua baru. Itu pun karena saya tahu maksud tersembunyinya soal penyegaran itu, Bang. Tapi rupanya kawan-kawan kami, para pendiri yang lain, tak ada yang setuju dengan pendapat si Modus. Semua tetap meminta saya sebagai ketua," lanjutnya.

"Ya, kalau begitu, Si Modus harusnya bisa menerima dong, Din?"

"Entahlah, Bang. Yang jelas, sejak itu dia selalu ada alasan untuk tidak hadir dalam pertemuan kelompok kami yang tambah besar karena banyak anggota baru. Bahkan puncaknya, ketika Modus sudah mendapat amanah menjadi pembahas sebuah buku yang ditulis seorang sastrawan dan mantan jurnalis tingkat nasional yang menjadi anggota baru kami, si Modus ini pada pagi hari H bilang bahwa dia tidak bisa hadir …"

"Lho, kok begitu?" tanya saya.

"Entahlah. Yang jelas, setelah itu Si Modus pun menghilang begitu saja dari pertemuan kelompok, bahkan left grup WA kami tanpa pamit kepada pendiri yang lain, padahal beberapa anggota baru sudah tahu bahwa Si Modus ini adalah salah seorang pendiri. Dari cara si Modus yang kembali MENINGGALKAN dengan mendadak ini, maka mau tak mau saya teringat pada dua kejadian sebelumnya menyangkut rumah dan sekolah itu. Saya berkesimpulan, si Modus ini orang yang tak punya komitmen sama sekali. Itulah sebabnya mengapa saya menyebut sikapnya sebagai 'Ikutlah Saranku, Kau Kutinggal', Bang. Betul-betul heran saya deh Bang, padahal pendidikan si Modus ini tinggi, dari kampus terkenal pula. Kenapa begitu ya, Bang?"

"Wah, kalau kenapa begitu, saya kurang pasti, Din, karena informasimu tadi meski cukup jelas, tapi harus diperdalam dengan hati-hati agar kita tidak berprasangka buruk …"

"Jadi saya harus bagaimana, Bang?" tanya Edin. "Kalau ingat semua kelakuannya itu saya marah betul, dan saya ikhlas kehilangan seorang teman meski saya tahu di sisi lain dia tetap punya banyak kelebihan lain …"

"Ups, jangan cepat bilang ikhlas kehilangan seorang teman, Din," ujar saya sambil memutar otak mencari saran terbaik yang sejujujurnya juga saya tak yakin apakah bisa dipraktikkan oleh Edin yang sedang emosi. "Kalau bisa sih, sebaiknya kamu doakan terus kawanmu itu, Din. Mungkin dia sedang ada masalah berat yang kamu tidak tahu. Atau mungkin juga itu memang karakter buruknya yang selama ini dia belum pahami sudah menyakiti hatimu. Apapun itu, lebih baik kamu doakan agar Si Modus segera menyadari kekeliruannya, dan cukup hanya kamu saja korbannya tanpa perlu ada korban-korban lain dari sikap sembrononya seperti yang kamu sebutkan tadi, Din. Bukankah sebagai manusia kita semua juga punya kelemahan dan khilaf masing-masing, Din?"

"Ah, betul, Bang. Baiklah saya coba tetap berpikir positif tentang Si Modus, meski saya tak yakin apakah setelah TIGA kejadian ini, saya masih bisa melihatnya dengan hormat seperti dulu, Bang."

"Kamu coba saja dulu, Din. Tak ada yang mudah dalam kondisi seperti ini, apalagi jika sudah menyangkut pertemanan. Tetapi bukankah itu salah satu bentuk ujian pertemanan, Din?"
Edin mengangguk tanpa suara.

Dan sampai saat ini, saya belum mendengar lagi dari Edin bagaimana perkembangan komunikasinya dengan sang kawan yang disebutnya "Si Modus" itu.

Dan saya praktis sudah melupakan curhat Edin sampai melihat pemberhentian Menteri ESDM semalam dengan pola ISKAK yang serupa meski detil kejadiannya berbeda.

ANB, 16-8-2016



BACA JUGA