
OLEH Emeraldy Chatra (Pembuat Film)
Saya dapat kabar menggembirakan dari teman. Katanya, sekarang anak-anak muda di Sumbar sangat bergairah membuat film-film pendek. Mereka sudah mempertontonkan karya-karya mereka ke publik. Respons saya, Alhamdulillah. Itu yang saya inginkan sejak lama.
Saya memang obsesif terhadap pembuatan film. Saya ingin lebih banyak warga Sumbar yang membuat film. Film apa saja; sinetron, dokumenter atau kartun, terserah. Asal jangan membuat bokep saja.
Obsesi itulah yang mendorong saya mulai membuat sinetron di awal tahun 2000-an. Bersama teman-teman di rumah produksi yang saya dirikan, Kamagis Farvision, saya membuat sinetron berdurasi 30 menit dengan judul “Jalan di Balik Tabir”. Ketika itu mediumnya masih kaset Beta dan VHS. Mengeditnya pun masih pakai cara semi manual, belum computerized seperti cara yang lazim sekarang.
Sungguh tidak mudah membuat film ketika itu. Bukan hanya sulit mencari dana, tapi yang lebih parah, sulit mencari dukungan. Sikap orang kebanyakan tidak yakin dan mencemooh. Ada yang mengatakan, “Emangnya mudah bikin film? Anak saya saja lulusan sekolah (ia menyebut nama sebuah sekolah sinematografi di Jakarta) belum mampu membuat film”. Tapi saya tidak peduli dan terus berjuang.
Langkanya personel yang dapat bekerjasama menyebabkan saya harus memegang empat tugas sekaligus: produser, manajer produksi, penulis skenario dan sutradara. Namun, berkat keyakinan dan kerja keras, proyek pertama selesai lebih cepat daripada yang diperkirakan. Sponsor pun puas dengan kerja kami. “Jalan di Balik Tabir” masih menggunakan bahasa Indonesia berdialek Minang.
Setelah sukses di proyek pertama, kami selanjutnya membuat sinetron yang benar-benar menggunakan bahasa Minang. Tidak bahasa sekarat ular sekarat belut. Dialeknya dialek Padang Kandih, Limapuluh Kota, karena nagari itu menjadi lokasi tunggal pembuatan sinetron berjudul “Bakisa di Lapiak Nan Sahalai” itu. Durasinya 70 menit.
Kami sungguh merasa bangga karena kami yang pertama kali membuat sinetron dengan bahasa Minang. Sebelumnya orang hanya berani membuat sinetron berbahasa Indonesia dialek Minang karena akan ditayangkan di televisi nasional. Kami tidak membuat untuk televisi nasional, tapi untuk diputar keliling kampung di Sumatera Barat.
Kami tidak hanya sekadar berkarya, tapi juga bermimpi. Dr Salim Said waktu menyelesaikan S1-nya di Universitas Indonesia menulis skripsi tentang perfilman nasional. Dari skripsi itu saya tahu bahwa sebenarnya perfilman nasional dibangun oleh orang-orang Minangkabau. Tokohnya Anjar Asmara (orang Alahan Panjang), Usmar Ismail (orang Bukittinggi), Jamaluddin Malik (orang Padang), AK Gani (orang Agam), dan lain-lain, yang kemudian melahirkan tokoh perfilman nasional terkemuka, Asrul Sani (orang Rao).
Saya bangga, orang Minang tidak cuma bisa menggalas, tapi juga membuat film-film bagus. Jamaluddin Malik sudah membuat film dengan material sekelas yang digunakan Hollywood di Indonesia ketika film India masih bisu dan hitam putih.
Dari apa yang dipaparkan Dr Salim Said kami bercita-cita membangun Sumbar menjadi sentra perfilman Indonesia. Di Amerika Serikat sentra perfilman tidak di Washington tapi di Florida. Di India juga tidak di ibu kota negaranya, New Delhi, tapi di Mumbai. Mengapa di Indonesia tidak di Padang atau Payakumbuh saja?
Kamagis Farvision, rumah produksi yang kami kelola selama lebih kurang empat tahun sekarang sudah tidak ada. Tapi semangatnya belum mati. Malah mulai menggeliat ketika saya mendengar banyak anak-anak muda membuat film pendek. Merekalah tumpuan harapan berikutnya, untuk membangun sentra perfilman Indonesia di Sumatera Barat. ***