
Payakumbuh, sumbarsatu.com—Udara Payakumbuh cukup dingin malam itu, Rabu, 2 Juli 2025. Namun, cuaca yang menusuk tak menyurutkan semangat anak-anak muda untuk berkumpul di Kedai Kopi Uda Espresso, Parik Rantang.
Mereka datang dari berbagai wilayah dan latar belakang—mahasiswa, pelajar, pegiat sinema, aktivis komunitas, hingga anak-anak muda yang tampaknya hanya ingin ikut meramaikan. Semuanya berkumpul dalam satu tujuan: menyuarakan perlawanan terhadap korupsi melalui media audio-visual, terutama film.
Anti-Corruption Film Festival 2025 (ACFFEST 2025) adalah ajang tahunan yang digagas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan tahun ini digelar di Kota Payakumbuh serta Kabupaten Lima Puluh Kota. Penyelenggaraan ACFFEST tahun ini merupakan hasil kolaborasi antara KPK dan Payakumbuh Youth Arte Committee (PYAC), yang menginisiasi rangkaian kegiatan untuk menjangkau lebih banyak anak muda, sekaligus menghidupkan ruang-ruang diskusi yang menyenangkan.
Gelaran hari pertama, Selasa, 1 Juli 2025, dibuka dengan talkshow bertema sejarah film di Indonesia. Hadir sebagai pemantik diskusi, Choiru Pradhono dari ISI Padang Panjang dan penulis sejarah Randi Reimena, dengan moderator Habiburrahman.
Diskusi mengulas bagaimana tema-tema film di Indonesia berkembang dari masa ke masa, mulai dari zaman kolonial hingga era Reformasi. Menurut Randi, pada masa penjajahan Belanda, film-film yang diputar di bioskop pada awal 1900-an didominasi oleh karya impor bertema superioritas kulit putih.
Bahkan film berlatar Hindia Belanda yang diadaptasi dari roman Balai Pustaka pun masih memuat narasi serupa. Ketika Jepang datang, film dijadikan alat propaganda untuk memupuk semangat perang melawan kolonialisme Barat. Lalu, pada masa Revolusi Nasional Indonesia, tema film didominasi oleh semangat anti-kolonialisme dan perjuangan rakyat.
Di era 1950-an, film nasionalis menguat, dengan narasi pembangunan dan rakyat sebagai protagonis, meski tema korupsi mulai diselipkan di beberapa film. Memasuki masa Orde Baru, film perjuangan tetap mendominasi, namun kini dengan militer sebagai tokoh utama.
Randi menyebut Orde Baru secara terang-terangan menggunakan film sebagai alat propaganda, sebagaimana dilakukan Jepang, yang paling terlihat dalam produksi film “Pengkhianatan G30S/PKI.” Isu-isu antikorupsi baru mendapat ruang menjelang akhir Orde Baru, umumnya muncul dalam film-film komedi seperti Warkop yang menyisipkan kritik halus terhadap rezim.
Choiru Pradhono mengulas lebih jauh bagaimana negara secara sistematis mengontrol dunia film. Pada masa Sukarno, sensor terhadap film yang dianggap mempromosikan budaya Barat diberlakukan. Di era Orde Baru, sensor menjadi jauh lebih canggih dan terstruktur. Tidak hanya film yang disensor, tapi juga para pembuatnya, yang harus mengikuti penataran agar sejalan dengan arah kebijakan pemerintah.
Namun menjelang akhir kekuasaan Orde Baru, mulai muncul sineas-sineas yang berani menawarkan perspektif berbeda—baik dalam tema maupun estetika. Masa Reformasi kemudian menjadi momentum lahirnya film-film yang menyuarakan antikorupsi secara lebih lugas dan estetik.
Baik Choiru maupun Randi menilai ACFFEST sebagai perkembangan positif. Meski belum sempurna, mereka melihat keberadaan festival ini sebagai langkah penting dalam mendorong sineas muda agar lebih berani mengangkat isu antikorupsi dan menjadikannya bagian dari narasi kebudayaan.
Pada hari kedua, Rabu malam, pemutaran lima film bertema antikorupsi menjadi sorotan utama. Acara dimulai dengan penampilan musik balada oleh Bie Kiboe. Lirik-lirik lagunya yang kental akan kritik sosial, terutama tentang kerusakan alam, disambut antusias oleh peserta.
Malam itu tiga film ditayangkan: “Jastip,” “Awas Ada Ujian,” dan “Lansia Lansopo.” Ketiganya mengangkat persoalan korupsi di berbagai sektor—dari sistem pendidikan, pemilihan kepala desa, hingga korupsi keseharian yang kerap tak disadari masyarakat.
Usai pemutaran film, diskusi kembali digelar. Hadir sebagai pembicara Andri Yandi, dosen film dari ISI Padang Panjang; Uchien, akademisi dan aktivis budaya dari Pekanbaru; serta Vera Neldy, penyuluh antikorupsi dari KPK.
Diskusi dipandu oleh Habiburrahman dan berlangsung cukup intens. Uchien menyoroti bagaimana film-film yang ditayangkan mencerminkan realitas korupsi yang sistemik dan terstruktur. Baginya, korupsi begitu mudah menular karena sudah dianggap biasa dan melekat kuat dalam kehidupan masyarakat.
Namun, ia optimis bahwa film dapat menjadi media kampanye yang ampuh. Tidak seperti iklan layanan masyarakat yang ringkas dan terasa jauh dari keseharian, film memiliki ruang lebih luas untuk menuturkan kisah korupsi dalam bentuk yang dekat dan menyentuh.
Uchien menyoroti bagaimana film seperti “Jastip” berhasil menggambarkan praktik korupsi di masyarakat bawah yang selama ini dianggap wajar. Namun demikian, ia juga mengkritik minimnya representasi nilai-nilai budaya lokal yang sejatinya menyimpan laku hidup antikorupsi. Baginya, nilai-nilai ini justru penting untuk ditampilkan sebagai alternatif narasi yang membumi dan kontekstual.
Vera Neldy menambahkan bahwa film merupakan salah satu instrumen penting dalam strategi pendidikan antikorupsi KPK, bersama dua strategi lainnya yaitu penindakan dan perbaikan sistem. Ia menegaskan bahwa ketiganya harus berjalan beriringan.
Menurutnya, lewat pendekatan pendidikan yang melibatkan seni dan budaya, masyarakat akan lebih mudah tersentuh dan tergerak untuk membangun sikap antikorupsi sejak dini.
Rangkaian ACFFEST 2025 tidak berhenti di Kedai Uda Espresso. Pada Kamis, 3 Juli 2025, festival berlanjut di JFS Coffee, Tanjung Pati, Kabupaten Lima Puluh Kota. Akan digelar talkshow mengenai hubungan antara film, politik, dan praktik korupsi di tingkat lokal.
Pada Jumat, 4 Juli 2025, agenda dilanjutkan dengan pemutaran film, diskusi, dan pertunjukan teater bertema antikorupsi oleh Teater Sambilan Ruang.
ACFFEST masih akan berlangsung hingga 6 Juli 2025. Pada 5 dan 6 Juli, kegiatan akan terpusat di Warung Sentosa, Tiakar, Kota Payakumbuh, dengan rangkaian acara serupa: pemutaran film, diskusi, dan pertunjukan seni. Festival ini menjadi ruang yang mempertemukan seni, edukasi, dan perlawanan terhadap korupsi dalam satu semangat kolektif yang hidup dan membebaskan. ssc/rel