Dari Seminar Sastra Festival Marah Roesli: Ironi, Imajinasi, dan Makna yang Tak Pernah Tunggal

Kamis, 18/12/2025 07:23 WIB
Kepala Taman Budaya Sumatera Barat, M. Devid. >Foto Rakom TaratakFm

Kepala Taman Budaya Sumatera Barat, M. Devid. >Foto Rakom TaratakFm

Padang, sumbarsatu.com— Ironi, sebagai gaya bahasa, menegaskan jarak antara sastra dan bahasa sehari-hari. Ia bukan sekadar hiasan retoris, melainkan cara sastra menolak menjadi bahasa yang datar dan informatif. Melalui ironi, pengarang menciptakan metafora baru dan membuka makna estetik yang tidak tunggal.

Karena itu, karya sastra selalu terbuka dibaca ulang sesuai konteks zaman. Dalam roman Siti Nurbaya: Kasih Tak Sampai, tokoh Datuk Maringgih kerap dianggap antagonis, padahal digambarkan melawan kolonialisme Belanda, sementara Syamsul Bahri justru berseberangan.

Karya sastra lahir dari perpaduan realitas, imajinasi, dan seni, sebuah ruang estetik tempat kenyataan diolah, dipertanyakan, dan dimaknai kembali oleh pembaca lintas waktu dan pengalaman sosial berbeda.

Demikianlah benang merah pemikiran dari tiga narasumber yang mengemuka dalam seminar nasional bertema “Sastra sebagai Suara Zaman: Negeri dan Ironi” rangkaian Festival Sastra Marah Roesli yang digelar pada Rabu, 17 Desember 2025, di Gedung Kebudayaan Sumatra Barat.

Ketiga pembicara itu adalah Sudarmoko (akademisi), Raudal Tanjung Banua (sastrawan), dan Sasti Gotama (sastrawan) ang dimoderatori Dadi Satria sebagai moderator.

Sudarmoko, dosen Program Studi Magister Kajian Budaya, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas, mengatakan tantangan sastra terletak pada kemampuannya menghidupkan bahasa agar tidak membeku sebagai sekadar definisi kamus, melainkan terus bergerak dan melahirkan makna.

Menurutnya, pengarang memandang dunia sebagai ruang yang sarat ironi—dipenuhi ketimpangan, kejanggalan, dan kontradiksi. Ada ironi yang tampak jelas dalam kehidupan sehari-hari, namun ada pula yang tersembunyi di balik sesuatu yang dianggap wajar.

“Ironi semacam inilah yang paling berbahaya karena bekerja secara diam-diam, menormalisasi hal-hal yang sesungguhnya bertentangan dengan nilai,” terang Sudarmoko.

Dalam konteks tersebut, ia menegaskan, ironi menjadi sikap estetik sekaligus etis, yakni cara sastra mempertanyakan realitas yang selama ini diterima begitu saja,

Menurut Raudal Tanjung Banua, dalam aspek ironisme itu, maka karya sastra selalu terbuka untuk dibaca ulang sesuai konteks zamannya. Dalam Siti Nurbaya, misalnya, Datuk Maringgih kerap ditempatkan sebagai tokoh antagonis, padahal ia digambarkan sebagai sosok yang lantang menentang kolonialisme Belanda. Sebaliknya, Syamsul Bahri yang berpendidikan justru mengambil sikap yang berseberangan.

“Pembacaan ini menegaskan bahwa makna sastra tidak pernah tunggal, melainkan bergantung pada sudut pandang dan konteks pembacanya,” terang pengelola Komunitas Rumah Lebah dan Akar Indonesia ini.

Sejalan dengan itu, Sasti Gotama memandang sastra sebagai kekuatan yang lahir dari perpaduan realitas, imajinasi, dan seni.

“Realitas tanpa imajinasi akan menjelma menjadi karya jurnalistik, sementara imajinasi tanpa realitas hanya melahirkan dongeng kosong. Sastra itu berdiri di antara keduanya sebagai ruang estetik tempat kenyataan diolah, dipertanyakan, dan dimaknai kembali,” sebut perempuan sastrawan peraih penghargaan Kusala Sastra Khatulistiwa 2025 ini.

Dinas Kebudayaan Sumatera Barat melalui UPTD Taman Budaya Sumatera Barat menggelar dua iven budaya penutup tahun 2025, yakni Festival Sastra Marah Roesli dan Pameran Seni Rupa “Hulu” yang diikuti 37 perupa dari Sumatera Barat dan luar daerah.

Festival Sastra Marah Roesli berlangsung selama empat hari, 17–20 Desember 2025, dan dipusatkan di Gedung Kebudayaan Sumatera Barat, sementara Pameran Seni Rupa “Hulu” di Galeri Tambud dibuka hingga 30 Desember 2025.

Seminar nasional dalam rangkaian festival ini dihadiri puluhan mahasiswa, pencinta sastra, dan kalangan akademisi. Pembukaan resmi Festival Sastra Marah Roesli dilakukan oleh Kepala Taman Budaya Sumatera Barat dan dimeriahkan dengan pertunjukan musikalisasi puisi, dilanjutkan lokakarya kepenulisan serta malam apresiasi seni.

“Melalui festival ini, kami melaksanakan pembinaan dan peningkatan kapasitas bagi pelaku seni dan penulis muda Sumatera Barat, sejalan dengan amanat Pemajuan Kebudayaan,” ujar Kepala Taman Budaya Sumatera Barat, M. Devid.

Ia menjelaskan, rangkaian kegiatan meliputi seminar dan diskusi sastra, workshop menulis yang menjembatani penulis muda dengan sastrawan nasional, peluncuran buku antologi cerpen Warung Nasi di Depan Masjid, lomba baca puisi, serta pertunjukan seni dan eksplorasi Kota Tua untuk mengenalkan basis geokultural karya Marah Roesli. ssc/mn



BACA JUGA