OLEH Bobby Ciputra--Ketua AMSI – Angkatan Muda Sosialis Indonesia
KETIKA 867 jenazah tenggelam akibat banjir di Sumatra, mereka bukan hanya korban dari sebuah wilayah Indonesia. Mereka adalah peringatan bagi Manila, Dhaka, Lagos, dan seluruh dunia Selatan, tempat kapitalisme ekstraktif telah mengubah ekosistem menjadi zona pengorbanan.
Menurut data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) per 5 Desember, setidaknya 867 orang dipastikan meninggal dunia, 521 orang masih hilang, dan lebih dari 835.000 orang mengungsi—angka yang setara dengan jumlah penduduk Bhutan.
Kelumpuhan ekonomi terjadi secara total. Infrastruktur hancur: lebih dari 405 jembatan putus, 270 fasilitas kesehatan rusak, dan 509 sekolah terendam. Ini bukan sekadar statistik; ini adalah pembantaian daya hidup oleh sebuah sistem yang menilai kayu, kelapa sawit, dan batu bara lebih berharga daripada nyawa manusia.
Aceh menanggung beban terberat dengan 349 orang meninggal dunia dan 175 orang hilang. Sumatera Utara menyusul dengan 321 orang meninggal dan 134 orang hilang. Sumatera Barat mengalami kehancuran besar dengan 227 orang meninggal dan 213 orang hilang. Lebih dari 2,2 juta orang di 3.310 desa di Aceh terdampak. Ketika air surut, ribuan keluarga mendapati rumah mereka terkubur lumpur dan masa depan mereka runtuh.
Fakta-fakta ini adalah puncak dari kegagalan panjang. Hutan yang dulu menyerap curah hujan kini gundul. Sungai-sungai yang dahulu mengalir tenang kini meluap bagai tsunami. Bencana ini lahir dari model ekonomi ekstraktif yang selama dua dekade lebih menjual hutan sebagai komoditas.
Pemerintah menyalahkan “Siklon Tropis Senyar” sebagai penyebab utama bencana—sebuah narasi nyaman yang menyatakan bahwa bencana berada di luar kendali manusia. Namun data dan sejarah membantah itu. Penyebab sesungguhnya adalah perusakan sistematis terhadap tutupan hutan, alih fungsi lahan, dan izin-izin korporasi yang diberikan negara, sementara rakyat dipaksa membayar harga mahal dari pertumbuhan ekonomi dan ekspor komoditas.
Banjir besar Desember 2025 di Sumatra bukan sekadar tragedi hidrometeorologi. Ini adalah bencana ekologis terbesar di Asia Tenggara tahun 2025. Ini adalah critical juncture—titik belah sejarah—yang memaksa dunia menghadapi kegagalan tata kelola lingkungan, ketimpangan struktural, dan kontradiksi geopolitik Indonesia, terlepas dari citranya sebagai penjaga hutan tropis dunia.
Grafik Kehancuran yang Tak Pernah Diam
Bencana banjir buatan manusia ini dipicu oleh deforestasi massal selama dua dekade terakhir. Data deforestasi di Sumatra menunjukkan pola yang konsisten dan tak pernah benar-benar berhenti. Setiap tahun ratusan ribu hektare hutan primer dikonversi menjadi konsesi kelapa sawit, pertambangan, dan pulp-kertas.
Pada 2012, Sumatra kehilangan lebih dari 413.200 hektare hutan hanya dalam satu tahun. Pada 2015, kehilangan mencapai 335.100 hektare—setara 4.700 lapangan sepak bola hilang setiap hari selama setahun penuh. Sejak itu, rata-rata lebih dari 200.000 hektare hilang setiap tahun.
Saat ini, terdapat 1.907 Izin Usaha Pertambangan (IUP) minerba yang aktif beroperasi di seluruh Sumatra. Hutan seluas 2,45 juta hektare yang seharusnya berfungsi sebagai spons raksasa penyerap air kini berubah menjadi lahan tandus milik perusahaan. Global Forest Watch mencatat bahwa Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat telah kehilangan 7.569 mil persegi hutan sejak tahun 2000—lebih luas dari Negara Bagian New Jersey.
Sebagaimana diingatkan para ahli lingkungan, tutupan hutan hujan berfungsi seperti spons yang menyerap air. Setelah deforestasi, tidak ada lagi yang mampu memperlambat aliran hujan deras. Maka ketika hujan ekstrem datang pada akhir 2025, air meluncur deras membawa lumpur dan kayu tebangan, menghantam rumah-rumah rakyat miskin di hilir.
Perusahaan-perusahaan besar dan konglomerat agribisnis merupakan pelaku utama pemegang izin pada puncak deforestasi di Sumatra. Mereka memikul tanggung jawab atas konversi lahan yang memperparah banjir. Ini bukan semata-mata akibat hujan, melainkan akibat kapitalisme ekstraktif yang mengorbankan ekosistem demi keuntungan oligarki.
Arena Perebutan Pengaruh Global
Ekspansi kelapa sawit telah menjadi pendorong utama deforestasi selama 20 tahun terakhir. Pada 2022, Sumatra mengalami peningkatan deforestasi 3,7 kali lipat akibat industri kelapa sawit dibandingkan pada 2020.
Sektor kelapa sawit menyumbang 4,5% PDB Indonesia dan mempekerjakan lebih dari 16,2 juta orang secara langsung dan tidak langsung. Indonesia adalah eksportir minyak sawit terbesar di dunia, menyumbang 54% ekspor global.
Cina kini melampaui Uni Eropa dan India sebagai importir minyak sawit terbesar Indonesia, meningkatkan pangsa pasarnya dari 11% pada 2013 menjadi 14% pada 2022. Cina dan India menyumbang 75% paparan deforestasi minyak sawit Indonesia.
Konsumsi domestik Indonesia juga meningkat dari 32% produksi pada 2018 menjadi 44% pada 2022, dengan lebih dari separuhnya digunakan untuk biodiesel.
Eropa menuntut Indonesia melindungi “paru-paru dunia”, sementara bank-bank Eropa tetap membiayai deforestasi yang memicu bencana ini. Ini adalah kolonialisme iklim yang dibungkus retorika hijau.
Negara-negara utara mendesak Indonesia melestarikan hutan demi kredit karbon, tetapi tetap mengimpor minyak sawit, kayu, dan mineral yang diekstraksi melalui perusakan hutan. Indonesia diminta mengorbankan pembangunan ekonomi demi tujuan iklim global, namun tidak diberi dukungan untuk keluar dari industri ekstraktif.
Tanggapan internasional datang dari PBB, WHO, Amnesty International, Iran, Pakistan, Uni Emirat Arab, dan banyak negara lain yang menawarkan bantuan. Namun penerimaan Pemerintah Indonesia melalui Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi cenderung hangat tanpa antusiasme.
Penolakan Indonesia untuk menyatakan keadaan darurat nasional hanya masuk akal jika dilihat melalui kacamata ekonomi politik. Pernyataan darurat nasional akan memicu pengawasan internasional terhadap industri yang menopang pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Dari perspektif saya sebagai seorang sosialis demokrat, bencana ini menyingkap kontradiksi mendasar model pembangunan Indonesia. Kita tidak dapat terus membangun kapitalisasi sambil melikuidasi fondasi ekologis kita.
Kita tidak dapat menanam kembali hutan selama izin penebangan masih berlaku. Kita tidak dapat memulihkan daerah aliran sungai selama konsesi pertambangan terus meluas ke hulu. Kita membutuhkan transformasi struktural, penegakan keadilan ekologis, dan aliansi solidaritas internasional.*